Jadi, itukah yang namanya Pak Darren? konglomerat yang katanya membiayai pembangunan pabrik ini? Su-suaminya Mbak Rahma? Nggak mungkin?" Timpal Rini yang tanpa sadar terduduk di kursinya dengan tubuh gemetar.***Ketiga wanita itu kini terlihat saling memandang satu sama lain. Wajah mereka tampak begitu syok karena terkejut dengan kenyataan yang baru saja mereka ketahui. Rini masih duduk dengan lutut yang gemetar, entah mengapa semua kalimat hinaan dan ejekan yang pernah ia lontarkan untuk Rahma kini berputar-putar bagai sebuah kaset kusut di dalam kepalanya.Tak hanya Rini, Lilis dan Mira pun sama. Mereka bertiga kini tak ubahnya bagai seorang pesakitan begitu menyadari sikap dan ucapan kasar yang telah mereka bertiga lontarkan pada Rahma, Istri sang konglomerat itu."Andai aku tahu ia tak berbohong saat bilang suaminya sedang berada di Amerika, aku tak akan mungkin mengejek dan menghinanya seperti itu." Sesal Mira."Aku bahkan tak ingin mempercayai hal yang ku lihat ini, bestie," S
"Iya, aku pun sudah tak sabar untuk bertemu semua orang, " jawab Rahma, tanpa menyadari jika sebuah masalah besar telah menanti mereka di sana.***Keesokan sorenya."Mungkin suatu saat nanti aku akan datang untuk berlibur ke tempat ini lagi," tutur Rahma tampak sedih saat mobil yang ditumpanginya perlahan bergerak meninggalkan kota Pagar Alam."Kau bisa mengunjunginya kapanpun, sayang," timpal Yudha sambil merangkul pundak Rahma."Terima kasih.'"Kau tahu mas, meskipun ada beberapa warga yang julid, tapi mereka tidak jahat, beda sekali beberapa orang yang kukenal di Jakarta, yang sangat pandai mencari muka dan menjatuhkan orang lain.""Aku bahkan dapat banyak sekali hadiah dari mereka," lanjut Rahma sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yudha.Yudha memilih tak membalas perkataan istrinya, lelaki itu memilih mengecup lembut pucuk kepala Rahma.Tiga bulan lebih tinggal di sana, membuat Rahma mulai terbiasa dengan adat dan budaya warganya, bahkan kini lidahnya pun mulai menyukai semua
"Nih, ada telepon dari Jamila, untukmu," ketus Rahma sambil menyerahkan ponsel tersebut ke tangan Yudha.***Kening Yudha terlihat berkerut saat menyadari sikap Rahma yang tampak aneh tersebut. Tak lama, ia melirik ponselnya. Untuk sesaat, lelaki itu terkejut lalu kembali menatap wajah istrinya sambil mengulas senyum."Ini bukan Jamila, tapi tertulis Jesslyn di sini," ujar Yudha menggoda Istrinya."Bodo amat, mau Jamila, Jessica, Jesslyn atau Lucinta Luna. Memangnya siapa dia? Kekasih gelapmu atau simpananmu?" Tuding Rahma yang mulai terbakar cemburu."Jesslyn adalah mantan kekasihku sewaktu dulu kuliah di Birmingham, Inggris," Jawab Yudha yang membuat wajah Rahma semakin cemberut."Mantan ya, pantes cantik. Terus ada urusan apa dia sampai menelponmu?" sungut Rahma."Entahlah, aku juga tak tahu, mungkin mau menawarkan kerja sama bisnis denganku?" jawab Yudha."Apa harus denganmu? Kurasa ia pasti punya banyak kolega bisnisnya yang lain.""Lain ceritanya jika kau juga mencari kesempatan
"Entah apa tujuan wanita itu kembali?" Bisik Yudha pelan, lalu meraih gagang telepon dan meminta Sekretarisnya untuk menolak siapapun tamu ataupun kolega bisnisnya yang ingin bertemu dengannya hari ini.***Sementara itu di Parung, tampak Deni sedang duduk melamun di sofa tamu rumahnya, sesekali tampak ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sengaja ia menutup tokonya lebih cepat siang ini karena tak ingin bertemu dengan para Debt Collector bank tempatnya mengajukan pinjaman kredit dulu, yang biasanya datang sore hari Helaan nafasnya terdengar berat, di hadapannya ada segelas kopi hitam menemaninya duduk. Andai putrinya ada di rumah, mungkin setidaknya ada seseorang yang duduk menemaninya di sini."Entah keluyuran di mana anak itu?" Sungut Deni beberapa saat kemudian.Suara hentakan langkah terdengar mendekat, di ikuti dengan suara seseorang yang saling berbalas sapaan. Membuat Deni akhirnya berdiri dan mengintip dari balik gorden jendela. "Darimana saja kau Widya?" Tanya Deni saat m
