Aku dijodohkan dengan anak teman mama, umurnya masih sangat muda. Kukira ia lugu dan polos, tapi ternyata saat malam pertama dia cukup agresif!
View MoreMENIKAH DENGAN BO-CAH 1
"Mas, mau sekarang apa besok?" tanya Gia sambil membuka k*ncing b4ju sebelah atas.
Seketika aku menegak ludah, Anggia yang baru satu hari ini menjadi istriku kenapa begitu agresif? padahal usianya baru dua puluh tahun
Gadis itu dijodohkan denganku oleh orang tua kami, padahal usiaku sudah tiga puluh lima tahun, tentu sangatlah jauh perbedaannya.
Dan yang membuatku heran gadis itu mau-mau saja padahal aku tak maksa untuk menerima lamaranku, katanya ia dinikahkan karena tak memiliki biaya untuk sekolah.
"Ja-jangan dulu dong sabar."
"Yakin Mas bisa sabar?"
Kurang ajar sekali bo,cah itu malah membuka kancing bajunya yang barisan kedua, alhasil gunung kembarnya sedikit menyembul terlihat oleh mataku.
"Aku capek, Gia, besok aja ya." Aku merebahkan diri dengan malas.
"Alaah, baru gitu aja capek, percaya sama Eneng capeknya nanti pasti ilang kalau udah dicoba."
Buset dia maksa.
Jujur, bukan aku tak n*fsu melihatnya. Namun, di mataku masih terbayang Delia, mantan kekasihku.
"Emang kamu siap? malam pertama itu katanya sakit kok kamu ngebet gini, jangan-jangan udah pernah, hayoo." Aku menujuk wajahnya sambil menyeringai.
"Dih, sotoy banget sih, Eneng tuh cuma jalankan kewajiban, lagian kita udah satu jam diem-dieman di kamar, Mas mau aku jadi lumutan?" jawabnya tengil.
"Mana ada orang lumutan, ngadi-ngadi bilang aja kebelet, ayo ngaku udah pernah berapa kali begituan?" tanyaku sambil bercanda.
"Belum pernah, Mas, makanya coba dulu masih ori apa engga, kalau udah jebol aku siap dipulangin ke Emak." Lalu ia terkekeh.
"Ah males besok aja." Aku pun tidur dengan telungkup.
Bukan menghindar, lebih tepatnya menahan gejolak yang mulai panas, bisa berabe kalau ia tahu burung perkututku sudah on time.
Mau menyentuhnya pun rasanya canggung, aku berasa psikop*t yang menc*buli gadis di bawah umur, tapi kalau lama-lama dianggurin sayang juga, duh serba salah!
"Beneran besok ya? awas kalau besok aku masih dianggurin juga, nanti aku laporin sama Mama."
Dih bocah ngancam, kaya berani aja ngadu ke mertua.
Satu jam kemudian terdengar suara dengkuran, rupanya tuh bocah sudah pules, syukurlah aku bisa leluasa mainin hape, kepo juga dengan Delia, seperti apa kabar perempuan itu setelah aku menikah dengan perempuan lain.
Ah sial! Rupanya pernikahanku tak berpengaruh apa-apa pada perasaannya, buktinya ia malah buat status mesra dengan suaminya.
Bisa dikatakan selama lima tahun aku menjaga jodoh orang, lima tahun pacaran denganku tapi Delia nikahnya sama orang lain, kan ngenes!
****
"Alaan!"
Alaan!"
Aku menggeliat kala mendengar suara cempreng memanggil-manggil, itu pasti mama. Oh Tuhan entah ada masalah apa lagi hingga sepagi ini aku harus mendengar ocehannya.
"Baru bangun kamu ya?! Ga salat subuh?!"
Mama sudah masuk ke dalam kamar, berdiri berkacak pinggang lengkap dengan spatula kayu bertengger di tangan kanannya.
"Salat kok, terus tidur lagi, emang ngapa? pagi-pagi udah teriak, berisik!" Aku menutup wajah menggunakannya selimut dan mencoba kembali terpejam.
Namun, mama malah menarik selimutku sekuat tenaga.
"Astaghfirullah, Alaan!" pekik mama dengan mata membulat.
Aku berdecak kesal. "Apaan lagi sih?"
"Kamu ngapain pakai kolor warna pink hah?!"
