MENIKAH DENGAN BO-CAH 4
(POV GIA)
Beberapa bulan setelah aku menerima ijazah sekolah menengah pertama, Emak dan bapak menyuruhku bicara pada Rudi untuk melamarku.
Emak menyangka selama ini aku dan Rudi memiliki hubungan spesial, nyatanya kami hanya berteman biasa, memang ada rasa cinta untuknya. Akan tetapi, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
Rudi meneruskan kuliah di luar kota, hingga kami tak saling sapa karena ponselku rusak, untuk keperluan darurat aku biasa nebeng pakai ponsel adikku.
"Kalau Rudi ga bisa nikahin kamu maka kamu harus nikah sama temen Emak, dia orang kota, punya kerjaan udah mapan, dan masih bujang pula," ucap Emak malam itu
Di kampungku tak ada anak gadis di usia delapan belas tahun, sebelum menginjak usia itu kami sudah dinikahkan, entah karena perjodohan ataupun menikah dengan kekasih impian.
Akhirnya mau tak mau aku nurut perkataan emak, pemuda kota itu datang ke kampungku, orangnya tinggi semampai, kulitnya sawo matang, dengan mata tajam dan hidung yang tegak.
Malam itu aku yang memakai rok dan tunik dipadukan dengan hijab segi empat tersenyum di pojokan dekat emak.
Saat itu Mas Alan terlihat dingin dan cuek, ia tak pernah membalas senyumku, bahkan seperti berpaling menghindar.
Bukan malah sakit hati aku malah tertantang untuk menaklukannya, beruntung wajahnya tampan walau beda jauh dengan Shah Rukh Khan.
"Neng Gia, Alan ini umurnya sudah tiga puluh lima tahun, apa Eneng mau jadi istrinya," ucap mama mertua.
Mulutku langsung menganga, kukira usia si tampan ini tak setua itu, jelas aku terkejut mendengarnya.
Aku memandang Mas Alan tak percaya, sedangkan lelaki itu malah melihat ke atas dan ke bawah, sepertinya ia salah tingkah.
Tak lama ia mengusap wajah lalu menengadah, wajah tampan itu seketika merenggut.
"Om Tante ada tissue ga?" tanya Alan sambil mengusap-usap pipinya.
"Adanya sapu tangan, nih pakai aja bersih kok." Emak menyerahkan sapu tangan yang sering kugunakan.
Aku meringis, padahal sapu tangan itu bekas membersihkan tanganku usai makan tadi, duh Gusti aku jadi merasa berdosa, mau ngomong juga udah telat.
"Pipinya kenapa Nak Alan?" tanya bapak, kami semua menoleh padanya
"Kejatuhan kotoran cicak, Om," jawabnya sambil meringis karena jijik
Aku menahan tawa kuat-kuat, jangan sampai ngakak di depannya, bisa-bisa acara lamaran ini gagal, dan emak akan malu oleh tetangga.
"Hah kotoran cicak." Mama mertua terlihat panik, sedangkan papa mertua malah menyeringai tipis sambil menundukkan wajah.
"Aduh, maaf ya Nak Alan, itu cicaknya ga sopan,ga pernah makan bangku sekolahan, berak malah di muka orang," celetuk Emak.
Mas Alan masih sibuk mengusap pipinya dengan sapu tangan bekasku itu.
"Lagian kamu sih ngapain coba tengok-tengok ke atas," sahut mama mertua menyalahkan.
Tuhan, aku tak tahan ingin ngakak sepuasnya.
"Kamu bersihin sana ke kamar mandi." Mama mertua menatap emak.
"Narsih, numpang ke kamar kecil ya."
"Ah boleh boleh di belakang belok kiri ya," jawab emak.
Mas Alan pun angkat kaki ke belakang, lalu ia kembali duduk bersama kami.
"Duh maaf ya Ela, rumahku udah tua jadi banyak cicak," ucap Emak sambil memandang mama mertua.
"Ga apa-apa, santai aja 'kan udah dibersihin." Mama mertua tersenyum.
Syukurlah keluarga Mas Alan tak jij1k, dan terlihat masih nyaman di rumah kami.
