Cintya buru-buru mengusap ujung netranya dengan tangan. Dia tak mau terlihat cengeng di hadapan anak-anak yang tengah berbahagia. Cintya mengelus kepala anak perempuan, yang ditaksir berusia empat tahunan. Senyumnya lebar, memperlihatkan barisan giginya yang ompong. Hatinya terenyuh, melihat pemandangan yang menampar jiwanya. Kurang bersyukur apa dia selama ini? Hanya karena belum diberi momongan, dia sempat marah pada Tuhan. Dia merasa hidupnya paling menyedihkan. Padahal, masih banyak orang yang bernasin kurang beruntung daripada dirinya. Acara ditutup dengan do'a, agar janin yang dikandungnya diberi keselamatan sampai tiba waktunya melihat dunia. "Aamiin," ucap mereka serempak, mengaminkan do'a dari sang ustadz, yang dulu pernah ia temui. Setelah acara selesai, santri yang sudah besar membagikan nasi kotak dan juga kue. Wajah penuh tawa itu kembali menarik perhatian Cintya. Hanya dengan nasi kotak dan juga kue, mereka dengan tulus mendo'akan orang yang tidak dikenalnya. "Alhamd
"Ayo pulang!" ajak Cintya, karena hari sudah mulai gelap. Umi Khofsoh masih saja kepikiran Bara. Harus dengan cara apalagi, menasihatinya. Dengan lemah lembut dan mendiamkannya sudah pernah, tapi tetap saja Bara tidak berubah. Dia benar-benar takut kehilangan Cintya. Kalau benar sampai Cintya menggugat cerai, otomatis dia akan berjauhan dengan cucu semata wayang..Umi Khofsoh memijit pelipis, yang tiba-tiba terasa pening. Cintya masih membayar makanan mereka. "Kenapa, Umi?" tanya mbah Yah, karena umi tak kunjung beranjak. "Pusing kepala saya." "Mari saya bantu berdiri!" Mbah Yah memang tak perlu diragukan lagi. Dia bukan hanya pembantu, tapi juga bisa menjadi teman umi. Mereka berjalan terlebih dahulu ke mobil. Sepertinya Cintya sedang menunggu kembalian. Setelah menerima kembalian, Cintya segera memasukkan ke dalam tas. "Kok tiba-tiba gerimis?" gumam Cintya sambil berlari kecil. "Sepertinya mau hujan, Bu," ujar mbah Yah, sambil menutupi kepalanya dengan tas. "Iya, kenapa juga
Cintya mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf. Setelah tamunya pulang, Cintya dan umi menangis tersedu. Mbah Yah yang mendengar ada keributan di luar, segera menghampiri. Dia kebingungan, melihat umi dan juga Cintya sama-sama menangis. "Umi, ada apa?" tanyanya bingung. "Bara ... dia kecelakaan," jawab umi terbata."Ya Allah," pekik mbah Yah sambil membekap mulutnya. Cintya kembali berpikir keras. Tidak ada gunanya hanya menangis di sini. Dia harus segera bertindak. Diputuskan, dia akan ke rumah sakit saat ini juga. "Mbah, temani umi, ya! Aku mau memastikan ke rumah sakit." "Umi ikut, Nduk!" sela umi tak mau. "Kita sama-sama, saja, Bu!" usul mbah Yah. Dia juga penasaran, bagaimana kondisi Bara. "Baiklah." Akhirnya, Cintya memutuskan kalau mereka bertiga pergi. Sebenarnya dia bisa meminta info keadaan Bara kepada Mela. Namun, karena sudah malam, dia urungkan. "Siap-siap, dulu!" Cintya segera ke atas, berganti baju dan memakai jilbab. Dia sudah tidak berpikir untuk dand
Umi Khofsoh mendekati anaknya, yang sudah selesai dirawat. Dia membelai rambut Bara dengan sangat hati-hati. Lagi, Cintya meneteskan air mata. Bukan karena sedih melihat keadaan suaminya. Bahkan, mungkin luka yang dialami Bara, tak sebanding luka yang tergores di hatinya. Cintya kembali dipanggil untuk melengkapi berkas. Itu membuatnya lebih baik, daripada harus menunggui Bara yang sedang mengharapkan istri mudanya. "Apa ada pasien atas nama Aisya?" tanyanya pada petugas. "Kedua korban bersisian, Bu."Cintya mengangguk paham. Setelah administrasi selesai, selang beberapa menit, Cintya kembali memastikan keberadaan Aisya. Dia menyibak tirai di samping Bara. Reflek, ia membekap mulut. Kondisi Aisya tak kalah mengenaskan. Bahkan bisa dibilang, lebih parah daripada Bara. Dokter menjelaskan, kalau Aisya harus segera menjalani operasi, karena lukanya cukup serius. Hatinya kembali berdesir, kala harus menandatangani persetujuan operasi madunya. Setelah perawatan pertama selesai, Bara di
