"Aisyaaa ...." Cintya terbangun dengan keringat bercucuran. Posisinya langsung duduk dengan nafas kembang kempis. "Kenapa, Nduk? Dari tadi Kamu manggil Aisya?" tanya umi penasaran. Pasalnya, dari tadi ia membangunkan Cintya, tapi tetap saja ia berteriak memanggil Aisya. Umi Khofsoh lantas mengambil segelas air mineral, lalu memberikan kepada Cintya. Tenggorokan Cintya terasa kering setelah lelah berteriak. Ia menenggak habis segelas air yang umi berikan. "Lagi?" tanya umi, karena Cintya masih terlihat kehausan. Cintya hanya menggeleng. "Jadi, tadi hanya mimpi?" gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kamu mimpi buruk?" desak umi.Cintya masih ragu. Kejadian yang baru saja ia alami seperti nyata. Umi Khofsoh sibuk menenangkan Cintya yang sedang cemas berlebihan. "Apa Aisya sudah bisa berjalan, Mi?" tanya memastikan, seolah tak percaya.Umi menggeleng lemah. Jangankan berjalan, membuka mata saja dia belum sanggup. "Aku melihatnya ia berjalan, Mi. Lalu ... lalu dia pe
"Dokter pasti melakukan yang terbaik untuk Aisya," hiburnya, meski hati tak yakin. Entah kenapa, dia sudah punya firasat, kalau Aisya akan pergi jauh, seperti dalam mimpinya. Umi Khofsoh mendekati besannya yang tengah menekuk lutut, di samping pintu. Dari tadi, tak ada yang peduli dengan keadaannya. Umi mengusap pundak besannya dengan lembut. Sejenak, ibunya Aisya mendongak, lalu kembali tertunduk sambil terus mengusap air mata yang berlinang. Hening. Itulah yang terasa. Sudah satu jam mereka berdiri, sambil terus merapal do'a demi kebaikan Aisya. KrietSemua mata tertuju pada suara daun pintu yang terbuka. Ibunya Aisya spontan berdiri, menyambut seorang dokter yang baru saja keluar. Cintya segera mendorong kursi roda Bara, untuk mendekat. "Bagaimana istri saya, Dok?" tanya Bara penasaran. Dokter berkaca mata itu menghela nafas pelan, seolah berat untuk menyampaikan. Semua harap-harap cemas. "Kami sudah berusaha, tapi Allah berkehendak lain."Duarr!Mereka semua kaget, bagaikan
Mobil ambulan di depannya terus melaju menuju rumah Aisya. Semua sepakat, bahwa jenazah pulang ke rumah Aisya. Bara tidak bisa memaksa. Biar bagaimanapun, ibunya juga berhak atas anaknya. Tak ada percakapan sama sekali selama perjalanan. Cintya yang sedang menyetir, mencoba mengimbangi laju ambulan, agar tak tertinggal jauh. Bendera putih terpasang di pintu gerbang masuk lorong. Di depan rumah, tenda sudah didirikan. Beberapa warga juga berkumpul, menunggu kedatangan jenazah. Sosok penjaga vila-pak Udin, berdiri paling depan, sejak mobil ambulan terlihat. Ya, lewat pak Udin, Cintya mengabarkan kalau keponakannya telah tiada. Untung saja, ibunya Aisya menyimpan kunci rumah di salah satu pot bunga, sehingga pak Udin bisa dengan mudah menyiapkan semuanya. Cintya membetulkan pasminanya, saat mobil sudah berhenti sempurna. Dia lantas segera mengambil kursi roda yang terlipat, di bangku belakang. Dokter segera menghampirinya. Dia meminta bantuan warga, untuk memindahkan Bara ke kursi ro
Sejak kepergian Aisya, untuk selamanya, Bara semakin sering murung. Bahkan, dia masih saja terus menyalahkan diri sendiri, atas kematian Aisya. Berkali-kali umi menasihatinya, tapi hatinya masih belum terima. "Makan dulu, Nak!" Umi membuyarkan lamunannya. Dia yang tengah duduk di ayunan, sontak menoleh. "Belum lapar, Mi," sahutnya cepat. Umi Khofsoh menghela nafas pelan. Kerjaan Bara hanya melamun. Bahkan, beberapa proyeknya tak pernah diurus. Dia menyerahkan sepenuhnya pada orang kepercayaannya. "Mas, makanlah! Jangan menyiksa diri sendiri!"Cintya muncul di belakang umi, dengan membawa sepiring penuh nasi, serta lauknya. Selama ini, dia dengan telaten merawat dan memberi semangat hidup untuk Bara. Meski, kini suaminya lebih memikirkan nasib mendiang madunya. Namun, Cintya belum putus asa. Dia ingin mengembalikan Bara yang dulu. Seperti saat tidak ada kehadiran Aisya dalam kehidupan mereka. Cintya lantas mendekati Bara. Disendoknya nasi, lalu mendekatkan ke mulut suaminya. Pran