"Jadi gimana Neng Gia mau 'kan jadi mantu Mama?" tanya mama lagi.
Aku terharu belum nikah saja sudah menyebut dirinya mama, ia pasti baik tak jahat dan serakah seperti menanti di novel fiksi.
"Kalau Eneng sih mau, tapi Mas Alannya mau ga nikah sama perempuan kayak saya yang masih berumur delapan belas tahun."
Dan sekarang giliran Mas Alan yang menganga, lelaki itu menatapku tak percaya, entah apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas ia terkejut sama seperti aku tadi terkejut ketika mendengar usianya.
"Ya ga apa-apa, Mama juga dulu nikah umur segitu, emakmu juga 'kan? yang penting baik dan shalihah," sahut mama mertua.
"Tapi, Ma." Mas Alan melirik ibunya, dari tatapan wajah aku mengerti jika lelaki itu keberatan.
"Yang penting bisa bisa jadi istri shalihah, Alan." Mama mertua tersenyum meyakinkan putranya
"Kalau Masnya keberatan dan mau mundur gapapa saya terima kok," sahutku sambil tersenyum sungkan.
"Engga kok Neng Gia, Alan ga akan mundur, sudah saatnya dia menikah," jawab mama mertua.
"Iya 'kan Alan?" Ia menyenggol lengan putranya
Malam itu Mas Alan resmi melamarku, hanya saja waktu pernikahan belum ditentukan, dan aku juga melihat keraguan di matanya, mungkin faktor umur salah satu penyebabnya.
****
Setelah dua minggu keluarga Mas Alan kembali datang membawa tanggal pernikahan, sekaligus menyerahkan sebuah kalung emas sebagai hadiah lamaran untukku.
Kali ini wajah Mas Alan tak terlalu kaku, sesekali ia tersenyum padaku walau senyuman itu seolah dipaksaan, tak masalah suatu saat akan kubuat ia tergila-gila pada istrinya ini.
"Gia, kamu yakin mau nikah denganku? setelah menikah nanti kamu akan kehilangan masa depan, apa kamu ga akan menyesal?" tanya Mas Alan, ketika kami ngobrol di teras bertiga, adikku sedang jadi kambing conge di belakang.
"Ga kok, Mas 'kan Mas masa depanku." Aku tersenyum dan Mas Alan hanya manggut-manggut.
Setelah itu tak ada lagi komunikasi hingga proses pernikahan kami. Namun, yang membuatku sedih kenapa Rudi kembali di saat seminggu lagi pernikahanku hendak digelar?
Ia datang ke rumah bersama kedua orang tuannya, sejak ia masuk lelaki itu selalu mencari celah untuk bicara berdua denganku.
Hingga kesempatan itu datang saat aku keluar dari kamar mandi, karena sejak tadi kami dikelilingi banyak orang
"Gia," sapanya sambil tersenyum
"Kak Rudi." Aku pun membalas senyumannya.
"Gimana kabarmu?" Ada raut kesedihan di matanya yang agak sipit.
"Ya begini." Aku jadi serba salah, maklum rasa kagum dan entah rasa apa lagi masih tersisa di dalam sini.
"Selama ini aku selalu kirim pesan lewat messenger F4c3b00k, kenapa kamu ga pernah lihat?"
Aku tertegun sambil menatap matanya. "Pesan apa?"
"Aku yakin kalau kamu baca itu maka pernikahan ini ga bakal terjadi," ucapnya membuat mataku sedikit berkaca.
"Gia! Gia!" Emak memanggil dari arah depan.
Sedangkan Rudi bergegas pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
Aku berlari mencari Sinta--adikku--hendak meminjam ponselnya, karena aku belum memiliki uang untuk membeli ponsel baru.
Lalu membuka aplikasi F4c3b00k dan mengecek messenger, seketika air mataku luruh membaca pesan darinya satu persatu.
Namun, apalah daya masa depanku sudah di depan mata, sedangkan Rudi hanya masa lalu yang harus kutinggalkan.
****
Pernikahanku dan Mas Alan digelar dan di acara yang lumayan meriah itu aku tak melihat keberadaan Rudi sama sekali.
