Lelah rasanya hati Farida menghadapi semua ujian yang menimpanya selama ini. Dadanya bahkan terasa sangat sesak meski hanya untuk bernapas.Farida menghempaskan cengkraman tangan Adam dan ia pun berlari menuju kamarnya. Di sanalah tempat yang menjadi saksi bisu selama ini dimana Farida selalu menumpahkan semua tangisnya."Dasar nggak berguna. Bisa-bisanya dia malah marah padaku," ucap Adam geram. Ia pun lalu pergi meninggalkan Farida yang kini telah masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya. Di sana Farida hanya bisa duduk di pinggiran ranjang melampiaskan semua kemarahannya yang hanya bisa ia tahan."Ya Allah, aku udah nggak kuat lagi hidup seperti ini," ucap Farida pelan." Tangannya meremas ujung sprei yang tak berdosa.Bayang-bayang tangan bapak mertuanya yang menggerayangi tubuhnya tadi masih terus bermain di kepalanya."Aaaaaaaaaaa!"Farida berteriak meluapkan emosi dan kemarahannya. Namun, tak ada yang mendengarnya karena Adam pun bahkan telah pergi meninggalkannya.Air mata Far
Adam terus melangkahkan kakinya menuju ke rumah orang tuanya. Sesampainya di sana Adam langsung masuk ke rumah tanpa rasa canggung."Loh, Dam, kamu tumben ke sini nggak bilang sama ibu. Ada apa, Dam? Apa yang yang ibu transfer buat kamu masih kurang?" tanya Nadia menyambut kedatangan Adam.Saat itu Nadia sedang duduk di sofa sembari membaca majalah fashion kesukaannya."Bapak kemana, Bu?" tanya Adam dengan nada suara datar. Namun, deru napasnya terdengar sedikit berat."Bentar, ini ada apa kok kamu tiba-tiba nyariin bapak kamu. Bukannya tadi kalian sudah bertemu, ya?" tanya Nadia penasaran."Bapak dimana, Bu? Jawab saja pertanyaan ku," pinta Adam.Gejolak hatinya merasa ingin marah tapi sayang kepercayaannya jatuh pada ayahnya sehingga Adam tak sanggup untuk marah apalagi membenci ayahnya dan memilih untuk membelanya."Bapak ada kok, Dam. Bapak belum lama pulang. Sebentar ya ibu panggil dulu."Nadia langsung berjalan masuk ke dalam kamar untuk memanggil Hardi yang tengah berada di dal
Semua pakaian yang ada di dalam lemarinya kini sudah berpindah ke dalam sebuah tas lusuh berwarna pink. Farida hanya bisa menatap tas usang itu dengan mata berkaca-kaca.Seandainya saja suami yang aku cintai bisa menjadi sandaran hatiku setiap aku merasakan kesepian, gundah gulana, bahkan kesedihan atas setiap ujian yang menampar hatiku berkali-kali, mungkin aku akan bisa tetap bertahan meskipun aku tak pernah dinafkahi dengan cukup seperti istri lainnya. Tapi sayangnya, angan-angan ku terlalu tinggi untuk bisa merasakan itu semua dari suamiku, karena sebuah kepercayaan saja tidak bisa dia berikan pada istri yang selalu berbakti. Farida hanya bisa menitikkan air matanya menumpahkan keluh kesah yang tidak bisa dia lampiaskan."Tasya, sudah siap, Sayang?" tanya Farida yang saat itu hanya berdiri di sampingnya."Tapi sepertinya di luar akan hujan, Bu. Apa kita tidak bisa pergi besok saja," ucap Tasya yang masih polos.Mendengar ucapan dari Tasya membuat mata Farida yang berkaca-kaca kini