Cintya menutup kembali jendela. Dia tak menghiraukan Bara lagi. Bara meremas rambutnya kasar. Hidupnya terasa berantakan. Dia menjatuhkan bokongnya di kursi kayu. Pandangannya tertuju pada jalanan yang tampak lengang. Dia kembali memikirkan ucapan istrinya. "Aku bukannya mengabaikanmu, Cintya. Hanya saja, kehilangan Aisya begitu menyakitkan. Aku belum bisa berdamai dengan hatiku sendiri. Rasa bersalah terus saja menghantuiku," gumamnya pelan. "Kenapa sendirian di luar?" tanya umi membuyarkan lamunannya. "Aku pusing, Mi." Hanya umi sekarang, yang memahami kondisinya. "Pusing kenapa?" "Entahlah, Mi."Bara mengembuskan nafas kasar. Dia memijit ubun-ubunnya, yang terasa berdenyut. "Umi rasa, Kamu harus memulai dari awal lagi. Bukannya mau ikut campur, tapi umi rasa, hubungan kalian semakin tidak akur. Umi pikir, setelah kepergian Aisya, kalian bisa seperti dulu lagi. Nyatanya, bukannya membaik, justru semakin sering bertengkar."Bara menoleh sejenak. Dia tak menyangka, umi punya p
Semakin hari, hubungan Bara dan Cintya semakin hambar. Untuk mengusir kesedihan, Bara menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dia bisa berhari-hari berada di luar kota, demi bisa melupakan Aisya. Bahkan, dia juga seolah melupakan Cintya. Namun, Cintya tak ambil pusing ketika harus melakukannya seorang diri. Hatinya terlanjur kebas. Ketika suami orang lain, dengan bangga mengantar istrinya periksa, tapi tidak dengan Bara. "Apa itu, Nduk?" tanya umi, yang melihat Cintya memegang satu kotak besar terbungkus plastik hitam. "Perlengkapan bayi, Mi," sahut Cintya, setelah menyerahkan sejumlah uang kepada kurir. "Dari mana?""Beli, Mi. Daripada harus keluar, mending belanja lewat ponsel." Cintya menunjukan sebuah aplikasi belanja. Umi hanya menganggukkan kepala, padahal masih bingung. Dia pernah mendengar, tapi belum melihat langsung. "Enak ya, jaman sekarang. Semua bisa dibeli tanpa harus keluar rumah," ujar umi sambil memperhatikan bungkusan yang Cintya bawa. Cintya mengajak umi masuk.
"Mau ke mana lagi, Mas?" kesal Cintya, saat Bara tengah memasukkan beberapa lembar baju ke dalam tas ransel. "Aku mau melihat perkembangan proyek. Mungkin dua hari baru pulang," sahutnya enteng. Cintya mengembuskan nafas kecewa. Jadwal persalinannya hanya tinggal menunggu hari. Bahkan, semua persiapan sudah dilakukan. Mulai dari ruangan bayi, sampai orang yang membantu merawatnya kelak. Sudah lebih dari seminggu, dia mengambil cuti, hanya untuk menyambut kelahiran bayinya. Lalu, Bara dengan entengnya pergi begitu saja, tanpa mau tahu perasaan Cintya. "Kamu lupa, kalau jadwal melahiranku tinggal beberapa hari lagi?" tanya Cintya dengan nafas tertahan. Dadanya terasa sesak. Mungkin, dulu ia bisa bersikap biasa saja, saat Bara pergi. Namun kini, dia tak bisa berpura-pura lagi. Dia membutuhkannya. Cintya hanya ingin ditemani, tidak lebih. "Tidak. Aku hanya pergi dua hari." Rongga dada Cintya semakin sesak, mengetahui kenyataan, bahwa Bara memang sengaja pergi. Padahal dia sudah tahu
Umi berjalan mondar-mandir. Mulutnya menggumam tak jelas. Cintya hanya melewati saja, tanpa berniat mengajak berbicara. Lalu, dia memilih kembali memasuki kamarnya, setelah mengambil sebotol air dingin. Selama hamil, dia hanya bisa meminum air dingin. Jika dipaksa minum air biasa, dia akan mual. Cintya melihat pesan yang ia kirim ke Bara. Tidak ada balasan. Bahkan, nomornya tidak aktif, saat ditelfon. Sekarang sudah lewat dua hari, tapi Bara belum juga pulang. Cintya kembali dilanda gelisah. Clek!Pintu terbuka. Kepala umi menyembul dari balik pintu. Tangannya menggenggam ponsel. "Lagi apa, Nduk?" "Tidak ada, Mi. Pinggangku agak pegal aja, makanya mau tiduran," sahut Cintya sambil mengurut pelan pinggangnya. "Sini, umi gosok pelan!" Cintya tidur miring. Pinggangnya gampang sekali lelah, karena beban berat di perutnya. Umi Khofsoh mengusap-usap pinggang Cintya. Dia tersenyum miris. Seharusnya, Baralah yang berada di posisi umi. "Sudah, Mi." Cintya bangun, saat dirasa lebih enaka
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.