Usai pesta pernikahan berakhir Mas Alan membawaku ke rumahnya, karena kami tak mungkin menjalani malam pertama di rumah emak, rumah kami sempit dan selama ini aku satu kamar dengan kedua adikku.
Malam itu Mas Alan begitu dingin dan cuek, tapi aku tak ingin terlihat lemah dan pasrah begitu saja di hadapannya, aku memberanikan diri untuk agresif di hadapannya walau usahaku sia-sia.
"Del, Del, kenapa kamu gitu sih? kenapa ningalin aku?"
Aku mengerjap ketika tengah malam Mas Alan memanggil nama seseorang, terus kutatap lelaki yang sedang terbaring disampingku itu dengan heran.
"Del, Del."
Ia terus memanggil nama itu.
MENIKAH DENGAN BO-CAH 5(POV ALAN)Kutatap wanita yang telah melahirkanku itu dengan bengis."Ngapain sih, Ma?"Perempuan yang mengenakan daster bolong di bagian ketiaknya itu terkekeh menatap kami berdua yang sedang kikuk.Rasanya seperti digrebek warga, sumpah!"Mama salah masuk, maaf ya. Ayo lanjut lagi."Mama menutu pintu sambil nyengir.Aku mengacak rambut dengan kesal."Sabar, Mas, Mama cuma salah masuk kamar," tutur Gia Kalau begini aku jadi ingin pindah ke kamar depan!****Pagi ini aku sarapan sambil cemberut, beberapa kali mama berdehem pun tetap kuabaikan, entah dia keselek biji duren atau sengaja memancingku bicara."Alan, mumpung kamu masih libur ajakin Gia jalan-jalan sana," ucap ibu sambil naruh tumis kangkung ke piringku."Ga ada duit, gajian masih lama."Uang tabunganku memang habis separuh untuk biaya pernikahan kemarin, mana amplop hasil undangan dari para tamu dipegang mama semua."Nih." Mama menyerahkan lima lembar uang warna merah, senyumku seketika mengembang.E
MENIKAH DENGAN BOCAH 6Sepanjang motor melaju Gia duduk begitu jauh dari tubuhku, padahal tadi pas mau berangkat dia langsung nempel kayak perangko, sekarang aku tak ubahnya seperti tukang ojek."Mas aja gih yang ke dalam," ujar Gia saat melepas helm."Kamu marah? yang tadi itu bukan siapa-siapa aku, Gi." Aku terpaksa merayunya dulu.Entahlah aku risih saja melihatnya cemberut begitu, aku lebih suka Gia yang periang dan ceria."Mantan kamu?" tanya Gia tanpa menoleh ke arahku."Iya."Gia terlihat menghela napas."Kayaknya perempuan itu masih cinta sama Mas." Wajah Gia langsung tak bergairah.Sejujurnya bukan hanya dia, tapi aku pun sama masih mencintainya, hanya saja aku lebih memilih dewasa dan menerima kenyataan."Dia udah punya suami."Seketika senyum Gia mengembang."Oh udah nikah, kirain janda." Gia terkekeh."Dih." Aku langsung melongo, secepat itu mood Gia kembali?"Ya udah yuk masuk, aku pilihin kamu baju ya, tadi Mama ngasih duit," bisikku ke dekat telinganya.Wajah Gia makin
Suara pintu terdengar dibuka dari luar, duh gawat, Gia malah masuk ke kamar, padahal aku belum selesai bicara, Delia juga malah sibuk menangis bukan cepat bicara, dasar perempuan. "Lan, kamu marah sama siapa?" Ternyata mama yang masuk, malah tambah berabe kalau begini, matanya bisa mengeluarkan cahaya jika tahu aku telponan dengan Delia. "Emm ... Ini, Ma, temen kantorku, Mama keluar dulu aku lagi nelpon." "Emang temen kantormu ada yang namanya Dadang?" Mama menatap layar ponsel dan wajahku bergantian, entah kenapa perempuan satu ini bawaannya curiga terus. "Ya ada lah, Ma, udah sana sana keluar, ganggu aja ah.", "Oh berani kamu ya ngusir Mama, minta dikutuk hah?!" Aku menggaruk kepala yang tak gatal, menghadapi emak emak emang serba salah. "Ya udah kutuk aja, Ma, kutuk jadi orang kaya!" Mama hanya mendelik sambil mencebikkan mulutnya lalu keluar dan menutup pintu kamarku, tetapi entah kenapa perasaanku mengatakan jika mama belum pergi dan menguping pembicaraanku. Sengaja aku