Farida duduk berhadapan dengan Nani di sebuah kursi kayu. Bajunya masih basah karena belum diganti dan hanya ditutupi dengan selembar handuk yang warnanya sudah sedikit pudar."Apa! Jadi kamu hampir dilecehkan oleh bapak mertua kamu tapi suami kamu tidak percaya!" Nani begitu sangat syok mendengar cerita dari putri semata wayangnya.Selama ini ia mengira, cacian dan hinaan dari ibu mertuanya sudah cukup menyiksa batin Farida, tapi kenyataannya salah, kehidupan Farida justru lebih menyedihkan daripada yang ia kira."Aku juga nggak tau kenapa mas Adam nggak percaya padaku, Bu. Padahal aku sudah menceritakan semuanya pada dia dan aku tidak mengada-ada." Dengan tersedu-sedu dan suara serak, Farida mencoba melanjutkan ceritanya."Ya sudah kalau begitu, kamu di sini saja sama ibu, Nak. Tinggalkan saja suamimu yang sudah dzolim padamu itu. Ibu tidak rela jika kamu disakiti dan didzolimi seperti ini oleh suami dan kedua orang tuanya."Mendengar perkataan dari ibunya justru membuat Farida sema
Adam melangkahkan kakinya meniti jalanan yang sedikit becek dan licin karena hujan yang mengguyur begitu deras.Sementara hari yang sudah petang membuatnya harus lebih berhati-hati dalam memilih target pijakan kakinya."Masa iya aku harus sampai bercerai dengan Farida," batin Adam yang masih terbayang-bayang dengan perkataan dari Nadia yang begitu membekas di ingatannya.Krukk ... Krukkk. Tiba-tiba perut Adam berbunyi cukup keras. Tangannya spontan mengusap perutnya yang terasa perih."Akh, aku lapar," ucapnya lirih. Ponsel di tangannya pun digenggam lebih erat.Adam kemudian lebih bergegas melangkahkan kakinya. Perutnya yang sudah terasa perih membuat naluri alaminya untuk segera sampai ke rumah.Biasanya saat ia mendatangi rumah kedua orang tuanya, Adam selalu memakan makanan di sana sampai kenyang tapi untuk kali ini berbeda. Adam melupakan hal itu dan membiarkan perutnya tetap kosong.Akhirnya Adam sampai di pelataran rumahnya. Matanya menyipit dalam menatap rumahnya yang tampak
Adam yang masih lunglai di atas lantai kini mulai menyeka air matanya yang sudah menerjang pertahanan kelakianya."Apa jangan-jangan Farida ada di rumah ibu, Ya," ucap Adam seketika semringah seperti menemukan jalan keluar dari masalahnya."Iya benar! Farida pasti ada di sana. Selama ini dia kan nggak pernah pergi jauh dan dia juga nggak punya kenalan juga, jadi nggak mungkin dia pergi selain ke rumah ibu."Dengan cepat Adam bangkit dari posisinya. Ia melupakan perutnya yang terasa perih dan sedari tadi berbunyi berteriak minta diisi.Adam keluar lagi dari rumahnya yang begitu sederhana. Tanpa menutup pintu, Adam meninggalkan rumah dan langsung menuju ke rumah ibu mertuanya yaitu Nani.Tak lama kini Adam sudah berada di depan rumah Nani yang terlihat sangat berbeda jauh dari rumah ibunya. Rumah Nani terlihat sangat reyot, dengan setengah dinding rumahnya yang masih memakai anyaman bambu yang warnanya sudah sedikit usang dan berlubang di beberapa titik.Jika lampu sedang menyala mungki
Adam duduk tertunduk di depan ibu mertuanya yang masih menatapnya dalam. Sementara Farida ikut juga duduk di sebelah Adam berdampingan dengannya."Nak Adam, apa kamu ingat janji yang kamu ucapkan di depan mendiang almarhum bapak Farida. Kamu sudah berjanji untuk membahagiakan dia lahir dan batin sampai pada akhirnya kamu mengucapkan ijab kabul di depan semua orang. Apa kamu masih ingat itu semua?" tanya Nani yang suaranya masih terbilang tenang."Iya, Bu. Aku masih ingat," jawab Adam pelan."Lalu kenapa kamu memperlakukan Farida seperti ini sekarang? Kenapa kamu mendzoliminya? Apa kamu tahu bagaimana perasaan ku, ibu kandung yang sudah melahirkannya."Mendengar kalimat Nani, membuat Farida tak kuasa menahan air matanya, begitu juga dengan Adam."Nak Adam, aku menyayangimu seperti anakku sendiri dan aku menyerahkan anakku padamu dengan ikhlas. Aku senang sampai aku menangis semalaman saat kau datang ke rumahku malam itu dan meyakinkan ku bahwa kau menerima Farida dan juga aku sebagai o