"Permisi."Umi Khofsoh mendorong pintu. Ia melongok ke dalam. Ada seorang perawat yang sedang berjaga di kamar Aisya. Dalam hati, ia terenyuh dengan sikap Cintya. Dia tak membiarkan begitu saja madunya. Terbukti, dia menyewa seorang perawat untuk menjaga Aisya. "Saya mertuanya," jelas umi, sebelum ditanya lebih banyak. Dia mendekati brankar. Mata Aisya terpejam rapat. Hidungnya terdapat selang, untuk membantu pernafasan. Punggung tangannya juga tertusuk jarum infus. Kepalanya terbungkus perban. "Bagaimana kondisi menantu saya?" tanya umi dengan gemetar. Dia tak menyangka, akan dihadapkan dengan kondisi seperti ini. "Pasien belum siuman. Sepertinya lukanya cukup parah. Untuk lebih jelasnya, nanti bisa ditanyakan pada dokter yang menanganinya, karena di sini saya hanya bertugas menjaga," ujar perawat yang tersemat nama Novi dalam bajunya. Umi mengangguk paham. Dia menggeser kursi, lalu duduk di samping Aisya. Dia sempat menyesal, karena pernah membuat Aisya sakit hati. Namun ia pun
Cintya memperhatikan kamar Aisya. Ada rasa iba menyeruak di dalam hatinya. Namun, saat teringat kalau yang terbaring di kamar itu madunya, rasa itu memudar. "Sudah malam, umi mau tidur dulu." "Nggih, Mi."Umi berjalan meninggalkan Cintya. Dia pikir, umi akan masuk kamar Bara, tapi salah. Umi memilih tidur di kamar Aisya. KrukPerut yang belum terisi sejak tadi sore, sekarang meminta haknya. Di dalam, hanya ada kue dan buah-buahan. Dia menengok ke beberapa lorong yang mulai sepi. Ia ragu hendak mencari makanan keluar. Namun, rasa lapar, berhasil mengalahkan ketakutannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan di luar. Ia terus berjalan, menyusuri lorong yang tampak lebih menyeramkan di malam hari. Cintya sengaja mempercepat langkah, agar segera sampai di depan. Dengan dada kembang-kempis, akhirnya Cintya bisa sampai di pintu keluar. Dia segera menuju jalan raya, lalu menyeberang. Banyak warung makan yang masih buka hingga larut malam. Dia mengedarkan pandangan, mencari makan
Cintya pura-pura tak mendengar permintaan maaf Bara. Dengan begitu, hatinya tidak akan terlalu sakit. Dia memilih untuk memejamkan mata, daripada harus menanggapi Bara. Tangan suaminya terus membelai perut yang terdapat janin di dalamnya, sampai Cintya benar-benar tertidur. Brak!Cintya dan Bara terlonjak kaget. Bahkan, Cintya sampai menekan dada, agar detak jantungnya kembali berdetak normal. "Cintya, cepat ikut umi!" Umi berbicara dengan nafas kembang-kempis. "Ada apa, Mi?" tanya Bara dengan suara parau. Tanpa menjawab Bara, umi segera menarik tangan Cintya paksa. Cintya mencoba mengimbangi langkah umi. "Ada apa, Mi?" Cintya tak kalah penasaran. Umi menutup pintu dari luar, lalu mengajaknya memasuki kamar Aisya. "Umi, sebenarnya ada apa?" Cintya ikut panik, apalagi umi tetap bungkam. Cintya bertambah kaget, karena beberapa dokter datang dengan terburu-buru. "Mohon ditunggu di luar dulu, Bu! Kami akan mencoba melakukan yang terbaik!" seru salah satu perawat, sambil mengantar
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Bara tak sabar. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Sekarang, hanya keajaiban Tuhan yang berperan," ujar dokter, memberi secercah harapan bagi mereka. Tanpa disuruh lagi, Cintya segera membawa Bara memasuki kamar istri keduanya, disusul umi dan ibunya Aisya. Mereka bertiga menangis sesenggukan. Terlebih, Bara yang merasa sangat bersalah, karena telah membuat istrinya terbaring tak sadarkan diri. Cintya paham, dia mendekatkan kursi roda ke samping ranjang Aisya. Dia sudah menguatkan hati, melihat suaminya menciumi tangan Aisya. Tak ada rasa cemburu. Yang ada sekarang hanya rasa iba. "Aisya, bangun, Nak! Ibu di sini!" Suara ibunya terdengar pilu, membuat siapa saja yang mendengar ikut merasakan kesedihan. "Maafkan aku, Aisya!" Bara tak kalah terpukul. "Kita do'akan, agar Aisya cepat sadar!" nasihat umi mencoba terlihat baik-baik saja. Padahal, hatinya sama-sama remuk. Jika sudah begini, ia merasa bersalah, karena pernah tak menganggap