"Gi, kamu marah? Udah dong jangan marah ya," ujarku dengan suara pelan, bisa gawat kalau sampai mama tahu masalah ini. Gia masih tetap diam, air yang dia minum sudah habis beberapa gelas, dia sudah seperti kesurupan ikan piranha, minum tiada henti seperti tidak merasa kembung di perutnya. "Aku nggak marah, Mas," ujarnya lagi dengan penuh penekanan. "Kalau enggak marah senyum dong kok ketus begitu." Bukan tersenyum dia malah melirikku dengan tajam, mataku sampai terpejam tak kuasa melihat nya. "Hemm." Gia tersenyum paksa sampai gigi putihnya terlihat, tetapi dari tatapan matanya sama sekali tidak terlihat ada ketulusan. Setelah itu dia kembali pergi menjauh, aku terus mengikutinya dari belakang, ternyata dia masuk ke kamar, saat aku akan masuk saat itu pula Gia menutup pintu, ah untung saja pintu tersebut tidak mengenai keningku. Aku memilih ke dapur saja, biarkan Gia menenangkan diri di kamar, nanti jika dia sudah meredam amarahnya aku akan minta maaf. "La
MENIKAH DENGAN BO-CAH 9(POV GIA)Menyebalkan sekali Mas Alan ini, mentang mentang usiaku masih muda dia bisa membohongi dan membodohiku begitu?Awalnya aku mengira nomor kontak yang bernama Dadang itu memang teman lelakinya, tetapi rupanya Tuhan menunjukkan sesuatu padaku.Siang itu ketika Mas Alan sedang mendengkur keras di siang bolong, tiba-tiba saja ponselnya berdering, kontak bernama Dadang terlihat meneleponnya tanpa berpikir panjang aku pun langsung mengangkat panggilan itu.Siapa sangka ternyata yang bicara di seberang sana adalah seorang perempuan, awalnya aku mengira perempuan tersebut istrinya Dadang.Aku pun langsung mematikan panggilan menyalin nomor kontak Dadang dan memperlihatkan Poto profil WhatsApp nya pada ibu."Ini mah nomor si Delia, Gi, kenapa emangnya?"Sejak saat itu hatiku begitu dongkol dan kesal, lalu sekarang Mas Alan malah telponan begitu lama dengan perempuan itu.Aku ingin sekali marah dan memperlihatkan rasa cemburu tetapi seketika langsung sadar aku i
MENIKAH DENGAN BO-CAH 10(POV ALAN)Buset, hampir saja jantungku lompat saat melihat Gia membuka matanya, udah lebih serem dari Suzana pas lagi melotot."Maaf, Gi, Mas tadi ... Anuu ... Ngigau, iya Mas Ngigau." Duh semoga aja nih bocah percaya."Masa sih, Mas?" Dih dia malah tersenyum genit, bangun lagi kan kuda lumpingku, ah elaah."Iya bener, udah tidur lagi, Mas ngantuk."Aku hendak membalikan badan, tetapi dia malah memegang leherku, yah dia mau ngapain nih, udah kayak vampir aja pegang pegang leher."Kenapa nggak dilanjutin, Mas?"Suaranya begitu halus dan menggoda, sebagai lelaki normal tentu saja aku langsung merinding mendengarnya, apalagi tangannya yang agak kasar itu terus memb3lai tengkukku, wah mulai lagi nih bo cah"Engga ah." Aku pura pura jual mahal padahal mau."Kenapa engga mau, yakin?"Dia mengedipkan matanya, membuat yang sudah tegang jadi makin tegang."Udah deh, Gi, nggak u