Aku langsung menundukkan wajah, baru teringat jika pakaian Gia memang disimpan satu lemari dengan pakaianku, ini pasti salah mataku karena mengantuk.
"Ketuker, Ma." Aku cengengesan.
"Heuh dasar!" Mama menghampiri lalu duduk di kasur bersamaku.
"Beneran kamu nuduh Gia ga suci lagi?!" tanya mama, suaranya memang pelan tapi tetap saja menyeramkan.
"Ah kata siapa?" Aku mencoba mengelak.
"Ya kata Gia lah kata siapa lagi. Semalam kamu ga mau menyentuhnya karena curiga 'kan kalau dia udah ga suci?!" Mama menatapku seperti seorang penyidik.
"Becanda itu mah, Gia aja yang baper," jawabku sambil nyengir.
"Becandanya ga lucu, Alan! Dengar ya, Mama itu udah tua dan pengalaman, jadi bisa membedakan mana gadis yang masih perawan dan engga, kamu jangan bod*h ya jadi laki!"
"Dari pada si Delia itu ya mending Gia, dia terhormat, pergaulannya ga sebebas mantanmu itu, dan yang paling Mama suka dia itu ga punya mantan!"
Mama nyerocos sepanjang rel kereta di dekat telinga, lama-lama panas juga, entah kapan ia berhenti bicara.
"Coba Si Delia, dari bentuk wajahnya aja Mama yakin dia udah ga per4wan, untung dia ga jadi nikah sama kamu, kalau jadi kamu rugi!" ujar mama lagi dengan mata mendelik.
Ah mama tak tahu saja jika aku yang membobol keg4disan Delia, eh!
"Pokoknya malam ini jalankan tugasmu sebagai suami, kalau kamu masih juga anggurin Gia, lihat aja Mama coret kamu dari daftar warisan," gerutu mama.
"Iya iya, itu urusan Alan, Mama ga usah ikut campur, pokoknya Mama tahu Gia udah ngandung cucu aja," jawabku mencoba menghalau ocehannya
Mama keluar aku kembali tarik selimut, ternyata bocah itu tak main-main, dia beneran mengadu pada mama, kukira gadis desa sepertinya tipe orang pendiam ternyata aku salah, dia sebelas dua belas dengan mama.
Aku menyibak jendela, ternyata pagi ini diguyur hujan pantas saja cuaca terasa dingin, mana kipas angin di depan sana menyala.
Ponselku bergetar sejak tadi, rupanya banyak pesan masuk dari teman-teman kantor.
[Penganten baru diguyur hujan nih, mantap broo, abis berapa ronde]
[Gimana ga mantep nikahnya sama abegeh]
[Beruntung banget jadi elu, Lan, dapet yang unyu-unyu]
Ah sial, grup kantor semua isi pesannya mengejekku, mereka tak tahu saja aku belum menyentuh bocah itu sama sekali, bukan tak napsu tapi tak tega. Mama sih malah jodohkan aku sama bocah.
"Alaan!"
"Alaan!"
Lengkingan suara mama terdengar lagi.
"Iya!'
"Genteng yang di dapur bocor, lu naek sana ke atap, benerin!"
Aku berdecak kesal, sedang enak-enakan tidur malah disuruh manjat genteng, padahal barusan nyuruh manjat Gia, ehh.
"Iya bentar lagi nelpon orang kantor ini!" Aku terpaksa bohong karena malas, nanti juga ujung-ujungnya mama yang naek ke genteng benerin sendiri.
Rasa penasaranku tak mau berhenti untuk mengorek informasi tentang Delia, mantanku itu entah kini sedang apa dengan suaminya.
Tuhan, yang berat itu bukan rindu tapi move on.
'Sendirian hanya ditemani hujan'
Seperti itu caption unggahan Delia lengkap dengan Poto latar belakang kamar jendelanya yang menghadap keluar, rintik hujan itu jelas tertangkap di kamera.
Jemariku gatal sekali ingin menulis komentar, berulang kali aku mengetik lalu menghapusnya lagi, hingga akhirnya ga jadi.
Sudah satu jam berada di kamar dan waktunya aku keluar menemui mama, dari pada mengingat Delia bikin sakit hati saja.
"Ma, gentengnya udah dibenerin?" tanyaku sambil nyomot bakwan.
"Udah!" jawab mama membentak.
"Mama yang naek?" tanyaku dengan mulut penuh.
