Di ikuti oleh tatapan mata Rini yang sedari tadi tak berkedip memandangnya ***Dari celah kecil gorden jendela rumahnya, Nella mengintip. Tampak di teras rumahnya dua orang pria yang sedang berdiril sambil sesekali mengucap salam dan mengetuk pintu rumahnya.Tubuh wanita itu gemetar, lututnya terasa lemas tidak bertenaga. Entah ada di mana keberaniannya, karena saat ini rasa takut semakin menjalar di sekujur tubuhnya.Tak ada orang lain selain dirinya di rumah. Seorang tetangga yang bekerja di rumahnya sudah beberapa saat lalu pamit pulang, begitu juga dengan Eko, suaminya yang masih belum pulang ke rumah."Bu Nella!"Kembali Nella mendengar namanya dipanggil keras, namun tetap saja ia memilih untuk bungkam. Rasa takut membuat wanita itu mematung dan tak berani beranjak dari tempatnya."Bagaimana ini, sampai kapan mereka berdiri di sana?" Keluh Nella dengan suaranya yang teramat pelan.Beberapa saat kemudian, kembali matanya mengintip, setidaknya kali ini ia merasa lega karena dua or
"Halo," sapa Nella lebih dulu saat panggilan telepon mereka tersambung.***Beberapa hari kemudian."Bagaimana dengan laporan yang kuminta, Pak Demian?" Tanya Rahma begitu sambungan teleponnya tersambung."Sudah saya selesaikan, Bu. Begitu juga dengan hal yang ibu minta kemarin," jawab Demian."Lalu bagaimana reaksinya?"Suara seseorang mengucap salam terdengar membuat Rahma yang duduk di sofa tamu menoleh, namun telinganya masih menangkap jawaban atas pertanyaannya pada Demian tadi.Dengan sedikit tergesa-gesa, Mak Suryani datang dari arah dapur untuk melihat siapa yang hendak bertamu ke rumah mereka. Dari balik gorden dilihatnya Lilis, Istri juragan tanah kampung ini, tengah berdiri bersama seorang wanita sambil mengipasi wajahnya."Siapa yang datang, mak?" Tanya Rahma lalu memutuskan sambungan teleponnya."Ibu Lilis, Istrinya Pak Acip si juragan tanah, mbak," jawab Suryani."Istrinya juragan tanah itu, ngapain dia datang ke sini, Mak?" Sahut Rahma mengernyitkan dahi."Entahlah, mba
Sudah tiga hari wajah Nella tampak sumringah, begitu pula saat dua orang penagih hutang datang ke rumahnya, wajah itu tidak terlihat gusar seperti sebelumnya.Dengan senyum mengembang wanita itu mempersilahkan kedua pria penagih hutang itu masuk, terlihat mereka berbicara sebentar hingga beberapa menit kemudian Nella menarik amplop yang telah disiapkan sebelumnya."Ini saya bayar Lunas semua hutang saya," ujar Nella dengan begitu percaya diri saat meletakkan amplop itu ke atas meja.Kedua pria penagih hutang itu bersikap ramah, setelah dirasa semua urusan selesai, salah seorang dari mereka pun bicara."Baiklah Bu Nella, terima kasih atas kerjasamanya." Pamit kedua pria itu padanya lalu bergegas pergi keluar dari rumahnya.Suara deru motor yang sedikit memekakkan telinga perlahan mulai menjauh. Sejenak Nella terdiam menatap lembaran kwitansi di tangannya.Tiga hari yang lalu akhirnya Rahma menelponnya, saat itu ia sudah tidak peduli lagi dengan harga dirinya, Nella menangis terisak-isa
"Dasar, mulut itu kalau ngomong mbok ya dipikir dulu, apa nggak pernah makan bangku sekolahan? Nanti kalau semuanya tahu siapa suaminya Mbak Rahma, pada sok sibuk minta maaf. Dih! Bener bener nggak tahu malu. Cuih!" umpat Suryani sambil mencebik kesal.***Rahma menyunggingkan senyum saat di lihatnya Suryani yang masih mengumpat di teras, sementara Demian merapikan kertas yang ada di meja sebelum mengucap pamit pada atasannya."Jika ibu membutuhkan sesuatu, tolong jangan sungkan beritahu saya."Rahma mengganguk pelan lalu balas bertanya," apa Pak Darren sudah memberi tahu jadwal keberangkatan pesawatnya?""Belum Bu, meski sudah saya tanyakan, beliau hanya bilang semua sudah diurus oleh sekretaris Mr. Smith," jawab Demian."Begitu ya? Mr. Smith?""Iya Bu, partner bisnis Pak Darren di sana," jelas Demian lalu dengan sopan bangkit dari tempat duduknya."Saya pamit bu," lanjut Demian sambil setengah membungkuk."Iya, terima kasih atas bantuannya."Demian hanya menganggukkan kepalanya, lal