"Mas kenapa sih? Mangap mangap gitu?" Tanya Gia sambil mendekat.Sumpah, gue malu banget sama kakak ipar, kok gua bisa sekonyol itu ngasih tontonan gratis sama dia, aduh kalau dia ngira gua cowok c4b*l gimana coba, lebih parahnya kalau dia bilang mama, pasti dia ngomel sampe tahun depan.Ah elah, Alan Alan, lagian sih maen buka aja tuh kandang jadinya salah sasaran kan, duh kalau jadi cacing auto buat lobang paling dalam ini mah."Mas!"Bahuku terguncang karena kaget dengan gertakan Gia."Apaan sih ah, orang lagi panik.""Ya panik kenapa?""Engga, nggak apa apa kok."Yang bener aja masa iya aku harus cerita, kalau begini jadi malu keluar kamar, semoga aja kakak ipar ku itu amnesia mendadak, eh."Kamu mah belum pernah ngobrol ya sama Teh Sari?""Belum lah, Gi, kapan ngobrolnya coba, aneh kamu tuh ya." Aku langsung membuka lemari."Ini aku udah siapin, Mas, ngapain buka lemari."Melirik ke belaka
Aku langsung melirik ke belakang, betapa terkejutnya melihat Delia terjengkang menabrak kursi kursi para tamu, bahkan bajunya kotor terkena minimum, kirain tadi Gia yang jatuh."Alan!""Alan! Istrimu nih dorong aku!" Teriak Delia."Engga, Mas, aku nggak dorong kok, kaki Mbak Delia tadi yang menghalangi jalanku, dia terjatuh karena nggak sengaja badannya mau aku pegang.""Alah, dia bohong, Lan."Aduh, aku jadi bingung siapa yang bohong dan jujur masalah ini? Tapi kan dari tadi Delia buat gara gara terus, ini pasti dia yang mulai, tapi mungkin juga Gia yang mulai karena dia cemburu pada Delia, ah aku jadi pusing sendiri."Ya udah, kamu nggak apa apa kan, Del?""Sakit nih pinggangku, Lan." Dia dibangunkan orang orang sekitar."Nanti juga sembuh sendiri kok itu, kalau gitu aku makan dulu ya, Del. Yuk, Gi."Walaupun tak tega aku pun terpaksa mengacuhkan nya, bisa dianggap pebinor kalau aku terus terusan menolong Delia di depa
"Dipinjem .... Emak sama Uwa, Mas."Menghela napas sambil ngusap muka."Kamu pinjemin ke mereka semua?""Iya, soalnya Emak lagi butuh buat bayar orang yang kuli di sawah, nanti juga diganti katanya."Mama langsung melirikku, dia kalau dikasih pegangan uang kayaknya nggak bakalan bener, abis semua dipinjem keluarganya."Nah duit yang ini jangan kamu pinjemin lagi, itu buat bekel kamu, gajian Mas kan masih lama.""Iya, Mas."Duduk di kursi untuk meredakan rasa marah, bukan pelit tapi harusnya Gia mikir tuh duit jangan dipinjem semua, sekarang dia nggak punya duit sepeser pun emaknya malah seenaknya menghinaku.Pengen marah tapi ya udahlah bukan tipeku marah-marah sama istri."Maafin aku ya, Mas." Gia ngomong lagi, orang lagi kesel juga "Iya, terus itu duit kapan di balikinnya?" Tanyaku."Nanti kalau Emak sama Uwa udah punya uang, Mas, gitu katanya."Tuh kan nggak ada kepastian, yakin banget ini mah mereka pasti bakal susah ditagih nantinya.Satu jam kemudian mama mengajakku keluar dari
Ya Tuhan, bener udah keterlaluan ya tu nenek-nenek, gua bawa Gia kabur ke mana coba?"Alan, lu bawa Gia ke mana?! Jangan bikin gua malu ya!" Bentak Mama, sumpah aku stres banget."Ke rumah sakit, Ma, dia pendarahan gara-gara perutnya diurut tuh sama besan mama, untung aku bawa Gia tepat waktu coba kalau nggak.""Terus kenapa bisa mertua kamu bilang kamu bawa kabur Gia?""Aku ke rumah sakit malam saat mereka lagi tidur, emang dasar besan Mama aja yang lebay apa-apa berlebihan."Langsung masuk mobil dan merenung sejenak, kok gini amat ya hidupku, dulu dijodohin sekarang malah disuruh cerai, lawak banget.Mataku kembali fokus ke dalam rumah mak mertua, terdengar suara cekcok di dalam sana, pasti Mama ribut sama emaknya Gia. Aku kembali masuk ke dalam walaupun malu sama tetangga karena mereka tertuju pada kami"Kamu jangan nyalahin anakku terus, Narsih, dia udah berusaha maksimal jagain anakmu, obati anakmu, enak aja kamu ngomong ya." Itu suara mama.Padahal dulu mereka akrab sekali, kok