"Yang benerin genteng itu Gia, istri kamu, Alan, kebangetan kamu ya, disuruh benerin genteng malah diem aja di kamar kayak ayam mau beranak," cerocos mama.
Aku melirik Gia yang sedang asyik makan gorengan dengan cabe hijau, ia tersenyum padaku meski sedang merasa kepedasan.
"Beneran, Gi?"
"Iya, Mas, aku yang benerin."
Ya Tuhan aku malu bukan main.
****
Aku mencoba mengatur napas saat melihat Gia masuk kamar mengenakan dres putih menerawang, lekukan tubuhnya terlihat indah dipandang.
Gia tersenyum sambil mendekat ke arahku, membuat dadaku kian bertalu-talu.
"Mas," sapanya sambil tersenyum.
Aku mendekatkan tubuh padanya, sekarang ada aroma parfum yang menguar mungkin ini pemberian dari mama, soalnya kalau malam kemarin aromanya lain lagi.
"Mas tunggu." Gia menahan wajahku menggunakan telapak tangannya.
"Kenapa sih?" tanyaku risih, kemarin ngebet banget sekarang jual mahal.
"Kita ga bisa lakuin itu sekarang."
Rahangku mengeras seketika, entahlah bocah ini maunya apa, atau jangan-jangan benar ia sudah pernah dij4mah pria hingga kepercayaan dirinya telah hilang.
"Kenapa emangnya?" tanyaku jengkel.
"Aku ... aku ...."
"Kenapaaa?!" tanyaku lagi dengan nada sedikit penekanan.
"Kayaknya keluar haid deh, Mas."
"Kampret!"
"Dipinjem .... Emak sama Uwa, Mas."Menghela napas sambil ngusap muka."Kamu pinjemin ke mereka semua?""Iya, soalnya Emak lagi butuh buat bayar orang yang kuli di sawah, nanti juga diganti katanya."Mama langsung melirikku, dia kalau dikasih pegangan uang kayaknya nggak bakalan bener, abis semua dipinjem keluarganya."Nah duit yang ini jangan kamu pinjemin lagi, itu buat bekel kamu, gajian Mas kan masih lama.""Iya, Mas."Duduk di kursi untuk meredakan rasa marah, bukan pelit tapi harusnya Gia mikir tuh duit jangan dipinjem semua, sekarang dia nggak punya duit sepeser pun emaknya malah seenaknya menghinaku.Pengen marah tapi ya udahlah bukan tipeku marah-marah sama istri."Maafin aku ya, Mas." Gia ngomong lagi, orang lagi kesel juga "Iya, terus itu duit kapan di balikinnya?" Tanyaku."Nanti kalau Emak sama Uwa udah punya uang, Mas, gitu katanya."Tuh kan nggak ada kepastian, yakin banget ini mah mereka pasti bakal susah ditagih nantinya.Satu jam kemudian mama mengajakku keluar dari
Ya Tuhan, bener udah keterlaluan ya tu nenek-nenek, gua bawa Gia kabur ke mana coba?"Alan, lu bawa Gia ke mana?! Jangan bikin gua malu ya!" Bentak Mama, sumpah aku stres banget."Ke rumah sakit, Ma, dia pendarahan gara-gara perutnya diurut tuh sama besan mama, untung aku bawa Gia tepat waktu coba kalau nggak.""Terus kenapa bisa mertua kamu bilang kamu bawa kabur Gia?""Aku ke rumah sakit malam saat mereka lagi tidur, emang dasar besan Mama aja yang lebay apa-apa berlebihan."Langsung masuk mobil dan merenung sejenak, kok gini amat ya hidupku, dulu dijodohin sekarang malah disuruh cerai, lawak banget.Mataku kembali fokus ke dalam rumah mak mertua, terdengar suara cekcok di dalam sana, pasti Mama ribut sama emaknya Gia. Aku kembali masuk ke dalam walaupun malu sama tetangga karena mereka tertuju pada kami"Kamu jangan nyalahin anakku terus, Narsih, dia udah berusaha maksimal jagain anakmu, obati anakmu, enak aja kamu ngomong ya." Itu suara mama.Padahal dulu mereka akrab sekali, kok