Hampir tengah malam akhirnya Farida memutuskan untuk pulang kembali ke rumahnya bersama dengan Adam.Tak lupa ia membangunkan Tasya yang sudah tidur nyenyak meski hanya di kasur tipis yang warnanya pun sudah kusam."Bu, aku minta maaf sekali, ya, karena sudah merepotkan ibu. Tidak seharusnya aku datang ke sini menangis-nangis jika pada akhirnya aku juga kembali pada mas Adam." Farida hanya bisa menunduk malu di hadapan Nani.Dengan lembut, Nani mengusap kepala Farida. Suaranya lirih terdengar di telinga Farida yang terbungkus dengan hijab segitiga berwarna cream."Tidak perlu bicara seperti itu, Nak. Kamu memang seharusnya ke sini kalau kamu sedang tidak baik-baik saja karena kamu masih punya ibu. Jangan kamu pendam semua masalahmu sendirian. Ibu juga ikut senang jika pada akhirnya kamu kembali lagi bersama dengan suamimu, aku cuma berharap bahwa kejadian seperti ini tidak terjadi lagi dan Adam benar-benar berubah."Sementara keduanya bercakap-cakap, Adam yang menggendong Tasya di pu
Dua bulan kemudian.Sudah 2 bulan semenjak kepergian Farida, keadaan Tasya semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan pucat bahkan Tasya sering kesulitan untuk menekan makanan membuatnya semakin tamoak kurus."Ma, bagaimana ini. Keadaan Tasya semakin memburuk. Kita harus bagaimana sekarang?" tanya Adam yang saat itu tengah duduk di samping Nadia."Sudahlah, Dam! Kamu jangan bikin Mama jadi tambah bingung. Sekarang kita udah nggak punya apa-apa lagi.!perkebunan juga udah kita jual dan rumah juga sudah digadai. Semua habis untuk biaya pengobatan Tasya yang sampai sekarang nggak sembuh-sembuh juga. Kita udah nggak punya apa-apa, Dam," ucap Nadia."Berikan saja Tasya pada Farida, biar dia yang mengurusnya," ucap Nadia ketus."Tapi kan kita nggak tahu keberadaan Farida sekarang, Ma.""Kamu benar, juga. Pokoknya kamu harus cari saja dia sampai ketemu dan berikan Tasya padanya. Biar dia yang gantian mengurus Tasya," ucap Nadia yang wajahnya tampak sangat kusut.Setelah obrolan keduanya, Na
Sudah dia hati Farida dan Feri mencari Tasya dan Adam namun mereka masih belum menemukannya."Mas, bagaimana ini? Besok aku sudah harus berangkat tapi sampai sekarang kita masih belum menemukan Tasya. Aku takut benar-benar tidak bisa bertemu dengan Tasya sebelum aku berangkat," ucap Farida sembari terisak.Sementara langkah kaki keduanya masih terus menyusuri jalanan yang tampak lengang karena mendung."Apa kamu benar-benar harus pergi, Farida? Kamu bisa tetap tinggal di sini kalau kamu mau," ucap Feri."Tapi aku ingin mengambil Tasya dari mas Adam suatu saat, Mas. Aku yakin jika aku sudah punya banyak uang dan bisa menghidupi Tasya, pasti mas Adam tidak punya alasan lagi untuk menahan Tasya dariku.""Kamu kan punya aku, Farida. Aku bisa menghidupi kamu dan juga Tasya saat kita sudah menikah nanti.""Tidak, Mas. Aku tidak ingin merepotkan kamu. Kamu adalah orang baru yang tidak seharusnya merasakan semua itu. Aku yakin bisa membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa menghidupi Tasya
