Cintya memperhatikan kamar Aisya. Ada rasa iba menyeruak di dalam hatinya. Namun, saat teringat kalau yang terbaring di kamar itu madunya, rasa itu memudar. "Sudah malam, umi mau tidur dulu." "Nggih, Mi."Umi berjalan meninggalkan Cintya. Dia pikir, umi akan masuk kamar Bara, tapi salah. Umi memilih tidur di kamar Aisya. KrukPerut yang belum terisi sejak tadi sore, sekarang meminta haknya. Di dalam, hanya ada kue dan buah-buahan. Dia menengok ke beberapa lorong yang mulai sepi. Ia ragu hendak mencari makanan keluar. Namun, rasa lapar, berhasil mengalahkan ketakutannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan di luar. Ia terus berjalan, menyusuri lorong yang tampak lebih menyeramkan di malam hari. Cintya sengaja mempercepat langkah, agar segera sampai di depan. Dengan dada kembang-kempis, akhirnya Cintya bisa sampai di pintu keluar. Dia segera menuju jalan raya, lalu menyeberang. Banyak warung makan yang masih buka hingga larut malam. Dia mengedarkan pandangan, mencari makan
Cintya pura-pura tak mendengar permintaan maaf Bara. Dengan begitu, hatinya tidak akan terlalu sakit. Dia memilih untuk memejamkan mata, daripada harus menanggapi Bara. Tangan suaminya terus membelai perut yang terdapat janin di dalamnya, sampai Cintya benar-benar tertidur. Brak!Cintya dan Bara terlonjak kaget. Bahkan, Cintya sampai menekan dada, agar detak jantungnya kembali berdetak normal. "Cintya, cepat ikut umi!" Umi berbicara dengan nafas kembang-kempis. "Ada apa, Mi?" tanya Bara dengan suara parau. Tanpa menjawab Bara, umi segera menarik tangan Cintya paksa. Cintya mencoba mengimbangi langkah umi. "Ada apa, Mi?" Cintya tak kalah penasaran. Umi menutup pintu dari luar, lalu mengajaknya memasuki kamar Aisya. "Umi, sebenarnya ada apa?" Cintya ikut panik, apalagi umi tetap bungkam. Cintya bertambah kaget, karena beberapa dokter datang dengan terburu-buru. "Mohon ditunggu di luar dulu, Bu! Kami akan mencoba melakukan yang terbaik!" seru salah satu perawat, sambil mengantar
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Bara tak sabar. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Sekarang, hanya keajaiban Tuhan yang berperan," ujar dokter, memberi secercah harapan bagi mereka. Tanpa disuruh lagi, Cintya segera membawa Bara memasuki kamar istri keduanya, disusul umi dan ibunya Aisya. Mereka bertiga menangis sesenggukan. Terlebih, Bara yang merasa sangat bersalah, karena telah membuat istrinya terbaring tak sadarkan diri. Cintya paham, dia mendekatkan kursi roda ke samping ranjang Aisya. Dia sudah menguatkan hati, melihat suaminya menciumi tangan Aisya. Tak ada rasa cemburu. Yang ada sekarang hanya rasa iba. "Aisya, bangun, Nak! Ibu di sini!" Suara ibunya terdengar pilu, membuat siapa saja yang mendengar ikut merasakan kesedihan. "Maafkan aku, Aisya!" Bara tak kalah terpukul. "Kita do'akan, agar Aisya cepat sadar!" nasihat umi mencoba terlihat baik-baik saja. Padahal, hatinya sama-sama remuk. Jika sudah begini, ia merasa bersalah, karena pernah tak menganggap
"Aisyaaa ...." Cintya terbangun dengan keringat bercucuran. Posisinya langsung duduk dengan nafas kembang kempis. "Kenapa, Nduk? Dari tadi Kamu manggil Aisya?" tanya umi penasaran. Pasalnya, dari tadi ia membangunkan Cintya, tapi tetap saja ia berteriak memanggil Aisya. Umi Khofsoh lantas mengambil segelas air mineral, lalu memberikan kepada Cintya. Tenggorokan Cintya terasa kering setelah lelah berteriak. Ia menenggak habis segelas air yang umi berikan. "Lagi?" tanya umi, karena Cintya masih terlihat kehausan. Cintya hanya menggeleng. "Jadi, tadi hanya mimpi?" gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kamu mimpi buruk?" desak umi.Cintya masih ragu. Kejadian yang baru saja ia alami seperti nyata. Umi Khofsoh sibuk menenangkan Cintya yang sedang cemas berlebihan. "Apa Aisya sudah bisa berjalan, Mi?" tanya memastikan, seolah tak percaya.Umi menggeleng lemah. Jangankan berjalan, membuka mata saja dia belum sanggup. "Aku melihatnya ia berjalan, Mi. Lalu ... lalu dia pe
"Dokter pasti melakukan yang terbaik untuk Aisya," hiburnya, meski hati tak yakin. Entah kenapa, dia sudah punya firasat, kalau Aisya akan pergi jauh, seperti dalam mimpinya. Umi Khofsoh mendekati besannya yang tengah menekuk lutut, di samping pintu. Dari tadi, tak ada yang peduli dengan keadaannya. Umi mengusap pundak besannya dengan lembut. Sejenak, ibunya Aisya mendongak, lalu kembali tertunduk sambil terus mengusap air mata yang berlinang. Hening. Itulah yang terasa. Sudah satu jam mereka berdiri, sambil terus merapal do'a demi kebaikan Aisya. KrietSemua mata tertuju pada suara daun pintu yang terbuka. Ibunya Aisya spontan berdiri, menyambut seorang dokter yang baru saja keluar. Cintya segera mendorong kursi roda Bara, untuk mendekat. "Bagaimana istri saya, Dok?" tanya Bara penasaran. Dokter berkaca mata itu menghela nafas pelan, seolah berat untuk menyampaikan. Semua harap-harap cemas. "Kami sudah berusaha, tapi Allah berkehendak lain."Duarr!Mereka semua kaget, bagaikan
Mobil ambulan di depannya terus melaju menuju rumah Aisya. Semua sepakat, bahwa jenazah pulang ke rumah Aisya. Bara tidak bisa memaksa. Biar bagaimanapun, ibunya juga berhak atas anaknya. Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan. Cintya yang sedang menyetir, mencoba mengimbangi laju ambulan, agar tak tertinggal jauh. Bendera putih terpasang di pintu gerbang masuk lorong. Di depan rumah, tenda sudah didirikan. Beberapa warga juga berkumpul, menunggu kedatangan jenazah. Sosok penjaga vila-pak Udin, berdiri paling depan, sejak mobil ambulan terlihat. Ya, lewat pak Udin, Cintya mengabarkan kalau keponakannya telah tiada. Untung saja, ibunya Aisya menyimpan kunci rumah di salah satu pot bunga, sehingga pak Udin bisa dengan mudah menyiapkan semuanya. Cintya membetulkan pasminanya, saat mobil sudah berhenti sempurna. Dia lantas segera mengambil kursi roda yang terlipat, di bangku belakang. Dokter segera menghampirinya. Dia meminta bantuan warga, untuk memindahkan Bara ke kursi ro
Sejak kepergian Aisya, untuk selamanya, Bara semakin sering murung. Bahkan, dia masih saja terus menyalahkan diri sendiri, atas kematian Aisya. Berkali-kali umi menasihatinya, tapi hatinya masih belum terima. "Makan dulu, Nak!" Umi membuyarkan lamunannya. Dia yang tengah duduk di ayunan, sontak menoleh. "Belum lapar, Mi," sahutnya cepat. Umi Khofsoh menghela nafas pelan. Kerjaan Bara hanya melamun. Bahkan, beberapa proyeknya tak pernah diurus. Dia menyerahkan sepenuhnya pada orang kepercayaannya. "Mas, makanlah! Jangan menyiksa diri sendiri!"Cintya muncul di belakang umi, dengan membawa sepiring penuh nasi, serta lauknya. Selama ini, dia dengan telaten merawat dan memberi semangat hidup untuk Bara. Meski, kini suaminya lebih memikirkan nasib mendiang madunya. Namun, Cintya belum putus asa. Dia ingin mengembalikan Bara yang dulu. Seperti saat tidak ada kehadiran Aisya dalam kehidupan mereka. Cintya lantas mendekati Bara. Disendoknya nasi, lalu mendekatkan ke mulut suaminya. Pran
Cintya menutup kembali jendela. Dia tak menghiraukan Bara lagi. Bara meremas rambutnya kasar. Hidupnya terasa berantakan. Dia menjatuhkan bokongnya di kursi kayu. Pandangannya tertuju pada jalanan yang tampak lengang. Dia kembali memikirkan ucapan istrinya. "Aku bukannya mengabaikanmu, Cintya. Hanya saja, kehilangan Aisya begitu menyakitkan. Aku belum bisa berdamai dengan hatiku sendiri. Rasa bersalah terus saja menghantuiku," gumamnya pelan. "Kenapa sendirian di luar?" tanya umi membuyarkan lamunannya. "Aku pusing, Mi." Hanya umi sekarang, yang memahami kondisinya. "Pusing kenapa?" "Entahlah, Mi."Bara mengembuskan nafas kasar. Dia memijit ubun-ubunnya, yang terasa berdenyut. "Umi rasa, Kamu harus memulai dari awal lagi. Bukannya mau ikut campur, tapi umi rasa, hubungan kalian semakin tidak akur. Umi pikir, setelah kepergian Aisya, kalian bisa seperti dulu lagi. Nyatanya, bukannya membaik, justru semakin sering bertengkar."Bara menoleh sejenak. Dia tak menyangka, umi punya p