"Bentar deh, bentar." Kutahan tangan Gia yang hendak masuk ke dalam, sumpah aku takut banget dia kenapa-napa."Kenapa, Mas?" Dia malah terlihat santai."Itu di kain kamu ada darah, kamu kenapa sih?""Oh ini, ya biasa, Mas, namanya juga baru k3guguran.""Kita periksa lagi ya, kamu udah kontrol ke dokter belum?""Udah kok diurut sama paraji."Gia masuk ke dalam sementara aku melongo, ini anak kayaknya musti diselamatkan deh, pikirannya masih belum modern, gimana kalau dia kenapa-napa? Malah diurut lagi.Lalu aku masuk ke dalam walaupun tidak dipersilahkan, ada bapak mertua dia langsung tersenyum ramah."Alan, kapan nyampe?"Kami bersalaman meski tangan bapak mertuaku banyak tanah, habis dari kebun katanya "Baru aja, Pak, sehat?""Alhamdulillah.""Gini, Pak, saya mau bawa Gia pulang ya, masa kita suami istri jauh-jauhan, saya juga kerja ya enggak bisa tiap hari atau tiap Minggu jenguk Gia."Emak mertua yang sedang ngelap toples langsung melirikku, biarin dah dia marah juga aku nggak ped
Ah elah, tuh nenek-nenek bikin gue ribet aja, mana kerjaan lagi banyak, kemarin abis minta izin cuti, mana bisa gue minta izin pulang lagi, duh bikin dada gue nyap-nyap aja."Duh coba aja deh Mama cegah Gia gimana caranya, aku nggak bisa pulang lagi banyak kerjaan ini.""Ah elu gimana sih, mama udah coba tapi Narsih engga mau denger.""Ya udah aku mau ngomong sama Gia."Langsung mematikan panggilan dan menelpon Gia, ternyata dia menelpon sejak tadi, karena ponselku disenyapkan makanya tak terdengar, kebetulan saja barusan lihat ponsel pas lagi mama nelpon."Gi.""Iya, Mas, jam berapa pulang?""Nanti jam enam magrib, barusan mama telpon katanya kamu mau dibawa emak ke kampung?"Dia terdiam bikin aku jengkel."Jawab, Gi.""Iya, Mas.""Terus kamu mau?"Dia diam lagi, ini pasti dipelototin emaknya."Gi, kalau sudah menikah perempuan itu ya harus ikut dan nurut sama suami, Mas enggak izinin kamu ke mana-mana ya, kamu harus istirahat di rumah," ujarku agak tegas.Pikiran Gia masih kayak boc
Mereka berdua terkejut khususnya emak mertua, coba aku mau lihat, ngomong apa dia di depanku, apa berani ngomong kayak tadi?"Eh, Alan, bikin kaget aja." Dia malah senyum engga jelas, beraninya main belakang doang ternyata."BPJS kamu enggak aktif, Gi," ujarku menahan kesal.Emak mertua dan Gia kompak melirikku lagi. "Kok bisa nggak aktif?" Tanya mertuaku."Katanya nggak pernah dipakai.""Lah terus gimana? Berarti biaya rumah sakitnya kita bayar sendiri dong, duitku yang kemarin tinggal dikit lagi, Mas, cukup nggak ya kira-kira?" Tanya Gia."Loh, kenapa harus pakai duit kamu, Gi? Ya pakai duit Alan lah, terus tabungan kamu kenapa tinggal sedikit? Oh jadi pas kemarin masuk rumah sakit itu pakai duitmu ya? Bukan duit Alan?"Mak mertua memojokkanku, menyebalkan emang kalau hidup tak punya uang. "Iya?!" Mak mertua membentak Aku menghela nafas, jujur aja deh daripada bohong, dosaku udah banyak soalnya."Iya pakai duit Gia, soalnya aku nggak punya duit, Mak," jawabku dengan pasrah dan ra
"kok bisa pendarahan sih, Ma? Dia kecapean lagi?"Keinget Gia yang ngeyel dan keras kepala tidak mau istirahat maunya terus-terusan bekerja di rumah, awas aja kalau dia bandel."Kecapean sih enggak, Lan, udah deh kamu jangan banyak tanya, cepetan aja pulang sekarang.""Itu emak mertuaku masih ada?"Karena katanya hari ini dia mau pulang ke kampung. "Masih ada kebetulan mertuamu belum pulang ini."Hem kesempatan, Aku bakal pojokan emaknya Gia karena gelang yang dia berikan itu tidak bisa melindungi Gia sekaligus menyadarkan jika perbuatan tersebut merupakan dosa syirikAku harus mendapatkan tatapan sinis dari atasan ketika izin pulang tetapi bagaimana lagi istriku dalam keadaan darurat masa iya aku masih terus menerus bekerja. Tiba di rumah Gia sudah duduk di ruang tamu sementara mamah nunggu di teras. "Ayok cepetan bawa Gia ke mobil."Langsung berlari masuk ke dalam. "Gi, ayok Mas bantu naik ke mobil." Aku membantunya berdiri."Maafin aku ya, Mas, aku takut anak kita meninggal." D