Tok... Tok... Tok.Suara gedoran pintu yang cukup keras dari arah luar membuat Nadia yang sudah tidur harus tebangun.Dengan sedikit malas Nadia berjalan keluar dari kamar dan menghampiri pintu."Siapa sih malam-malam begini bertamu. Nggak punya sopan santun banget," umpat Nadia sembari berjalan menghampiri pintu.Saat pintu dibuka, Nadia langsung membulatkan kedua matanya melihat anak dan cucunya yang ternyata pulang tengah malam."Loh Dam, kamu kok malam-malam begini ke sini?" tanya Nadia sembari melirik ke arah Tasya yang digendong oleh Adam sementara kedua tangannya menjunjung taa besar.Seketika perasaan Nadia pun mulai tak enak dan menerka-nerka penyebab kedatangan Adam yang tiba-tiba.Nadia pun mempersilahkan Adam masuk. Setelah menidurkan Tasya di kamarnya, Adam kembali keluar menhampiri Nadia yang tengah duduk di sofa ruang tamu sembari meminum air putih yang ia pegang di tangan kanannya."Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu kembali ke rumah ini?" tanya Nadia tanpa basa-
Tiba-tiba saja Gladis bersimpuh di kaki Adam membuatnya semakin bingung."Maafkan aku, Mas. Aku minta maaf," ucap Gladis sembari menangis sesenggukan.Adam yang merasa belum puas dengan jawaban dari Gladis, segera meminta penjelasan yang lebih akurat."Hentikan nak Adam! Tespek itu memang milik Gladis," ucap Erna. Akhirnya Erna memberanikan diri angkat bicara mewakili Gladis yang saat itu hanya bisa menangis sesenggukan."Itu memang milik Gladis dan saat ini dia sedang hamil," ucap Erna lagi sembari melangkah kakinya menghampiri Gladis dan membangunkannya.Adam mengernyitkan keningnya tak mengerti. "Apa! H-hamil? Bagaimana bisa Gladis hamil sementara aku sendiri belum menyentuhnya," ucap Adam masih tak mengerti. Namun, dalam hatinya mulai berpikir yang tidak baik mengenai Gladis dan keluarganya.Hendaryo pun akhirnya menjelaskan semuanya pada Adam selagi Erna membawa Gladis kembali ke sisi mereka dan menenangkannya."Apa! Jadi kalian sudah menipu ku!" Adam tampak sangat marah setelah m
Setelah makan malam, Adam dan Gladis masuk ke dalam kamar dan duduk di pinggiran ranjang. Adam tampak ragu-ragu untuk mulai membahas apa yang dikatakan Nadia tadi di telpon."Emmm Gladis, Mas mau bicara sesuatu, " ucap Adam ragu-ragu.Gladis menatap ke arah Adam. "Ada apa, Mas? Mas mau bicara apa? Apa Ada sesuatu?" tanya Gladis.Adam terdiam sejenak memikirkan tentang apa yang akan ia katakan pada Gladis saat itu. Ia menimbang-nimbang dalam hatinya."Mas mau bicara apa? Bicara saja, tidak apa-apa kok," ucap Gladis meyakinkan.Adam yang tersadar mendengar kata-kata Gladis, langsung menoleh ke arahnya."Emmm b-begini, Gladis. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang dana yang akan keluarga kamu berikan untuk membantu perkebunan ku yang sedang memburuk," ucap Adam sedikit terbata.Gladis mengernyitkan keningnya mendengar apa yang dikatakan Adam saat itu."Mas, kamu ini bagaimana, sih. Sekarang kan Tasya sedang sakit tapi kok kamu memikirkan perkebunan! Seharusnya kamu memikirkan kesembuha
Hari-hari terus berlalu. Gladis dengan setia menemani Adam menjaga Tasya yang sakitnya semakin parah.Tasya membutuhkan pendonor namun masih belum mereka dapatkan sehingga sakitnya Tasya semakin parah.Gladis dan Adam bahkan belum melakukan malam pertama karena sibuk mengurus Tasya yang kondisinya terus memburuk.Dengan penuh kasih sayang, Gladis menyeka tubuh Tasya dengan air hangat yang ia siapkan sendiri."Terima kasih ya, Gladis. Aku benar-benar tidak menyangka kamu akan sesayang ini sama Tasya," ucap Adam mengusap lembut pundak Gladis lalu mengecupnya sekilas.Gladis pun menghentikan tangannya yang tengah menyapu tubuh Tasya. Ia menoleh ke arah Adam yang berdiri di sampingnya."Iya, Mas, sama-sama. Aku senang bisa melakukan ini semua," jawab Gladis lembut."Maaf ya karena sampai saat ini aku masih belum melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami.""Nggak apa-apa, Mas. Aku mengerti kondisi kamu sekarang. Ya sudah katanya kamu mau pergi ke apotek untuk memberi obat. Lebih baik ka
