"Benarkah? berarti kau sudah bicara padanya?" tanya nella."iya, aku sudah bicara padanya. rahma memintaku agar menjual rumah dan mobilku padanya jika ingin semua hutangku lunas. rahma bilang bahwa aku harus melakukannya jika masih ingin berharap bantuan lain darinya," ungkap deni dengan dahi mengeryit seakan sedang berpikir.***Yudha mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja, sambil menatap ke layar komputer. Lelaki itu terlihat sedikit gusar, seakan ada sesuatu hal yang mengganjal pikirannya.Sesekali ia melirik ke layar ponselnya, seolah sedang menunggu panggilan telepon dari seseorang. Namun hingga lima belas menit berlalu, Layar pipih itu masih gelap, tak ada satupun notifikasi pesan yang masuk.Suara ketukan pintu terdengar ketika baru saja hendak menyandarkan punggungnya, tak lama melangkah masuk sekretarisnya sambil membawa beberapa tumpukan dokumen di tangannya."Ini laporan yang bapak minta," ucapnya dengan sopan meletakkan dokumen-dokumen itu ke atas meja."Terima kasih," Jawab
"Rahma memang bukanlah anak pejabat atau putri kesayangan seorang konglomerat, tapi ia satu satunya wanita yang ada di saat semua orang berpaling dan menjauh dariku," desis Yudha lalu meletakkan kembali ponselnya ke atas meja.***"Kau tak apa-apa, mas? Ada masalah?" Tanya Rahma begitu melihat Yudha yang terlihat lesu sepulang dari kantor."Aku baik - baik saja," Jawab Yudha, lalu duduk sambil melepas sepatunya. Tak mungkin rasanya ia menceritakan isi pembicaraannya dengan Jesslyn tadi siang pada Rahma, karena bisa saja akan membuat istrinya kesal."Mau kusiapkan makan sekarang?" Kembali Rahma bertanya, ada gurat kekhawatiran di wajahnya."Nanti saja, sayang. Aku mau mandi dulu," sahut Yudha sambil mengulas senyum tipis."Baiklah, tapi jika kau butuh sesuatu, bilang padaku ya?" Ujar Rahma kemudian.Yudha mengangguk, lalu meraih handuk dan bergegas ke kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya.Ponsel Rahma bergetar sesaat kemudian, dengan malas di liriknya benda pipih itu, tampak ada
"Apa mereka sedang membicarakan Hera? Ibunya mbak Denisa?" Bisik Rahma sambil terus memperhatikan mereka berdua dari dari balik pintu.***Rahma bergeming sesaat, lalu intipnya kembali, tampak mereka masih berbicara di sana. Takut ketahuan menguping Rahma pun memutuskan untuk melanjutkan langkahnya."Apa mereka sedang membicarakan Hera?" Gumam Rahma dengan dahi mengeryit.Suryani tampak sumringah menyambut Rahma ketika langkah wanita itu akhirnya tiba di meja makan. Dilihatnya meja makan sudah penuh dengan makanan, pertanda sarapan sudah siap."Mana Mbak Denisa dan Mas Yudha, mbak?" Tanya Suryani."Sebentar lagi mereka berdua akan datang, Mak. Tunggu saja di sini," jawab Rahma seakan mencegah Suryani untuk memanggil mereka, lalu duduk di salah satu kursi.Suryani tak menjawabnya, wanita paruh baya itu tampak menggangguk patuh, lalu memilih duduk di sebelah Rahma. Lima menit kemudian tampak Yudha dan Denisa datang bersamaan menghampiri mereka. Untuk menikmati sarapan pagi bersama."Apa
"Entah di mana mama berada? Aku sungguh mencemaskannya," Suara Denisa terdengar begitu lirih. "Berdoa saja, Mbak, aku yakin kita pasti akan menemukannya," hibur Rahma lalu menepuk lembut pundak Denisa sebagai bentuk dukungan padanya.***Matahari masih begitu terik saat Rahma dan Denisa kembali masuk ke dalam mobilnya, keringat mulai sedikit membasahi wajah Rahma membuat tangan wanita itu menarik sehelai tisu untuk menyekanya.Gurat wajah cemas masih terlukis di wajah Denisa. Rahma bisa mengerti apa yang dirasakan Denisa saat ini. Bagaimanapun buruknya tabiat Hera, tetap saja Denisa harus berbakti padanya.Perlahan mobil yang mereka tumpangi akhirnya bergerak meninggalkan pelataran apartemen tersebut, tampak ekor mata Denisa masih menatap bangunan apartemen itu, mungkin masih berharap ibunya berada di sana."Maaf, kita akan pergi kemana, Bu?" Tanya sang sopir pada Rahma."Sebentar pak," Rahma menyahut lalu melirik Denisa yang masih bergeming."Mbak Denisa, apa kau ingat seseorang ata