Jasmine, Nama ibu mertuanya yang telah lama meninggal, tampak tertera di sampul buku tersebut, mungkinkah buku yang sudah usang ini dulunya adalah milik beliau?***Rahma mengengam buku tersebut sambil melangkah menuju sofa. Buku bersampul biru yang terlihat cukup usang itu sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali melihatnya.Nama Jasmine tertera jelas di sampul bukunya, dari warna sampulnya saja sudah bisa diperkirakan jika buku tersebut sudah berusia puluhan tahun, namun masih begitu rapi, menandakan jika ada seseorang yang selama ini sengaja menyimpannya."Seperti sebuah buku harian seseorang, apa mungkin ini adalah buku harian milik mama Jasmine?" Bisik Rahma dengan kening berkerut.Perlahan, tangan Rahma mulai membuka halaman demi halaman. Dugaannya benar, buku tersebut adalah buku harian milik ibu mertuanya, tampak wajah Rahma yang mengulas senyum saat membacanya, seolah isinya menggambarkan kebahagiaan. "Kurasa kakek sengaja menyimpannya untuk diserahkan kepada Mas Yudha
"Aduh, aku hampir lupa, tunggu sebentar ya." Ujar Rahma lalu bergegas keluar kamar menuju ruang kerjanya untuk menggambil buku harian milik Jasmine yang masih tertinggal di sana dan membawanya ke hadapan Yudha dengan sangat hati-hati.***"Apa ini?" Tanya Yudha dengan dahi mengeryit saat melihat buku bersampul biru itu di serahkan Rahma padanya."Buku harian, Sepertinya ini milik ibumu, kurasa kakek mungkin sengaja menyimpannya untukmu, mas," jawab Rahma."Ini ...!" Alis Yudha terlihat bertautan saat melihat nama Jasmine tertera di sampul depan buku tersebut, lalu melirik Rahma yang spontan mengangguk seolah menegaskan apa yang sedang dipikirkan lelaki itu saat ini.Yudha menatap buku tersebut dengan seksama," aku tak pernah melihatnya, di mana kau menemukannya?" Kembali ia bertanya.Sambil mengulas senyum, Rahma menjawabnya. "Di rak buku milik kakek. Aku tak sengaja menemukannya terselip di antara koleksi buku yang sering di baca kakek.""Benarkah itu?" Bisik Yudha seakan tak percay
"Kupikir kau lebih tahu bagaimana caranya mengurus seekor kucing betina yang kelaparan seperti dirinya, sayang. Makanya kuberikan ia padamu," Gemas Yudha sambil mengecup lembut pipi Rahma.***Pagi-pagi sekali Yudha sudah ditunggu Demian di teras, karena ada rapat penting pagi ini, lelaki itu tampak sudah bersiap dengan tas di tangannya. "Sepagi ini?" Keluh Rahma manja sambil melirik arloji di pergelangan tangan Yudha."Iya, rapatnya akan dimulai pukul delapan pagi ini, Sayang," Sahut Yudha sambil merapikan dasinya."Lalu, bagaimana dengan rencana nanti malam? bukankah kita ada acara makan malam di rumah papa? Jangan bilang kalau kau tak bisa hadir karena papa pasti akan kesal mendengarnya," cecar Rahma mengingatkan."Akan ku usahakan. Yang penting nanti sore kau bersiap siap saja," pungkas Yudha lalu mengecup lembut pucuk kepala istrinya itu.Rahma hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kecut mendengarnya. Di lambaikan tangannya sebentar ketika melihat mobil yang ditumpangi Yudha pe
"Kupikir kau tak datang, Jesslyn. Tante hampir saja melupakanmu," sambut Miranda sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan sang keponakan.***"Maaf, aku terlambat, jalanan cukup padat malam ini," Sahut Jesslyn, lalu menghampiri Miranda.Mendengar nama Jesslyn di sebut membuat Rahma refleks menoleh, tampak seorang wanita berkulit putih berwajah oriental tengah menyapa Budi dengan sopan.Kening Rahma berkerut, wajah dan nama itu seperti tidak asing baginya, sejenak ia berpikir, hingga beberapa saat kemudian, Rahma memalingkan pandangannya pada Yudha, suaminya."Tak salah lagi, kucing betina itu," Rahma berdesis pelan.Di liriknya Yudha yang masih tampak santai seakan tak peduli dengan kedatangan Jesslyn, wajah lelaki itu tampak datar sambil terus mengengam tangan Rahma."Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," bisik Yudha sambil menoleh dan mengedipkan sebelah matanya pada Rahma."Benarkah? Baguslah berarti tak payah aku mengingatkan," balas Rahma, tak lama terdeng