MENIKAH DENGAN BO-CAH 1
"Mas, mau sekarang apa besok?" tanya Gia sambil membuka k*ncing b4ju sebelah atas.
Seketika aku menegak ludah, Anggia yang baru satu hari ini menjadi istriku kenapa begitu agresif? padahal usianya baru dua puluh tahun
Gadis itu dijodohkan denganku oleh orang tua kami, padahal usiaku sudah tiga puluh lima tahun, tentu sangatlah jauh perbedaannya.
Dan yang membuatku heran gadis itu mau-mau saja padahal aku tak maksa untuk menerima lamaranku, katanya ia dinikahkan karena tak memiliki biaya untuk sekolah.
"Ja-jangan dulu dong sabar."
"Yakin Mas bisa sabar?"
Kurang ajar sekali bo,cah itu malah membuka kancing bajunya yang barisan kedua, alhasil gunung kembarnya sedikit menyembul terlihat oleh mataku.
"Aku capek, Gia, besok aja ya." Aku merebahkan diri dengan malas.
"Alaah, baru gitu aja capek, percaya sama Eneng capeknya nanti pasti ilang kalau udah dicoba."
Buset dia maksa.
Jujur, bukan aku tak n*fsu melihatnya. Namun, di mataku masih terbayang Delia, mantan kekasihku.
"Emang kamu siap? malam pertama itu katanya sakit kok kamu ngebet gini, jangan-jangan udah pernah, hayoo." Aku menujuk wajahnya sambil menyeringai.
"Dih, sotoy banget sih, Eneng tuh cuma jalankan kewajiban, lagian kita udah satu jam diem-dieman di kamar, Mas mau aku jadi lumutan?" jawabnya tengil.
"Mana ada orang lumutan, ngadi-ngadi bilang aja kebelet, ayo ngaku udah pernah berapa kali begituan?" tanyaku sambil bercanda.
"Belum pernah, Mas, makanya coba dulu masih ori apa engga, kalau udah jebol aku siap dipulangin ke Emak." Lalu ia terkekeh.
"Ah males besok aja." Aku pun tidur dengan telungkup.
Bukan menghindar, lebih tepatnya menahan gejolak yang mulai panas, bisa berabe kalau ia tahu burung perkututku sudah on time.
Mau menyentuhnya pun rasanya canggung, aku berasa psikop*t yang menc*buli gadis di bawah umur, tapi kalau lama-lama dianggurin sayang juga, duh serba salah!
"Beneran besok ya? awas kalau besok aku masih dianggurin juga, nanti aku laporin sama Mama."
Dih bocah ngancam, kaya berani aja ngadu ke mertua.
Satu jam kemudian terdengar suara dengkuran, rupanya tuh bocah sudah pules, syukurlah aku bisa leluasa mainin hape, kepo juga dengan Delia, seperti apa kabar perempuan itu setelah aku menikah dengan perempuan lain.
Ah sial! Rupanya pernikahanku tak berpengaruh apa-apa pada perasaannya, buktinya ia malah buat status mesra dengan suaminya.
Bisa dikatakan selama lima tahun aku menjaga jodoh orang, lima tahun pacaran denganku tapi Delia nikahnya sama orang lain, kan ngenes!
****
"Alaan!"
Alaan!"
Aku menggeliat kala mendengar suara cempreng memanggil-manggil, itu pasti mama. Oh Tuhan entah ada masalah apa lagi hingga sepagi ini aku harus mendengar ocehannya.
"Baru bangun kamu ya?! Ga salat subuh?!"
Mama sudah masuk ke dalam kamar, berdiri berkacak pinggang lengkap dengan spatula kayu bertengger di tangan kanannya.
"Salat kok, terus tidur lagi, emang ngapa? pagi-pagi udah teriak, berisik!" Aku menutup wajah menggunakannya selimut dan mencoba kembali terpejam.
Namun, mama malah menarik selimutku sekuat tenaga.