Ada-ada aja ah, kalau begini aku bisa telat masuk kerja, engga balik pasti tuh mulut ngoceh-ngoceh sampe kuping panas, aku pun putar balik di sini."Maa!" Teriakku sambil masuk ke dalam. "DI kamar, Lan!"Gia terlihat meringis sambil memegangi perutnya, aku pun jadi ikut terkejut, takut bayi yang dikandungnya kenapa-napa. "Kenapa, Gi?""Sakit, Mas.""Duh gimana dong, Ma?""Ya bawa ke rumah sakit lah, malah nanya lagi kayak anak SD aja."Aku garuk-garuk kepala, engga punya duit, mana Gia engga punya asuransi lagi, pinjem Ama siapa kalau begini "Kok lu bengong sih, Lan!" Mama menepuk bahuku, mana sakit banget."Nggak punya duit, Ma, gimana dong?""Ya elah, gua juga sama sih," jawab mama."Pake uang aku aja, Mas, ada di dompet warna merah di lemari itu." Merasa engga enak masa iya harus ngandelin istri, laki macam apa coba aku ini."Cepetan lu ambil pake bengong lagi." "Iya iya."Lemari baju kubuka, ada dompet merah terselip di antara pakaiannya aku pun membuka dompet merah yang beru
"Apa ini bawaan orok?" Tanyaku. Karena biasanya Gia tak pernah minta aneh-aneh, paling minta jajan seblak, bakso dan cimol, makanan yang menurutku aneh itu."Pokoknya Mas enggak boleh ketemu Delia lagi." Dia merajuk kayak anak b0cah."Lah, kemarin kamu loh yang nolongin dia pas kecelakaan? Lupa? Udah deh, Gi, jangan kayak anak kecil gini ya."Dia langsung berdiri dan sepertinya hendak marah, aku jadi terkejut, nih anak kesurupan nyai Roro kidul apa ya."Oh begitu ya, aku emang anak kecil, jadi Mas nyesel udah nikah sama aku hah?"Lah, nih bocah malah marah, siapa juga yang bilang nyesel, perlu dirukiah ini mah."Engga kok, Mas engga nyesel, udah jangan marah-marah terus nanti bayinya cengeng loh."Aku duduk disampingnya, ribet amat buat perkara sama ibu hamil."Ya udah kalau gitu jangan deket-deket Delia lagi, Mas berhenti kerjanya." Bibirnya monyong lima senti."Ya kalau Mas engga kerja entar engga bisa ngasih nafkah dong sama kamu dan anak kita," ujarku dengan lembut.Ngadi-ngadi e
"Iya, Bu, Alhamdulillah hasil tespeknya positif, selamat ya." Suster itu tersenyum, aku langsung bengong, apa ini mimpi? Dulu burungku tidak mau bangun dan sekarang Gia hamil? Ini benar-benar kuasa Tuhan."Alhamdulillah.""Selamat ya, Gi."Mama terlihat heboh seperti biasa, sementara aku tak bisa berkata-kata. "Papa kamu harus tahu, Lan, akhirnya anak pertama mama yang sering di3jek bujang lapuk susah punya anak sekarang udah mau punya anak," ujar mama sambil mengguncang bahuku.Ini bersyukur kok sambil ngejek ya, maksudnya gimana sih?"Alan, kok lu diem aja sih?! Engga seneng punya anak?""Ya seneng, Ma."*Dua hari pulang dari rumah sakit Mama langsung membawa Gia ke dokter kandungan padahal aku belum gajian."Nggak apa-apa pakai duit Mama aja tapi jangan lupa nanti kamu ganti," ujar mama, engga enak banget ujungnya ngutangin."Ini kan buat cucu tapi harus diganti segala perhitungan amat sih katanya senang mau punya cucu.""Ya kalau ini beda lagi, kan masih dalam perut gimana sih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments