Sejak kepergian Aisya, untuk selamanya, Bara semakin sering murung. Bahkan, dia masih saja terus menyalahkan diri sendiri, atas kematian Aisya. Berkali-kali umi menasihatinya, tapi hatinya masih belum terima. "Makan dulu, Nak!" Umi membuyarkan lamunannya. Dia yang tengah duduk di ayunan, sontak menoleh. "Belum lapar, Mi," sahutnya cepat. Umi Khofsoh menghela nafas pelan. Kerjaan Bara hanya melamun. Bahkan, beberapa proyeknya tak pernah diurus. Dia menyerahkan sepenuhnya pada orang kepercayaannya. "Mas, makanlah! Jangan menyiksa diri sendiri!"Cintya muncul di belakang umi, dengan membawa sepiring penuh nasi, serta lauknya. Selama ini, dia dengan telaten merawat dan memberi semangat hidup untuk Bara. Meski, kini suaminya lebih memikirkan nasib mendiang madunya. Namun, Cintya belum putus asa. Dia ingin mengembalikan Bara yang dulu. Seperti saat tidak ada kehadiran Aisya dalam kehidupan mereka. Cintya lantas mendekati Bara. Disendoknya nasi, lalu mendekatkan ke mulut suaminya. Pran
Cintya menutup kembali jendela. Dia tak menghiraukan Bara lagi. Bara meremas rambutnya kasar. Hidupnya terasa berantakan. Dia menjatuhkan bokongnya di kursi kayu. Pandangannya tertuju pada jalanan yang tampak lengang. Dia kembali memikirkan ucapan istrinya. "Aku bukannya mengabaikanmu, Cintya. Hanya saja, kehilangan Aisya begitu menyakitkan. Aku belum bisa berdamai dengan hatiku sendiri. Rasa bersalah terus saja menghantuiku," gumamnya pelan. "Kenapa sendirian di luar?" tanya umi membuyarkan lamunannya. "Aku pusing, Mi." Hanya umi sekarang, yang memahami kondisinya. "Pusing kenapa?" "Entahlah, Mi."Bara mengembuskan nafas kasar. Dia memijit ubun-ubunnya, yang terasa berdenyut. "Umi rasa, Kamu harus memulai dari awal lagi. Bukannya mau ikut campur, tapi umi rasa, hubungan kalian semakin tidak akur. Umi pikir, setelah kepergian Aisya, kalian bisa seperti dulu lagi. Nyatanya, bukannya membaik, justru semakin sering bertengkar."Bara menoleh sejenak. Dia tak menyangka, umi punya p
Semakin hari, hubungan Bara dan Cintya semakin hambar. Untuk mengusir kesedihan, Bara menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dia bisa berhari-hari berada di luar kota, demi bisa melupakan Aisya. Bahkan, dia juga seolah melupakan Cintya. Namun, Cintya tak ambil pusing ketika harus melakukannya seorang diri. Hatinya terlanjur kebas. Ketika suami orang lain, dengan bangga mengantar istrinya periksa, tapi tidak dengan Bara. "Apa itu, Nduk?" tanya umi, yang melihat Cintya memegang satu kotak besar terbungkus plastik hitam. "Perlengkapan bayi, Mi," sahut Cintya, setelah menyerahkan sejumlah uang kepada kurir. "Dari mana?""Beli, Mi. Daripada harus keluar, mending belanja lewat ponsel." Cintya menunjukan sebuah aplikasi belanja. Umi hanya menganggukkan kepala, padahal masih bingung. Dia pernah mendengar, tapi belum melihat langsung. "Enak ya, jaman sekarang. Semua bisa dibeli tanpa harus keluar rumah," ujar umi sambil memperhatikan bungkusan yang Cintya bawa. Cintya mengajak umi masuk.
"Mau ke mana lagi, Mas?" kesal Cintya, saat Bara tengah memasukkan beberapa lembar baju ke dalam tas ransel. "Aku mau melihat perkembangan proyek. Mungkin dua hari baru pulang," sahutnya enteng. Cintya mengembuskan nafas kecewa. Jadwal persalinannya hanya tinggal menunggu hari. Bahkan, semua persiapan sudah dilakukan. Mulai dari ruangan bayi, sampai orang yang membantu merawatnya kelak. Sudah lebih dari seminggu, dia mengambil cuti, hanya untuk menyambut kelahiran bayinya. Lalu, Bara dengan entengnya pergi begitu saja, tanpa mau tahu perasaan Cintya. "Kamu lupa, kalau jadwal melahiranku tinggal beberapa hari lagi?" tanya Cintya dengan nafas tertahan. Dadanya terasa sesak. Mungkin, dulu ia bisa bersikap biasa saja, saat Bara pergi. Namun kini, dia tak bisa berpura-pura lagi. Dia membutuhkannya. Cintya hanya ingin ditemani, tidak lebih. "Tidak. Aku hanya pergi dua hari." Rongga dada Cintya semakin sesak, mengetahui kenyataan, bahwa Bara memang sengaja pergi. Padahal dia sudah tahu
Umi berjalan mondar-mandir. Mulutnya menggumam tak jelas. Cintya hanya melewati saja, tanpa berniat mengajak berbicara. Lalu, dia memilih kembali memasuki kamarnya, setelah mengambil sebotol air dingin. Selama hamil, dia hanya bisa meminum air dingin. Jika dipaksa minum air biasa, dia akan mual. Cintya melihat pesan yang ia kirim ke Bara. Tidak ada balasan. Bahkan, nomornya tidak aktif, saat ditelfon. Sekarang sudah lewat dua hari, tapi Bara belum juga pulang. Cintya kembali dilanda gelisah. Clek!Pintu terbuka. Kepala umi menyembul dari balik pintu. Tangannya menggenggam ponsel. "Lagi apa, Nduk?" "Tidak ada, Mi. Pinggangku agak pegal aja, makanya mau tiduran," sahut Cintya sambil mengurut pelan pinggangnya. "Sini, umi gosok pelan!" Cintya tidur miring. Pinggangnya gampang sekali lelah, karena beban berat di perutnya. Umi Khofsoh mengusap-usap pinggang Cintya. Dia tersenyum miris. Seharusnya, Baralah yang berada di posisi umi. "Sudah, Mi." Cintya bangun, saat dirasa lebih enaka
Cintya menarik nafas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Sejenak, rasa sakitnya bisa berkurang. Namun tak lama, nyeri hebat kembali mendera. Cintya menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti saat ia sedang nyeri haid, tapi bedanya, sekarang sakitnya berkali lipat. "Tarik nafas, lalu dibuang saat terasa sakit, Nduk. Umi persiapkan bajunya dulu!" "Tunggu, Mi. Minta bantuan dulu. Aku sudah enggak bisa bawa mobil.""Tidak tunggu Bara dulu?" "Sudah di mana dia?" "Umi telfon dulu!" Umi melesat masuk kamar, mengambil ponselnya. Berkali-kali Cintya membuang nafas kasar. Dia berjalan tertatih, meninggalkan dapur. Sesampainya di kamar, dia berjongkok di samping ranjang. Kepalanya bersandar di bibir ranjang. Tangannya mencengkram kuat sprei, saat perutnya seperti diremas. "Nduk, Bara katanya masih di Kotaraya," ujar umi sambil menerobos masuk kamar. "Masih jauh, Mi," rintihnya. Umi mengusap punggung Cintya. Rasanya nyaman sekali, tapi tetap saja, nyerinya belum hilang. "Mas Bara masih
Tiba-tiba, hatinya teriris. Dia begitu iri. Di saat seperti ini, yang dia butuhkan hanya dukungan Bara. Sering dia menonton di film, saat seorang istri melahirkan, di situ suaminya berperan aktif. Mulai dari mengusap punggungnya. Mengelap keringat yang berlomba keluar. Semuanya justru membuatnya merasa sakit hati. "Ibunya?" tanya suster yang tadi mendorong Cintya, kepada umi. "Iya, saya mertuanya," balas umi. "Tolong dibantu untuk ganti baju, ya, Bu!" pinta suster kepada umi. Lalu, dia menyerahkan sebuah baju, yang terbuka bagian belakangnya. Bahkan, tidak ada resleting, maupun kancing. "Semuanya dilepas ya, Bu, termasuk pakaian dalamnya!" ujarnya ramah, dengan senyum mengembang. Umi, dibantu mbah Yah, membangunkan Cintya, agar lebih mudah melepas bajunya. Awalnya dia malu, tapi suster meyakinkannya, kalau ini sesuai prosedur rumah sakit. Dengan perasaan malu, Cintya melucuti semua bajunya, diganti dengan baju berwarna krem dari rumah sakit. Baju yang panjangnya tak sampai lu
"Auh!" teriak Cintya cukup keras. Mela langsung menyeruak masuk. "Kalau sakit, berpegangan sini, Bu," ujar suster, sambil menunjukkan gagang ranjang yang terbuat dari besi. Wajah Cintya memerah, menahan malu, lantaran harus menunjukkan bagian intimnya ke dokter kandungan. "Belum saatnya," ujar dokter, sambil melepas sarung tangan yang ia kenakan."Ini sudah sakit sekali, Dok," rintih Cintya tak terima, dibilang masih lama. Padahal, pinggangnya sudah mau patah. "Anak pertama, belum lancar jalannya." Sang dokter melempar guyonan, agar pasiennya tidak tegang. Suster membantu menutup kaki Cintya dengan selimut, lalu pergi. "Mel, bilangin dokter itu, suruh cepat kasih tindakan. Aku sudah enggak tahan," omel Cintya, membuat Mela ingin tertawa keras. Namun, urung ia lakukan, karena kondisi Cintya yang sudah tak karuan.Berbagai posisi, dari miring, sampai nungging sudah Cintya lakukakan, tapi tetap saja, rasa sakitnya justru semakin bertambah. "Jangan keras-keras, di sebelah juga ada