"Astaghfirullah, Alaan!" pekik mama dengan mata membulat.
Aku berdecak kesal. "Apaan lagi sih?"
"Kamu ngapain pakai kolor warna pink hah?!"
Aku langsung menundukkan wajah, baru teringat jika pakaian Gia memang disimpan satu lemari dengan pakaianku, ini pasti salah mataku karena mengantuk.
"Ketuker, Ma." Aku cengengesan.
"Heuh dasar!" Mama menghampiri lalu duduk di kasur bersamaku.
"Beneran kamu nuduh Gia ga suci lagi?!" tanya mama, suaranya memang pelan tapi tetap saja menyeramkan.
"Ah kata siapa?" Aku mencoba mengelak.
"Ya kata Gia lah kata siapa lagi. Semalam kamu ga mau menyentuhnya karena curiga 'kan kalau dia udah ga suci?!" Mama menatapku seperti seorang penyidik.
"Becanda itu mah, Gia aja yang baper," jawabku sambil nyengir.
"Becandanya ga lucu, Alan! Dengar ya, Mama itu udah tua dan pengalaman, jadi bisa membedakan mana gadis yang masih perawan dan engga, kamu jangan bod*h ya jadi laki!"
"Dari pada si Delia itu ya mending Gia, dia terhormat, pergaulannya ga sebebas mantanmu itu, dan yang paling Mama suka dia itu ga punya mantan!"
Mama nyerocos sepanjang rel kereta di dekat telinga, lama-lama panas juga, entah kapan ia berhenti bicara.
"Coba Si Delia, dari bentuk wajahnya aja Mama yakin dia udah ga per4wan, untung dia ga jadi nikah sama kamu, kalau jadi kamu rugi!" ujar mama lagi dengan mata mendelik.
Ah mama tak tahu saja jika aku yang membobol keg4disan Delia, eh!
"Pokoknya malam ini jalankan tugasmu sebagai suami, kalau kamu masih juga anggurin Gia, lihat aja Mama coret kamu dari daftar warisan," gerutu mama.
"Iya iya, itu urusan Alan, Mama ga usah ikut campur, pokoknya Mama tahu Gia udah ngandung cucu aja," jawabku mencoba menghalau ocehannya
Mama keluar aku kembali tarik selimut, ternyata bocah itu tak main-main, dia beneran mengadu pada mama, kukira gadis desa sepertinya tipe orang pendiam ternyata aku salah, dia sebelas dua belas dengan mama.
Aku menyibak jendela, ternyata pagi ini diguyur hujan pantas saja cuaca terasa dingin, mana kipas angin di depan sana menyala.
Ponselku bergetar sejak tadi, rupanya banyak pesan masuk dari teman-teman kantor.
[Penganten baru diguyur hujan nih, mantap broo, abis berapa ronde]
[Gimana ga mantep nikahnya sama abegeh]
[Beruntung banget jadi elu, Lan, dapet yang unyu-unyu]
Ah sial, grup kantor semua isi pesannya mengejekku, mereka tak tahu saja aku belum menyentuh bocah itu sama sekali, bukan tak napsu tapi tak tega. Mama sih malah jodohkan aku sama bocah.
"Alaan!"
"Alaan!"
Lengkingan suara mama terdengar lagi.
"Iya!'
"Genteng yang di dapur bocor, lu naek sana ke atap, benerin!"
Aku berdecak kesal, sedang enak-enakan tidur malah disuruh manjat genteng, padahal barusan nyuruh manjat Gia, ehh.
"Iya bentar lagi nelpon orang kantor ini!" Aku terpaksa bohong karena malas, nanti juga ujung-ujungnya mama yang naek ke genteng benerin sendiri.
Rasa penasaranku tak mau berhenti untuk mengorek informasi tentang Delia, mantanku itu entah kini sedang apa dengan suaminya.
Tuhan, yang berat itu bukan rindu tapi move on.