"Kau benar Mak, soalnya pas aku chat semalam, Mas Yudha bilang pesawatnya akan tiba sore ini dan ... " ucapan Rahma terhenti, matanya tak berkedip saat melihat sosok tinggi itu keluar dari mobil dan tersenyum menatapnya.***Rahma menatap sosok lelaki itu tanpa berkedip, namun hal itu tak berlangsung lama saat ia menyadari bahwa tak hanya dirinya yang terpana tapi juga para ibu-ibu yang berkerumun mengelilingi gerobak sayur milik Ali juga tampak melebarkan kelopak mata mereka.Sejenak, pria berwajah oriental itu berdiri sambil menatap Rahma dan mengulas senyum padanya. Penampilannya yang rapi berbalut stelan kemeja berwarna putih dengan sepatu pantofel hitam mengkilat itu, langsung menarik perhatian para ibu-ibu di sana."Wah, itu orang apa bukan ya, gantengnya!""Mataku nggak salah lihat kan?""Astaga, Kalau modelannya cakep begini, aku rela kok nuker suamiku sama dia.""Kalau itu sih saya juga mau, ikhlas, ridho," timpal yang lain."Ini sih Lee min ho lewat.""Jangankan Lee Minho,
"Nah kan sudah di bilangin tadi jangan pada sesak nafas kalau tahu siapa istrinya," celoteh Suryani dengan wajah puas. Lalu berjalan mengikuti langkah Rahma.***Rahma mendengkus kesal saat di lihatnya Yudha yang tengah duduk sambil bersandar di sofa, wanita itu bahkan cemberut saat Yudha dengan lembut menyapanya."Semalam kau bilang pesawatmu transit sebentar di Jepang sebelum tiba di Indonesia, lalu kenapa pagi ini sudah ada di sini?" Protes Rahma."Surprise sayang! Kenapa kau tak suka?""Tidak, bukan begitu. Aku suka tapi kalau aku tahu kau akan pulang pagi ini, kan bisa kumasakkan sesuatu," jawab Rahma cemberut."Ah, perhatiannya istriku," puji Yudha yang di balas timpukan pelan di dada lelaki itu."Kau memang sengaja ingin membuatku kesal. Kan? Tapi aku senang kau sudah kembali. Kuharap dalam waktu dekat kau tak pergi kemana-mana lagi," pinta Rahma."Tak akan, semua pekerjaanku di Amerika sudah selesai, sisanya bisa kukerjakan dari sini." Sahut Yudha tersenyum lalu mencubit gemas
"Sok pamer perhiasan, pamer kekayaan sama Mbak Rahma, padahal kekayaan mereka hanya seujung kuku kekayaan suaminya Mbak Rahma, ya kan mas?" ujar Suryani lalu tak lama terdengar gelak tawa dari bibirnya.***Yudha menggeleng mendengarnya, gelak tawa Suryani membuatku ikut mengulas senyum geli."Mereka tidak tahu siapa sebenarnya orang yang mereka hina selama ini," lanjut Suryani bicara.Aroma kue menyeruak, tampak Rahma yang datang sambil membawa nampan berisi beberapa toples kue kering buatannya, lalu meletakkannya ke atas meja."Tolong bagikan sama tetangga ya Mak," pinta Rahma."Wah kelihatannya enak. Buat aku mana, sayang?" Tanya Yudha sambil mengendus aroma nastar yang menggoda indra penciumannya."Buka saja satu toplesnya mas," ucap Rahma sambil meraih sebuah toples kaca di meja lalu membukanya."Nih cobain." Ucap Rahma sambil melirik suaminya."Sudah pasti enak, sejak dulu aku selalu suka dengan apapun yang kau buat."Pujian Yudha tak ayal membuat Rahma tersenyum dan melayang. A
"Kira kira siapa yang datang ya? Kayaknya bukan orang sembarangan deh, soalnya sampai di kawal mobil patroli polisi lagi, ya kan?" Tutur Rini sambil melihat ke arah Mercedes hitam yang baru saja menepi.***Untuk beberapa saat lamanya ketiga wanita itu diam tak bersuara dan terpaku menatap kerumunan warga yang tampak begitu antusias melihat dari dekat, tak lama, terlihat pihak keamanan yang meminta warga untuk mundur dan memberi sedikit jalan."Sepertinya begitu, mungkin Pak Walikota yang datang, Suamiku bilang jika beliau akan datang untuk meresmikannya," tutur Rini, istri anggota dewan daerah itu sambil memamerkan perhiasan barunya di hadapan Mira dan Lilis."Wah, gelangmu bagus, baru beli lagi ya?" Tanya Mira yang tak berkedip menatap gelang emas yang dipakai Rini. Wanita itu tampak begitu terkesima dengan kilaunya yang memikat."Ah, tidak, ini hadiah dari suamiku, katanya sih baru menang tender, gimana bagus ngga? Ini sepasang lho sama cincinnya, berlian lagi, satu setengah karat,