"Kupikir kau tak datang, Jesslyn. Tante hampir saja melupakanmu," sambut Miranda sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan sang keponakan.***"Maaf, aku terlambat, jalanan cukup padat malam ini," Sahut Jesslyn, lalu menghampiri Miranda.Mendengar nama Jesslyn di sebut membuat Rahma refleks menoleh, tampak seorang wanita berkulit putih berwajah oriental tengah menyapa Budi dengan sopan.Kening Rahma berkerut, wajah dan nama itu seperti tidak asing baginya, sejenak ia berpikir, hingga beberapa saat kemudian, Rahma memalingkan pandangannya pada Yudha, suaminya."Tak salah lagi, kucing betina itu," Rahma berdesis pelan.Di liriknya Yudha yang masih tampak santai seakan tak peduli dengan kedatangan Jesslyn, wajah lelaki itu tampak datar sambil terus mengengam tangan Rahma."Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan," bisik Yudha sambil menoleh dan mengedipkan sebelah matanya pada Rahma."Benarkah? Baguslah berarti tak payah aku mengingatkan," balas Rahma, tak lama terdeng
"Ada apa, mas?" Tanya Miranda."Tak ada apa-apa, hanya pembicaraan singkat para lelaki," jawab Budi sambil menyendok makanan ke mulutnya.***Rahma mengulas senyum ketika mendengar ucapan ayah mertuanya, kembali denting sendok dan garpu terdengar, seakan telah menjadi musik pengiring di meja makan itu.Mereka tampak begitu menikmati makanan yang disajikan di atas meja tersebut. Begitu pula dengan Rahma, meski hatinya saat ini mulai terbakar oleh rasa cemburu namun, logikanya masih bekerja dengan baik.Diam diam Rahma mengamati Jesslyn, wanita yang mengenakan gaun off shoulder itu tampak memukau malam ini dengan make-up flawless dan tatanan rambut sebahunya yang di Curly. tak lama ia berdehem pelan."Sebelumnya maaf jika aku lancang bertanya padamu Mbak Jesslyn ...""Jesslyn, panggil saja Jesslyn. Mbak Rahma," ucap Jesslyn memotong ucapan Rahma."Ah, iya. Baiklah Jesslyn.""Apakah kau sudah bekerja? Maaf jika pertanyaan ini terdengar sangat lancang!" Desis Rahma sambil menatap Jesslyn
"Bagus sekali, wanita itu namanya Jesslyn, mulai sekarang tugasmu adalah menjauhkan wanita itu dari Mas Yudha, jika kau melihat wanita itu datang ke kantor mencari Mas Yudha, segera beri tahu aku, termasuk juga saat kau melihat Mas Yudha menerima telepon darinya. Kau mengerti Pak Demian?" Perintah Rahma sambil mendelik pada Yudha yang mengulum senyum saat mendengarnya.***Sementara itu di Parung, Bogor. Terjadi keributan di rumah Deni. Tampak lelaki itu tengah mengajak istrinya berbicara."Aku berniat untuk menjual rumah dan mobil kita," ungkap Deni."A-apa kau bilang, mas? Mau menjual mobil dan rumah kita? Apa aku tidak salah dengar?" Pekik Widya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya."Iya, tak ada cara lain, aku terpaksa menjualnya untuk menutup semua hutang-hutangku," sengit Deni."Siapa yang menyuruhmu menjualnya? Hah!? Siapa yang mengizinkanmu untuk menjualnya?" Teriak Widya. Suaranya terdengar ke setiap sudut kamar mereka.Deni berdecak kesal, lelaki itu mul
"Benarkah? berarti kau sudah bicara padanya?" tanya nella."iya, aku sudah bicara padanya. rahma memintaku agar menjual rumah dan mobilku padanya jika ingin semua hutangku lunas. rahma bilang bahwa aku harus melakukannya jika masih ingin berharap bantuan lain darinya," ungkap deni dengan dahi mengeryit seakan sedang berpikir.***Yudha mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, sambil menatap ke layar komputer. Lelaki itu terlihat sedikit gusar, seakan ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya.Sesekali ia melirik ke layar ponselnya, seolah sedang menunggu panggilan telepon dari seseorang. Namun hingga lima belas menit berlalu, Layar pipih itu masih gelap, tak ada satupun notifikasi pesan yang masuk.Suara ketukan pintu terdengar ketika baru saja hendak menyandarkan punggungnya, tak lama melangkah masuk sekretarisnya sambil membawa beberapa tumpukan dokumen di tangannya."Ini laporan yang bapak minta," ucapnya dengan sopan meletakkan dokumen-dokumen itu ke atas meja."Terima kasih," Jawab