Dengan perasaan sedih yang bercampur aduk dengan kebencian pada orang-orang yang telah memisahkannya dengan putri semata wayangnya.Langkah kaki Farida sedikit terhuyung. Matanya yang sembab dan berkaca-kaca membuat pandangannya tanoak sedikit buyar. Ia bahkan harus berhenti sejenak di depan teras rumah sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumah."Farida, kamu kenapa kok lemes gitu?" tanya Ratna yang saat itu baru kembali pulang ke rumah dan langsung melihat Farida yang tampak lemas tak berdaya.Sebelah tangan Farida memegang dinding untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya."B-bu ...." Belum selesai Farida menyelesaikan kalimatnya, air matanya telah lebih dulu jatuh. Ratna pun sontak langsung memeluk erat tubuhnya."Ada apa Farida? Apa yang telah terjadi sampai-sampai kamu seperti ini?" tanya Ratna dengan suara yang mulai parau."Tasya, Bu. Dia dibawa pergi entah kemana oleh mantan suamiku," ucap Farida dengan terbata."A-apa! Tasya dibawa pergi." Ratna ikut syok mendengar apa yang d
"Alhamdulilah ya, Mas. Akhirnya ibu sudah boleh pulang hari ini," ucap Farida menoleh ke arah Feri yang masih berjalan bersamanya."Iya, Farida," jawab Feri sembari tersenyum.Keduanya pun lalu masuk ke dalam sebuah ruangan. Dari kejauhan Adam masih mengamati keduanya."Oh ternyata mereka tidak ke ruangan Tasya. Tapi itu ruangan siapa, ya. Siapa yang sakit," ucap Adam lirih pada dirinya sendiri."Ah sudahlah, ngapain juga aku mikirin siapa yang ada di ruangan itu. Lebih baik sekarang aku fokus pada kesembuhan Tasya saja," ucap Adam lagi. Ia pun lalu pergi meninggalkan tempatnya dan kembali ke ruangan Tasya.***Pagi harinya Farida sudah bangun dan sudah menyiapkan sarapan di atas meja.Feri yang baru saja keluar dari dalam kamarnya, langsung menghampiri Farida."Farida, kamu nggak perlu masak begini. Kamu kan pasti capek dari kemarin ngurusin ibu sampai kurang tidur," ucap Feri."Oh nggak, kok, Mas. Alhamdulilah keadaan ibu sudah lebih baik jadi aku bisa meninggalkan ibu untuk melakuk
"Sah."Kalimat dari penghulu yang menikahkan Adam dan Gladis saat itu dapat didengar oleh semua saksi dan tamu undangan yang ada di dalam ruangan tempat akad Adam dan Gladis dilaksanakan."Sah," jawab para saksi dan para tamu yang hadir hampir bersamaan.Setelah seminggu berkenalan dengan Gladis, akhirnya Adam sudah sah menikahinya."Alhamdulillah," ucap Adam sembari mengusap kedua telapak tangannya ke wajahnya.Sama dengan apa yang Adam lakukan, Gladis pun melakukan hal yang sama. Tak lama Gladis menoleh ke arah Adam sembari tersenyum dan ia mengalami tangan Adam yang kini telah berstatus sebagai suaminya.Semua orang pun menyalami Adam dan Gladis untuk memberinya selamat. Tak terkecuali Nadia dan kedua orang tua Gladis yang ikut menyalami keduanya.Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan untuk Adam dan juga Gladis karena keduanya telah sah menjadi suami istri.Sampai sore hari akhirnya acara pernikahan Adam dan Gladis telah selesai dan para tamu pun telah pulang."Dam, Gladis