"Katakan saja Rahma, tak perlu sungkan padaku.""Apa kau mengenal Jesslyn?" Mendengar pertanyaan Rahma, sontak Denisa mengerutkan keningnya.***Deni memandang meja makannya yang kosong, hanya ada sedikit sisa lauk semalam. Dibukanya penanak nasi, tak ada nasi hangat di sana melainkan nasi kemarin yang sudah hampir basi.Sejak pagi ia belum mengisi perutnya dengan makanan dan sekarang matahari sudah tinggi, namun tak jua ada sedikit makanan yang ditemukannya di sini untuk sekedar mengganjal perutnya yang lapar.Perlahan ia memeriksa dapurnya, mencari sesuatu yang bisa ia masak, Namun usahanya tampaknya sia-sia saja karena tak ada apapun di dapurnya."Bahkan gula pun tak ada," keluh Deni kesal, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi.Sejak pagi Widya sudah keluar rumah, beralasan ada keperluan dengan salah seorang saudaranya. Tak ada sarapan yang biasa disiapkan oleh Widya, membuat suara diperutnya kini kembali bernyanyi."Widya benar benar keterlaluan, sepertinya ia sengaja membuatku ke
Mendengarnya Rahma mengangguk pelan. " Kau benar, mbak. Kelihatannya aku memang harus berhati-hati." Desis Rahma lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.***Mobil yang mereka tumpangi terus melaju ke arah Cibubur, sepanjang perjalanan hanya kemacetan yang mereka lalui. Kebanyakan mobil pribadi yang memadati jalan hingga tak bisa di pungkiri perjalanan mereka pun terhambat.Rahma membuang pandangannya ke luar jendela, cuaca di luar masih terik, kelihatannya Sang Surya benar-benar sedang ingin menunjukkan kekuatannya, seolah tak ingin ada yang menandinginya."Ah, aku ingat sesuatu, Rahma," cetus Denisa tiba-tiba.Mendengarnya, refleks Rahma menoleh dengan kedua alisnya yang tertaut. " Ingat apa, mbak?""Jesslyn ... Yah, aku ingat dulu Yudha pernah bercerita jika wanita itu mencampakkan dirinya karena pria lain," jawab Denisa.Mendengarnya, Rahma mengulas senyum. "Aku tahu, Mas Yudha sudah mengatakannya bahwasanya dulu dia dicampakkan oleh Jesslyn karena wanita itu berselingkuh de
"Apa salah jika aku ingin mengambil kembali sesuatu yang pernah menjadi milikku?" Lanjut Jesslyn menyeringai sinis yang langsung disambut dengan gelengan kepala oleh Lucy.***Rahma menyandarkan punggungnya, sudah hampir setengah jam mobil yang mereka tumpangi terjebak di sana, membuat pinggangnya mulai lelah.Sedari tadi yang di lakukannya adalah bermain ponsel sekadar untuk menghilangkan kejenuhan sambil sesekali mengajak Denisa berbicara ataupun menanggapi ucapannya. Helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya, pertanda betapa membosankannya situasi mereka saat ini.Suara klakson kendaraan masih terdengar memekik, beberapa sepeda motor tampak mencari sedikit celah untuk bisa melewati kemacetan ini. Tak ayal membuat kondisi jalanan semakin semrawut."Apa kita masih akan lama terjebak di sini?" Tanya Denisa pada sopir."Saya juga kurang tahu bu, sepertinya kita mungkin akan menunggu beberapa saat lagi karena mobil di depan juga masih belum bergerak," jawab sopir mereka."Begitukah?
"Malam ini juga aku harus mengajak Rahma bicara dan menceritakan semuanya padanya," bisik Yudha bertekad lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.***Rumah bercat biru itu terlihat sepi, tampak seorang lelaki bergegas membukakan pagar ketika melihat kedatangan Denisa dan Rahma.Rahma melirik Denisa seolah ingin memastikan jika rumah ini benar yang ingin mereka tuju, anggukan Denisa yang bersamaan dengan terbukanya pagar rumah tersebut membuat Rahma akhirnya bertanya."Bapak tak bertanya siapa kami dan apa keperluan kami datang ke sini?" Tanya Rahma yang sedikit heran, karena sejatinya lelaki itu seharusnya bertanya lebih dulu sebelum membuka pagarnya.Mendengarnya, lelaki itu tersenyum."Ibu sudah memberi pesan jika akan ada tamu yang datang ke rumah ini," Jawabnya."Begitu kah?" Ujar Rahma sambil melipat kening."Sudahlah, ayo kita masuk," ajak Denisa.Mereka lalu berjalan beriringan menuju ke pintu masuk utama rumah tersebut. Tak lama, seorang wanita paruh baya datan