'Sendirian hanya ditemani hujan'
Seperti itu caption unggahan Delia lengkap dengan Poto latar belakang kamar jendelanya yang menghadap keluar, rintik hujan itu jelas tertangkap di kamera.
Jemariku gatal sekali ingin menulis komentar, berulang kali aku mengetik lalu menghapusnya lagi, hingga akhirnya ga jadi.
Sudah satu jam berada di kamar dan waktunya aku keluar menemui mama, dari pada mengingat Delia bikin sakit hati saja.
"Ma, gentengnya udah dibenerin?" tanyaku sambil nyomot bakwan.
"Udah!" jawab mama membentak.
"Mama yang naek?" tanyaku dengan mulut penuh.
"Yang benerin genteng itu Gia, istri kamu, Alan, kebangetan kamu ya, disuruh benerin genteng malah diem aja di kamar kayak ayam mau beranak," cerocos mama.
Aku melirik Gia yang sedang asyik makan gorengan dengan cabe hijau, ia tersenyum padaku meski sedang merasa kepedasan.
"Beneran, Gi?"
"Iya, Mas, aku yang benerin."
Ya Tuhan aku malu bukan main.
****
Aku mencoba mengatur napas saat melihat Gia masuk kamar mengenakan dres putih menerawang, lekukan tubuhnya terlihat indah dipandang.
Gia tersenyum sambil mendekat ke arahku, membuat dadaku kian bertalu-talu.
"Mas," sapanya sambil tersenyum.
Aku mendekatkan tubuh padanya, sekarang ada aroma parfum yang menguar mungkin ini pemberian dari mama, soalnya kalau malam kemarin aromanya lain lagi.
"Mas tunggu." Gia menahan wajahku menggunakan telapak tangannya.
"Kenapa sih?" tanyaku risih, kemarin ngebet banget sekarang jual mahal.
"Kita ga bisa lakuin itu sekarang."
Rahangku mengeras seketika, entahlah bocah ini maunya apa, atau jangan-jangan benar ia sudah pernah dij4mah pria hingga kepercayaan dirinya telah hilang.
"Kenapa emangnya?" tanyaku jengkel.
"Aku ... aku ...."
"Kenapaaa?!" tanyaku lagi dengan nada sedikit penekanan.
"Kayaknya keluar haid deh, Mas."
"Kampret!"
MENIKAH DENGAN BO-CAH 2Subuh-subuh Mama menatapku begitu intens terutama di area kepala, aku mengerlingkan mata dengan malas membalas tatapannya."Gimana? udah?"Bu tanya mama sambil berbisik."Apaan sih, gaje!" Aku mendelik"Aaawww!"Mama menc*bit pahaku sekuat tenaga, duh untung aku lahir dari rahimnya coba kalau bukan sudah kuiris-iris jadiin bakwan."Jawab yang bener kalau ditanya tuh, Alan!" Mama membentak.Aku menatap wajah mama dengan nelangsa."Lagi palang merah."Mama berdecak kesal. "Gimana sih kamu, coba malam kemarin engga jual mahal, pasti udah masuk surga," cerocosnya sambil berlalu meninggalkanku.Aku mencebikkan bibir, sudah dongkol semalam tak dapat jatah, paginya malah dengar suara mama marah-marah, ia pikir dirinya saja yang kecewa, aku bahkan lebih, apalagi si Joni."Mas mau makan dulu atau mandi dulu?" tanya istriku dari arah belakang."Makan," jawabku datar."Cie marah." Gia meledek."Maaf deh, Mas." Gia duduk di sampingku, memasang tampang semenyesal mungkin."D
MENIKAH DENGAN BO-CAH 3"Sama siapa?!" tanyaku agak membentak."Sama Si Meri, Si Mario maksudnya."Aku bergidik seketika, Meri alias Mario tetangga kami yang agak b3ngkok, seketika burung perkututku merasa gatal."Mama tega bener sih masa s3mpak aku ditukerin sama b*nci!" Aku melotot."Bukan dituker tapi ketuker, udah sini mana s3mp4knya Mama mau tuker lagi sama Ceu Romlah." Mama menyebut nama ibunya si Meri alias Mario."Ogah ogah ah, Mama mau aku pakai celana bekas si Meri, terus nanti b*rung aku ikut-ikutan b3ngkok kaya dia," cerocosku sambil bergidik.Tak terbayang pakai c3lana d4lam bekas b*nc1, ini pasti karena mama keasikan ngegosip sampai lupa sama d4l3man anak sendiri."Ya jangan dong, kalau b3ngk0k kaya Si Meri kapan Mama punya cucu dari kamu."Raut wajah mama terlihat lemes. "Duh, mana itu s3m-p4k mahal, Lan, sayang banget kalau ga ditukerin, Ceu Romlah juga ga bilang kalau keresek kita ketuker."Mama masuk kamar dengan tampang lesu."Itu karma, kebanyakan nyelipin amplop k
MENIKAH DENGAN BO-CAH 4(POV GIA)Beberapa bulan setelah aku menerima ijazah sekolah menengah pertama, Emak dan bapak menyuruhku bicara pada Rudi untuk melamarku.Emak menyangka selama ini aku dan Rudi memiliki hubungan spesial, nyatanya kami hanya berteman biasa, memang ada rasa cinta untuknya. Akan tetapi, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.Rudi meneruskan kuliah di luar kota, hingga kami tak saling sapa karena ponselku rusak, untuk keperluan darurat aku biasa nebeng pakai ponsel adikku."Kalau Rudi ga bisa nikahin kamu maka kamu harus nikah sama temen Emak, dia orang kota, punya kerjaan udah mapan, dan masih bujang pula," ucap Emak malam ituDi kampungku tak ada anak gadis di usia delapan belas tahun, sebelum menginjak usia itu kami sudah dinikahkan, entah karena perjodohan ataupun menikah dengan kekasih impian.Akhirnya mau tak mau aku nurut perkataan emak, pemuda kota itu datang ke kampungku, orangnya tinggi semampai, kulitnya sawo matang, dengan mata tajam dan hidung yang te
MENIKAH DENGAN BO-CAH 5(POV ALAN)Kutatap wanita yang telah melahirkanku itu dengan bengis."Ngapain sih, Ma?"Perempuan yang mengenakan daster bolong di bagian ketiaknya itu terkekeh menatap kami berdua yang sedang kikuk.Rasanya seperti digrebek warga, sumpah!"Mama salah masuk, maaf ya. Ayo lanjut lagi."Mama menutu pintu sambil nyengir.Aku mengacak rambut dengan kesal."Sabar, Mas, Mama cuma salah masuk kamar," tutur Gia Kalau begini aku jadi ingin pindah ke kamar depan!****Pagi ini aku sarapan sambil cemberut, beberapa kali mama berdehem pun tetap kuabaikan, entah dia keselek biji duren atau sengaja memancingku bicara."Alan, mumpung kamu masih libur ajakin Gia jalan-jalan sana," ucap ibu sambil naruh tumis kangkung ke piringku."Ga ada duit, gajian masih lama."Uang tabunganku memang habis separuh untuk biaya pernikahan kemarin, mana amplop hasil undangan dari para tamu dipegang mama semua."Nih." Mama menyerahkan lima lembar uang warna merah, senyumku seketika mengembang.E
MENIKAH DENGAN BOCAH 6Sepanjang motor melaju Gia duduk begitu jauh dari tubuhku, padahal tadi pas mau berangkat dia langsung nempel kayak perangko, sekarang aku tak ubahnya seperti tukang ojek."Mas aja gih yang ke dalam," ujar Gia saat melepas helm."Kamu marah? yang tadi itu bukan siapa-siapa aku, Gi." Aku terpaksa merayunya dulu.Entahlah aku risih saja melihatnya cemberut begitu, aku lebih suka Gia yang periang dan ceria."Mantan kamu?" tanya Gia tanpa menoleh ke arahku."Iya."Gia terlihat menghela napas."Kayaknya perempuan itu masih cinta sama Mas." Wajah Gia langsung tak bergairah.Sejujurnya bukan hanya dia, tapi aku pun sama masih mencintainya, hanya saja aku lebih memilih dewasa dan menerima kenyataan."Dia udah punya suami."Seketika senyum Gia mengembang."Oh udah nikah, kirain janda." Gia terkekeh."Dih." Aku langsung melongo, secepat itu mood Gia kembali?"Ya udah yuk masuk, aku pilihin kamu baju ya, tadi Mama ngasih duit," bisikku ke dekat telinganya.Wajah Gia makin
Suara pintu terdengar dibuka dari luar, duh gawat, Gia malah masuk ke kamar, padahal aku belum selesai bicara, Delia juga malah sibuk menangis bukan cepat bicara, dasar perempuan. "Lan, kamu marah sama siapa?" Ternyata mama yang masuk, malah tambah berabe kalau begini, matanya bisa mengeluarkan cahaya jika tahu aku telponan dengan Delia. "Emm ... Ini, Ma, temen kantorku, Mama keluar dulu aku lagi nelpon." "Emang temen kantormu ada yang namanya Dadang?" Mama menatap layar ponsel dan wajahku bergantian, entah kenapa perempuan satu ini bawaannya curiga terus. "Ya ada lah, Ma, udah sana sana keluar, ganggu aja ah.", "Oh berani kamu ya ngusir Mama, minta dikutuk hah?!" Aku menggaruk kepala yang tak gatal, menghadapi emak emak emang serba salah. "Ya udah kutuk aja, Ma, kutuk jadi orang kaya!" Mama hanya mendelik sambil mencebikkan mulutnya lalu keluar dan menutup pintu kamarku, tetapi entah kenapa perasaanku mengatakan jika mama belum pergi dan menguping pembicaraanku. Sengaja aku
"Gi, kamu marah? Udah dong jangan marah ya," ujarku dengan suara pelan, bisa gawat kalau sampai mama tahu masalah ini. Gia masih tetap diam, air yang dia minum sudah habis beberapa gelas, dia sudah seperti kesurupan ikan piranha, minum tiada henti seperti tidak merasa kembung di perutnya. "Aku nggak marah, Mas," ujarnya lagi dengan penuh penekanan. "Kalau enggak marah senyum dong kok ketus begitu." Bukan tersenyum dia malah melirikku dengan tajam, mataku sampai terpejam tak kuasa melihat nya. "Hemm." Gia tersenyum paksa sampai gigi putihnya terlihat, tetapi dari tatapan matanya sama sekali tidak terlihat ada ketulusan. Setelah itu dia kembali pergi menjauh, aku terus mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke kamar, saat aku akan masuk saat itu pula Gia menutup pintu, ah untung saja pintu tersebut tidak mengenai keningku. Aku memilih ke dapur saja, biarkan Gia menenangkan diri di kamar, nanti jika dia sudah meredam amarahnya aku akan minta maaf. "La
MENIKAH DENGAN BO-CAH 9(POV GIA)Menyebalkan sekali Mas Alan ini, mentang mentang usiaku masih muda dia bisa membohongi dan membodohiku begitu?Awalnya aku mengira nomor kontak yang bernama Dadang itu memang teman lelakinya, tetapi rupanya Tuhan menunjukkan sesuatu padaku.Siang itu ketika Mas Alan sedang mendengkur keras di siang bolong, tiba-tiba saja ponselnya berdering, kontak bernama Dadang terlihat meneleponnya tanpa berpikir panjang aku pun langsung mengangkat panggilan itu.Siapa sangka ternyata yang bicara di seberang sana adalah seorang perempuan, awalnya aku mengira perempuan tersebut istrinya Dadang.Aku pun langsung mematikan panggilan menyalin nomor kontak Dadang dan memperlihatkan Poto profil WhatsApp nya pada ibu."Ini mah nomor si Delia, Gi, kenapa emangnya?"Sejak saat itu hatiku begitu dongkol dan kesal, lalu sekarang Mas Alan malah telponan begitu lama dengan perempuan itu.Aku ingin sekali marah dan memperlihatkan rasa cemburu tetapi seketika langsung sadar aku i
"Dipinjem .... Emak sama Uwa, Mas."Menghela napas sambil ngusap muka."Kamu pinjemin ke mereka semua?""Iya, soalnya Emak lagi butuh buat bayar orang yang kuli di sawah, nanti juga diganti katanya."Mama langsung melirikku, dia kalau dikasih pegangan uang kayaknya nggak bakalan bener, abis semua dipinjem keluarganya."Nah duit yang ini jangan kamu pinjemin lagi, itu buat bekel kamu, gajian Mas kan masih lama.""Iya, Mas."Duduk di kursi untuk meredakan rasa marah, bukan pelit tapi harusnya Gia mikir tuh duit jangan dipinjem semua, sekarang dia nggak punya duit sepeser pun emaknya malah seenaknya menghinaku.Pengen marah tapi ya udahlah bukan tipeku marah-marah sama istri."Maafin aku ya, Mas." Gia ngomong lagi, orang lagi kesel juga "Iya, terus itu duit kapan di balikinnya?" Tanyaku."Nanti kalau Emak sama Uwa udah punya uang, Mas, gitu katanya."Tuh kan nggak ada kepastian, yakin banget ini mah mereka pasti bakal susah ditagih nantinya.Satu jam kemudian mama mengajakku keluar dari
Ya Tuhan, bener udah keterlaluan ya tu nenek-nenek, gua bawa Gia kabur ke mana coba?"Alan, lu bawa Gia ke mana?! Jangan bikin gua malu ya!" Bentak Mama, sumpah aku stres banget."Ke rumah sakit, Ma, dia pendarahan gara-gara perutnya diurut tuh sama besan mama, untung aku bawa Gia tepat waktu coba kalau nggak.""Terus kenapa bisa mertua kamu bilang kamu bawa kabur Gia?""Aku ke rumah sakit malam saat mereka lagi tidur, emang dasar besan Mama aja yang lebay apa-apa berlebihan."Langsung masuk mobil dan merenung sejenak, kok gini amat ya hidupku, dulu dijodohin sekarang malah disuruh cerai, lawak banget.Mataku kembali fokus ke dalam rumah mak mertua, terdengar suara cekcok di dalam sana, pasti Mama ribut sama emaknya Gia. Aku kembali masuk ke dalam walaupun malu sama tetangga karena mereka tertuju pada kami"Kamu jangan nyalahin anakku terus, Narsih, dia udah berusaha maksimal jagain anakmu, obati anakmu, enak aja kamu ngomong ya." Itu suara mama.Padahal dulu mereka akrab sekali, kok
"Bentar deh, bentar." Kutahan tangan Gia yang hendak masuk ke dalam, sumpah aku takut banget dia kenapa-napa."Kenapa, Mas?" Dia malah terlihat santai."Itu di kain kamu ada darah, kamu kenapa sih?""Oh ini, ya biasa, Mas, namanya juga baru k3guguran.""Kita periksa lagi ya, kamu udah kontrol ke dokter belum?""Udah kok diurut sama paraji."Gia masuk ke dalam sementara aku melongo, ini anak kayaknya musti diselamatkan deh, pikirannya masih belum modern, gimana kalau dia kenapa-napa? Malah diurut lagi.Lalu aku masuk ke dalam walaupun tidak dipersilahkan, ada bapak mertua dia langsung tersenyum ramah."Alan, kapan nyampe?"Kami bersalaman meski tangan bapak mertuaku banyak tanah, habis dari kebun katanya "Baru aja, Pak, sehat?""Alhamdulillah.""Gini, Pak, saya mau bawa Gia pulang ya, masa kita suami istri jauh-jauhan, saya juga kerja ya enggak bisa tiap hari atau tiap Minggu jenguk Gia."Emak mertua yang sedang ngelap toples langsung melirikku, biarin dah dia marah juga aku nggak ped
Ah elah, tuh nenek-nenek bikin gue ribet aja, mana kerjaan lagi banyak, kemarin abis minta izin cuti, mana bisa gue minta izin pulang lagi, duh bikin dada gue nyap-nyap aja."Duh coba aja deh Mama cegah Gia gimana caranya, aku nggak bisa pulang lagi banyak kerjaan ini.""Ah elu gimana sih, mama udah coba tapi Narsih engga mau denger.""Ya udah aku mau ngomong sama Gia."Langsung mematikan panggilan dan menelpon Gia, ternyata dia menelpon sejak tadi, karena ponselku disenyapkan makanya tak terdengar, kebetulan saja barusan lihat ponsel pas lagi mama nelpon."Gi.""Iya, Mas, jam berapa pulang?""Nanti jam enam magrib, barusan mama telpon katanya kamu mau dibawa emak ke kampung?"Dia terdiam bikin aku jengkel."Jawab, Gi.""Iya, Mas.""Terus kamu mau?"Dia diam lagi, ini pasti dipelototin emaknya."Gi, kalau sudah menikah perempuan itu ya harus ikut dan nurut sama suami, Mas enggak izinin kamu ke mana-mana ya, kamu harus istirahat di rumah," ujarku agak tegas.Pikiran Gia masih kayak boc
Mereka berdua terkejut khususnya emak mertua, coba aku mau lihat, ngomong apa dia di depanku, apa berani ngomong kayak tadi?"Eh, Alan, bikin kaget aja." Dia malah senyum engga jelas, beraninya main belakang doang ternyata."BPJS kamu enggak aktif, Gi," ujarku menahan kesal.Emak mertua dan Gia kompak melirikku lagi. "Kok bisa nggak aktif?" Tanya mertuaku."Katanya nggak pernah dipakai.""Lah terus gimana? Berarti biaya rumah sakitnya kita bayar sendiri dong, duitku yang kemarin tinggal dikit lagi, Mas, cukup nggak ya kira-kira?" Tanya Gia."Loh, kenapa harus pakai duit kamu, Gi? Ya pakai duit Alan lah, terus tabungan kamu kenapa tinggal sedikit? Oh jadi pas kemarin masuk rumah sakit itu pakai duitmu ya? Bukan duit Alan?"Mak mertua memojokkanku, menyebalkan emang kalau hidup tak punya uang. "Iya?!" Mak mertua membentak Aku menghela nafas, jujur aja deh daripada bohong, dosaku udah banyak soalnya."Iya pakai duit Gia, soalnya aku nggak punya duit, Mak," jawabku dengan pasrah dan ra
"kok bisa pendarahan sih, Ma? Dia kecapean lagi?"Keinget Gia yang ngeyel dan keras kepala tidak mau istirahat maunya terus-terusan bekerja di rumah, awas aja kalau dia bandel."Kecapean sih enggak, Lan, udah deh kamu jangan banyak tanya, cepetan aja pulang sekarang.""Itu emak mertuaku masih ada?"Karena katanya hari ini dia mau pulang ke kampung. "Masih ada kebetulan mertuamu belum pulang ini."Hem kesempatan, Aku bakal pojokan emaknya Gia karena gelang yang dia berikan itu tidak bisa melindungi Gia sekaligus menyadarkan jika perbuatan tersebut merupakan dosa syirikAku harus mendapatkan tatapan sinis dari atasan ketika izin pulang tetapi bagaimana lagi istriku dalam keadaan darurat masa iya aku masih terus menerus bekerja. Tiba di rumah Gia sudah duduk di ruang tamu sementara mamah nunggu di teras. "Ayok cepetan bawa Gia ke mobil."Langsung berlari masuk ke dalam. "Gi, ayok Mas bantu naik ke mobil." Aku membantunya berdiri."Maafin aku ya, Mas, aku takut anak kita meninggal." D
Ada-ada aja ah, kalau begini aku bisa telat masuk kerja, engga balik pasti tuh mulut ngoceh-ngoceh sampe kuping panas, aku pun putar balik di sini."Maa!" Teriakku sambil masuk ke dalam. "DI kamar, Lan!"Gia terlihat meringis sambil memegangi perutnya, aku pun jadi ikut terkejut, takut bayi yang dikandungnya kenapa-napa. "Kenapa, Gi?""Sakit, Mas.""Duh gimana dong, Ma?""Ya bawa ke rumah sakit lah, malah nanya lagi kayak anak SD aja."Aku garuk-garuk kepala, engga punya duit, mana Gia engga punya asuransi lagi, pinjem Ama siapa kalau begini "Kok lu bengong sih, Lan!" Mama menepuk bahuku, mana sakit banget."Nggak punya duit, Ma, gimana dong?""Ya elah, gua juga sama sih," jawab mama."Pake uang aku aja, Mas, ada di dompet warna merah di lemari itu." Merasa engga enak masa iya harus ngandelin istri, laki macam apa coba aku ini."Cepetan lu ambil pake bengong lagi." "Iya iya."Lemari baju kubuka, ada dompet merah terselip di antara pakaiannya aku pun membuka dompet merah yang beru
"Apa ini bawaan orok?" Tanyaku. Karena biasanya Gia tak pernah minta aneh-aneh, paling minta jajan seblak, bakso dan cimol, makanan yang menurutku aneh itu."Pokoknya Mas enggak boleh ketemu Delia lagi." Dia merajuk kayak anak b0cah."Lah, kemarin kamu loh yang nolongin dia pas kecelakaan? Lupa? Udah deh, Gi, jangan kayak anak kecil gini ya."Dia langsung berdiri dan sepertinya hendak marah, aku jadi terkejut, nih anak kesurupan nyai Roro kidul apa ya."Oh begitu ya, aku emang anak kecil, jadi Mas nyesel udah nikah sama aku hah?"Lah, nih bocah malah marah, siapa juga yang bilang nyesel, perlu dirukiah ini mah."Engga kok, Mas engga nyesel, udah jangan marah-marah terus nanti bayinya cengeng loh."Aku duduk disampingnya, ribet amat buat perkara sama ibu hamil."Ya udah kalau gitu jangan deket-deket Delia lagi, Mas berhenti kerjanya." Bibirnya monyong lima senti."Ya kalau Mas engga kerja entar engga bisa ngasih nafkah dong sama kamu dan anak kita," ujarku dengan lembut.Ngadi-ngadi e
"Iya, Bu, Alhamdulillah hasil tespeknya positif, selamat ya." Suster itu tersenyum, aku langsung bengong, apa ini mimpi? Dulu burungku tidak mau bangun dan sekarang Gia hamil? Ini benar-benar kuasa Tuhan."Alhamdulillah.""Selamat ya, Gi."Mama terlihat heboh seperti biasa, sementara aku tak bisa berkata-kata. "Papa kamu harus tahu, Lan, akhirnya anak pertama mama yang sering di3jek bujang lapuk susah punya anak sekarang udah mau punya anak," ujar mama sambil mengguncang bahuku.Ini bersyukur kok sambil ngejek ya, maksudnya gimana sih?"Alan, kok lu diem aja sih?! Engga seneng punya anak?""Ya seneng, Ma."*Dua hari pulang dari rumah sakit Mama langsung membawa Gia ke dokter kandungan padahal aku belum gajian."Nggak apa-apa pakai duit Mama aja tapi jangan lupa nanti kamu ganti," ujar mama, engga enak banget ujungnya ngutangin."Ini kan buat cucu tapi harus diganti segala perhitungan amat sih katanya senang mau punya cucu.""Ya kalau ini beda lagi, kan masih dalam perut gimana sih