Beberapa hari, Bara tak pulang ke rumah. Sudah dipastikan, dia pulang ke rumah Aisya. Selama itu pula, Bara tak memberikan kabar sama sekali. "Umi jadi mau menginap di vila?" tanya Cintya sore itu. "Enggak nunggu Bara?"Cintya tersenyum miris. "Dia sedang sibuk dengan Aisya, Mi. Kita ke sana berdua saja," usul Cintya. Umi Khofsoh ragu. Dia termenung agak lama. "Kalau enggak bisa, enggak apa-apa, kok, Mi," ujar Cintya dengan nada kecewa. Dia sudah tak sabar untuk menemui pak Udin. Dia ingin mengetahui semua tentang Aisya. Umi Khofsoh menangkap kekecewaan dalam wajah anak menantunya. Dia merasa tidak enak. Dulu, dia yang memintanya diajak ke vila. Namun, saat kesempatan itu datang, justru dia tolak. "Umi siap-siap dulu, ya. Apa saja yang mau dibawa?" tanya umi Khofsoh semangat. Dia tak tega mematahkan hati Cintya. Selama ini, Cintya tak pernah mengecewakannya. Senyum Cintya langsung merekah. Terpancar jelas, binar bahagia dari wajahnya. "Beneran, Mi?" Cintya memastikan. Umi Kh
"Pak Udin tidak bisa mengelak lagi." Cintya berkata serius. Tanpa diminta, pak Udin justru memulai pembicaraan tentang Aisya. Padahal, dia sedang menyiapkan siasat, agar pak Udin mau cerita. Sekarang Cintya tak perlu bersusah payah memancing pak Udin. "Saya ambilkan gula dulu, Bu. Tadi belum ada gulanya," kilahnya mencoba menghindar."Enggak usah, Pak. Rasanya lebih enak kalau tanpa gula."Cras!Tangan pak Udin tergores parang, saat dia membelah durian. Darah segar mengalir dari luka, yang sepertinya cukup dalam."Ya Allah," pekik umi Khofsoh, saat melihat darah yang keluar cukup banyak. "Bapak lebih rela melukai tangan, daripada harus jujur sama saya," cibir Cintya, karena dia tahu, pak Udin hanya mengulur waktu. "Saya bersihkan luka dulu!" Pak Udin mencoba pergi. "Ada kran di situ, Pak. Bersihkan di situ saja. Saya juga belum selesai bicara," tegas Cintya. Dia merasa kesal, karena pak Udin selalu menghindar, saat ditanya tentang Aisya. "Ada kotak obat juga, di dalam mobil."Pak
Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Langitpun berubah menjadi gelap. Nan jauh di sana, lautan juga mulai tak kelihatan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid di kampung sebelah. Cintya lantas mengajak umi masuk. "Kita sholat berjama'ah, Nduk!" ajak umi Khofsoh, agar hati Cintya menjadi tenang. Mereka berdua bergantian mengambil air wudhu. Setelah itu, Cintya menggelar dua sajadah. Umi yang bertindak sebagai imam. "Umi mau makan apa?" tanya Cintya sambil melipat mukena. "Terserah Kamu saja!" Cintya lantas mengambil ponselnya. Dia lupa, ternyata dari tadi ponselnya mati. Itu karena dia merasa kesal kepada Bara, karena tak memberinya kabar. "Lupa kalau tadi ponselku mati, Mi," ujar Cintya sambil menunggu layar benda pipihnya menyala. Umi berjalan ke teras. Dia memperhatikan sekeliling, yang tampak sunyi. Hanya deburan ombak yang terdengar. Suasana sungguh syahdu. Cocok sekali, bagi orang yang ingin meninggalkan hiruk pikuk kota. Dalam hati, ia kagum pada Cintya dan Bara
"Bangun, Nduk!" Umi Khofsoh membangunkan Cintya yang sedang tidur pulas. Sebenarnya ia tak tega, tapi karena matahari hampir terbit, mau tak mau Cintya harus bangun. "Sholat Subuh dulu, Nduk." Umi Khofsoh melipat mukena dan sajadah yang baru saja digunakan. Setelah mengenakan kerudung, umi berjalan keluar. Mendengar umi membuka pintu, Cintya mengulet. Matanya masih berat, untuk dibuka. Dia duduk di tepi ranjang, dengan mata masih terpejam. Hampir lima menit, dalam posisi seperti itu, akhirnya Cintya memaksa membuka matanya. Dia berjalan mendekati meja rias. Betapa kaget, ternyata matanya begitu bengkak. Pasti karena dia menangis terlalu lama semalam. Namun setidaknya, hatinya merasa lega. Cintya bergegas mandi, agar umi tidak melihat mata bengkaknya. Lama sekali ia berada dalam guyuran shower. Setelah memastikan bengkaknya berkurang, dia segera membalut tubuhnya dengan handuk. Cintya segera mengenakan pakaian dan melakukan kewajibannya. Buru-buru ia memoles tipis wajahnya dan me
Akhir-akhir ini, Bara lebih sering menghabiskan waktu bersama Aisya. Lambat laun, Cintya terbiasa tanpa kehadirannya. Seminggu sekali, dia pulang menemui istri pertamanya. Itupun tak lama. Pernah umi menasihatinya, agar bisa membagi waktu dengan adil, tapi sepertinya Bara abai. "Nduk, lagi apa?" Umi Khofsoh mengagetkan Cintya yang tengah melamun, di atas ayunan. Bahkan, Cintya sampai menjingkat, karena saking kagetnya. "Cari udara segar, Mi," sahutnya sambil menurunkan kaki. Umi lantas duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. "Umi sudah menghitung, acara empat bulananmu. Mau dibuat acara apa?"Cintya diam. Dia mengusap perutnya yang mulai membuncit. Bayi di dalam perutnya tidak bersalah. Dia berhak mendapatkan kasih sayang darinya. "Buat acara di pesantren khusus anak yatim piatu saja, Mi. Mereka lebih membutuhkan," ujar Cintya. Dia teringat akan ustadz yang ia datangi lalu. Di pesantren itu, ada ratusan anak yang kurang beruntung. "Boleh, biar dapat berkah." Umi Khofsoh mengangguk
Umi Khofsoh dan mbah Yah saling berpandangan. Dalam hati, mereka berdua menyesalkan tindakan Bara. Seharusnya ini momen yang ditunggu-tunggu setelah sekian tahun lamanya. Cintya melirik jam tangannya. Acara akan diadakan jam empat. Masih ada waktu setengah jam lagi. "Kita berangkat sekarang saja. Lebih baik menunggu, daripada ditunggu," usul Cintya. Dia yang terbiasa tepat waktu, tak mau membuat orang lain menunggu. "Kamu bisa bawa mobil sendiri?" Umi Khofsoh tampak khawatir. Biar bagaimanapun, dia tak ingin Cintya kenapa-kenapa. "Bisa, Mi." Mereka bertiga berjalan keluar. Cintya lantas menuju garasi, di mana mobilnya terparkir. Setelah semua keluar, mbah Yah segera mengunci pintu. Mbah Yah dan umi menunggu Cintya yang masih memanaskan mesin mobil. Setelah mobil siap, dia menyuruh umi dan mbah Yah segera naik. "Hati-hati, Nduk!" pesan umi, saat Cintya mulai menginjak pedal gas. "Nggih, Mi." Sebenarnya, tanpa disuruh pun, Cintya akan hati-hati. Tak mungkin ia membahayakan nyawa
Cintya buru-buru mengusap ujung netranya dengan tangan. Dia tak mau terlihat cengeng di hadapan anak-anak yang tengah berbahagia. Cintya mengelus kepala anak perempuan, yang ditaksir berusia empat tahunan. Senyumnya lebar, memperlihatkan barisan giginya yang ompong. Hatinya terenyuh, melihat pemandangan yang menampar jiwanya. Kurang bersyukur apa dia selama ini? Hanya karena belum diberi momongan, dia sempat marah pada Tuhan. Dia merasa hidupnya paling menyedihkan. Padahal, masih banyak orang yang bernasin kurang beruntung daripada dirinya. Acara ditutup dengan do'a, agar janin yang dikandungnya diberi keselamatan sampai tiba waktunya melihat dunia. "Aamiin," ucap mereka serempak, mengaminkan do'a dari sang ustadz, yang dulu pernah ia temui. Setelah acara selesai, santri yang sudah besar membagikan nasi kotak dan juga kue. Wajah penuh tawa itu kembali menarik perhatian Cintya. Hanya dengan nasi kotak dan juga kue, mereka dengan tulus mendo'akan orang yang tidak dikenalnya. "Alhamd
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.