Adam duduk tertunduk di depan ibu mertuanya yang masih menatapnya dalam. Sementara Farida ikut juga duduk di sebelah Adam berdampingan dengannya."Nak Adam, apa kamu ingat janji yang kamu ucapkan di depan mendiang almarhum bapak Farida. Kamu sudah berjanji untuk membahagiakan dia lahir dan batin sampai pada akhirnya kamu mengucapkan ijab kabul di depan semua orang. Apa kamu masih ingat itu semua?" tanya Nani yang suaranya masih terbilang tenang."Iya, Bu. Aku masih ingat," jawab Adam pelan."Lalu kenapa kamu memperlakukan Farida seperti ini sekarang? Kenapa kamu mendzoliminya? Apa kamu tahu bagaimana perasaan ku, ibu kandung yang sudah melahirkannya."Mendengar kalimat Nani, membuat Farida tak kuasa menahan air matanya, begitu juga dengan Adam."Nak Adam, aku menyayangimu seperti anakku sendiri dan aku menyerahkan anakku padamu dengan ikhlas. Aku senang sampai aku menangis semalaman saat kau datang ke rumahku malam itu dan meyakinkan ku bahwa kau menerima Farida dan juga aku sebagai o
Hampir tengah malam akhirnya Farida memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya bersama dengan Adam.Tak lupa ia membangunkan Tasya yang sudah tidur nyenyak meski hanya di kasur tipis yang warnanya pun sudah kusam."Bu, aku minta maaf sekali, ya, karena sudah merepotkan ibu. Tidak seharusnya aku datang ke sini menangis-nangis jika pada akhirnya aku juga kembali pada mas Adam." Farida hanya bisa menunduk malu di hadapan Nani.Dengan lembut, Nani mengusap kepala Farida. Suaranya lirih terdengar di telinga Farida yang terbungkus dengan hijab segitiga berwarna cream."Tidak perlu bicara seperti itu, Nak. Kamu memang seharusnya ke sini kalau kamu sedang tidak baik-baik saja karena kamu masih punya ibu. Jangan kamu pendam semua masalahmu sendirian. Ibu juga ikut senang jika pada akhirnya kamu kembali lagi bersama dengan suamimu, aku cuma berharap bahwa kejadian seperti ini tidak terjadi lagi dan Adam benar-benar berubah."Sementara keduanya bercakap-cakap, Adam yang menggendong Tasya di pu
Farida memungut beberapa helai baju yang berserakan karena ulah Adam. Handuk basah bekasnya pun tak digantung dan hanya tergeletak di atas ranjang."Ya ampun kamu ini, Mas. Kebiasaan sekali menaruh handuk di sini," ucap Farida menggerutu melihat baju-baju kotor yang bertebaran.Beberapa kali Farida menoleh ke arah pintu dan Adam masih belum juga pulang sementara jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.***"Gimana dengan ucapan ibu kamu kemarin, Dam? Apa kamu akan benar-benar menceritakan istrimu itu?" tanya Hardi menoleh ke arah Adam yang tengah duduk di sampingnya sembari memegang gagang pancing.Ya, mereka berdua tengah berada di tempat pemancingan. Sejak pagi-pagi sekali keduanya sudah janjian untuk pergi memancing dan Adam benar-benar datang untuk memancing bersama dengan ayahnya.Adam masih diam tak menjawab pertanyaan dari Hardi. Matanya menatap gelembung-gelembung kecil yang muncul dari kedalaman kolam."Kenapa kok malah diem, Dam? Kamu nggak mau cerai sama istri kamu itu, ya?" t
Di rumah Hardi ...Berbeda dengan Adam, Hardi justru terlihat sangat kesal karena Adam lebih memilih istrinya dan tidak begitu mempercayainya."Akh sial! Bisa-bisanya si Adam lebih percaya sama wanita itu," ucap Hardi kesal sembari melemparkan gagang pancing di pojokan belakang rumahnya.Diam-diam dari kejauhan Nadia yang baru pulang melihat perkebunan justru memusatkan perhatiannya pada Hardi yang tengah berada di belakang rumah.Perlahan Nadia mendekati Hardi yang masih membelakanginya dan tak tahu kehadiran dirinya."Kamu kenapa, Mas? Kok kayak kesel gitu?" tanya Nadia.Hardi yang terkejut dengan kedatangan Nadia yang tiba-tiba pun langsung menoleh. Hardi menelan salivanya dengan sedikit memaksa."K-kamu udah pulang, Sayang," ucap Hardi gugup."Iya, aku barusan aja pulang terus nggak sengaja aku denger sesuatu dari arah sini dan ternyata itu adalah kamu." Nadia menyipitkan kedua matanya menatap dalam-dalam wajah Hardi."Kamu kayaknya lagi kesel, ya? Ada apa?" tanya Nadia lagi."Hmm