"Rahma memang bukanlah anak pejabat atau putri kesayangan seorang konglomerat, tapi ia satu satunya wanita yang ada di saat semua orang berpaling dan menjauh dariku," desis Yudha lalu meletakkan kembali ponselnya ke atas meja.***"Kau tak apa-apa, mas? Ada masalah?" Tanya Rahma begitu melihat Yudha yang terlihat lesu sepulang dari kantor."Aku baik - baik saja," Jawab Yudha, lalu duduk sambil melepas sepatunya. Tak mungkin rasanya ia menceritakan isi pembicaraannya dengan Jesslyn tadi siang pada Rahma, karena bisa saja akan membuat istrinya kesal."Mau kusiapkan makan sekarang?" Kembali Rahma bertanya, ada gurat kekhawatiran di wajahnya."Nanti saja, sayang. Aku mau mandi dulu," sahut Yudha sambil mengulas senyum tipis."Baiklah, tapi jika kau butuh sesuatu, bilang padaku ya?" Ujar Rahma kemudian.Yudha mengangguk, lalu meraih handuk dan bergegas ke kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya.Ponsel Rahma bergetar sesaat kemudian, dengan malas di liriknya benda pipih itu, tampak ada
"Apa mereka sedang membicarakan Hera? Ibunya mbak Denisa?" Bisik Rahma sambil terus memperhatikan mereka berdua dari dari balik pintu.***Rahma bergeming sesaat, lalu intipnya kembali, tampak mereka masih berbicara di sana. Takut ketahuan menguping Rahma pun memutuskan untuk melanjutkan langkahnya."Apa mereka sedang membicarakan Hera?" Gumam Rahma dengan dahi mengeryit.Suryani tampak sumringah menyambut Rahma ketika langkah wanita itu akhirnya tiba di meja makan. Dilihatnya meja makan sudah penuh dengan makanan, pertanda sarapan sudah siap."Mana Mbak Denisa dan Mas Yudha, mbak?" Tanya Suryani."Sebentar lagi mereka berdua akan datang, Mak. Tunggu saja di sini," jawab Rahma seakan mencegah Suryani untuk memanggil mereka, lalu duduk di salah satu kursi.Suryani tak menjawabnya, wanita paruh baya itu tampak menggangguk patuh, lalu memilih duduk di sebelah Rahma. Lima menit kemudian tampak Yudha dan Denisa datang bersamaan menghampiri mereka. Untuk menikmati sarapan pagi bersama."Apa
"Entah di mana mama berada? Aku sungguh mencemaskannya," Suara Denisa terdengar begitu lirih. "Berdoa saja, Mbak, aku yakin kita pasti akan menemukannya," hibur Rahma lalu menepuk lembut pundak Denisa sebagai bentuk dukungan padanya.***Matahari masih begitu terik saat Rahma dan Denisa kembali masuk ke dalam mobilnya, keringat mulai sedikit membasahi wajah Rahma membuat tangan wanita itu menarik sehelai tisu untuk menyekanya.Gurat wajah cemas masih terlukis di wajah Denisa. Rahma bisa mengerti apa yang dirasakan Denisa saat ini. Bagaimanapun buruknya tabiat Hera, tetap saja Denisa harus berbakti padanya.Perlahan mobil yang mereka tumpangi akhirnya bergerak meninggalkan pelataran apartemen tersebut, tampak ekor mata Denisa masih menatap bangunan apartemen itu, mungkin masih berharap ibunya berada di sana."Maaf, kita akan pergi kemana, Bu?" Tanya sang sopir pada Rahma."Sebentar pak," Rahma menyahut lalu melirik Denisa yang masih bergeming."Mbak Denisa, apa kau ingat seseorang ata
"Katakan saja Rahma, tak perlu sungkan padaku.""Apa kau mengenal Jesslyn?" Mendengar pertanyaan Rahma, sontak Denisa mengerutkan keningnya.***Deni memandang meja makannya yang kosong, hanya ada sedikit sisa lauk semalam. Dibukanya penanak nasi, tak ada nasi hangat di sana melainkan nasi kemarin yang sudah hampir basi.Sejak pagi ia belum mengisi perutnya dengan makanan dan sekarang matahari sudah tinggi, namun tak jua ada sedikit makanan yang ditemukannya di sini untuk sekedar mengganjal perutnya yang lapar.Perlahan ia memeriksa dapurnya, mencari sesuatu yang bisa ia masak, Namun usahanya tampaknya sia-sia saja karena tak ada apapun di dapurnya."Bahkan gula pun tak ada," keluh Deni kesal, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi.Sejak pagi Widya sudah keluar rumah, beralasan ada keperluan dengan salah seorang saudaranya. Tak ada sarapan yang biasa disiapkan oleh Widya, membuat suara diperutnya kini kembali bernyanyi."Widya benar benar keterlaluan, sepertinya ia sengaja membuatku ke