Keesokan paginya, pukul 06:20.Adam menatap Farida yang tengah menyiapkan sarapan dari kejauhan tanpa sepengetahuan Farida."Gara-gara belain si Farida, aku jadi kehilangan jatah uang bulanan dari ibu," batin Adam kesal.Ia masih menatap Farida tapi kali ini tatapan itu berubah menjadi kosong saat Adam telah tenggelam dalam lamunannya."Eh Mas, kamu udah siap, toh. Ayo sini kita sarapan dulu," ucap Farida mengagetkan Adam."Oh emmm I-iya," jawab Adam yang tersadar dari lamunannya."Wah ayam goreng." Tasya bersorak kegirangan saat melihat tiga potong ayam goreng ada di atas meja makan.Bagaimana tidak girang, mereka jarang sekali masak ayam. Farida memang jarang membeli ayam demi menghemat uang yang diberikan oleh Nadia pada Adam."Hah ayam?" Adam yang tak percaya pun langsung melihat ke atas meja."Wah iya, asyik kita sarapan pakai ayam goreng," ucap Adam yang juga ikut kegirangan seperti Tasya. Sementara itu Farida jadi ikut tersenyum bahagia melihat senyuman di wajah suaminya."Semo
"Ya abisnya sih kamu ngasih kerjaan begini banget. Nggak ada enak-enaknya," sindir Adam."Wah bener-bener nggak tau diri banget sih kamu, Dam. Udah ayok lanjut kerja lagi. Nggak enak tau sama yang lainnya. Nggak enak juga sama bos," ajak Agus.Dengan sangat terpaksa Adam pun bangun dan kembali mengerjakan pekerjaannya yang terasa begitu berat baginya. Adam mengerjakan pekerjaannya seperti yang lainnya. Tak terasa jam terus berputar dan hari semakin siang. Perutnya pun sudah terasa lapar lagi.Rupanya saat makan siang, Adam mendapatkan jatah makan siang dari bos sehingga ia tak perlu pulang untuk makan siang di rumah.Adam dan 3 orang temannya termasuk Agus pun duduk di lantai sembari menghadap nasi bungkus yang diletakkan di lantai."Yah cuma pake tahu sama tempe doang nih nasinya. Aku pikir pake ayam goreng lah paling nggak," celetuk ada sembari membuka nasi bungkus dan meletakannya di lantai."Kamu bisa diem nggak sih, Dam. Nggak enak kan kalo sampe bos denger," bisik Agus. Sementa
"Beneran, Mas. Tadi Tasya minta makan pakai ayam goreng yang kamu minta itu.""Terus, kamu nggak bilang kalau itu buat aku dan kamu kasih gitu aja ke Tasya!"Nada suara Adam mulai berubah naik. Adam yang tadi sudah dekat ke arah kamar pun berbalik menghampiri Farida."Kamu nggak mikir apa kalau aku tuh capek kerja. Masa pulang juga cuma makan pakai sayur doang. Kamu mikir nggak sih.""Iya Mas, aku tahu. Tapi aku juga nggak tega lihat Tasya menangis tadi makanya aku kasih ke Tasya.""Ini semua gara-gara kamu! Coba aja aku nggak belain kamu mungkin aku masih bisa dapat transferan dari ibu tiap bulan jadi aku nggak akan bingung lagi mau makan pakai apa. Apapun yang aku mau makan, aku bisa makan."Seketika jantung Farida berdetak begitu kencang. Ia tak menyangka jika suaminya yang sudah berjanji akan menjadi lebih baik bahkan disaksikan oleh ibunya pun tega mengungkit masalah itu lagi."Maksud kamu apa, Mas. Apa kamu nyesel udah belain aku? Aku ini istri kamu, Mas. Aku berhak untuk kamu l
Pagi harinya, Farida bangun untuk dan masak untuk makan anak dan juga suaminya, sementara dirinya hari itu tengah berpuasa dan sudah berhasil menghabiskan sisa makanan semalam sehingga tak terbuang sama sekali."Ini kopinya, Mas," ucap Farida sembari memberikan kopi panas pada Adam yang tengah duduk di terasa rumah.Saat itu masih pukul 6 pagi sehingga Adam masih sangat bersantai karena belum masuk kerja lagi.Adam hanya diam dan tak menjawab ucapan Farida yang sudah membuatkannya kopi pagi itu.Farida yang masih berdiri di samping Adam yang tengah duduk hanya melirik sekilas ke arah Adam."Sepertinya mas Adam masih marah sama aku. Dia tak menjawab ku sama sekali dan hanya diam sejak tadi," batin Farida.Ia pun lalu pergi ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya. Menurut Farida itu lebih baik ketimbang dirinya harus terus berada di dekat Adam dan semakin membuatnya tak nyaman.Akhirnya makanan yang ia masak selesai juga dan kini saatnya Farida kembali memanggil Adam untuk sarapa