"Bentar deh, bentar." Kutahan tangan Gia yang hendak masuk ke dalam, sumpah aku takut banget dia kenapa-napa."Kenapa, Mas?" Dia malah terlihat santai."Itu di kain kamu ada darah, kamu kenapa sih?""Oh ini, ya biasa, Mas, namanya juga baru k3guguran.""Kita periksa lagi ya, kamu udah kontrol ke dokter belum?""Udah kok diurut sama paraji."Gia masuk ke dalam sementara aku melongo, ini anak kayaknya musti diselamatkan deh, pikirannya masih belum modern, gimana kalau dia kenapa-napa? Malah diurut lagi.Lalu aku masuk ke dalam walaupun tidak dipersilahkan, ada bapak mertua dia langsung tersenyum ramah."Alan, kapan nyampe?"Kami bersalaman meski tangan bapak mertuaku banyak tanah, habis dari kebun katanya "Baru aja, Pak, sehat?""Alhamdulillah.""Gini, Pak, saya mau bawa Gia pulang ya, masa kita suami istri jauh-jauhan, saya juga kerja ya enggak bisa tiap hari atau tiap Minggu jenguk Gia."Emak mertua yang sedang ngelap toples langsung melirikku, biarin dah dia marah juga aku nggak ped
Ah elah, tuh nenek-nenek bikin gue ribet aja, mana kerjaan lagi banyak, kemarin abis minta izin cuti, mana bisa gue minta izin pulang lagi, duh bikin dada gue nyap-nyap aja."Duh coba aja deh Mama cegah Gia gimana caranya, aku nggak bisa pulang lagi banyak kerjaan ini.""Ah elu gimana sih, mama udah coba tapi Narsih engga mau denger.""Ya udah aku mau ngomong sama Gia."Langsung mematikan panggilan dan menelpon Gia, ternyata dia menelpon sejak tadi, karena ponselku disenyapkan makanya tak terdengar, kebetulan saja barusan lihat ponsel pas lagi mama nelpon."Gi.""Iya, Mas, jam berapa pulang?""Nanti jam enam magrib, barusan mama telpon katanya kamu mau dibawa emak ke kampung?"Dia terdiam bikin aku jengkel."Jawab, Gi.""Iya, Mas.""Terus kamu mau?"Dia diam lagi, ini pasti dipelototin emaknya."Gi, kalau sudah menikah perempuan itu ya harus ikut dan nurut sama suami, Mas enggak izinin kamu ke mana-mana ya, kamu harus istirahat di rumah," ujarku agak tegas.Pikiran Gia masih kayak boc
Mereka berdua terkejut khususnya emak mertua, coba aku mau lihat, ngomong apa dia di depanku, apa berani ngomong kayak tadi?"Eh, Alan, bikin kaget aja." Dia malah senyum engga jelas, beraninya main belakang doang ternyata."BPJS kamu enggak aktif, Gi," ujarku menahan kesal.Emak mertua dan Gia kompak melirikku lagi. "Kok bisa nggak aktif?" Tanya mertuaku."Katanya nggak pernah dipakai.""Lah terus gimana? Berarti biaya rumah sakitnya kita bayar sendiri dong, duitku yang kemarin tinggal dikit lagi, Mas, cukup nggak ya kira-kira?" Tanya Gia."Loh, kenapa harus pakai duit kamu, Gi? Ya pakai duit Alan lah, terus tabungan kamu kenapa tinggal sedikit? Oh jadi pas kemarin masuk rumah sakit itu pakai duitmu ya? Bukan duit Alan?"Mak mertua memojokkanku, menyebalkan emang kalau hidup tak punya uang. "Iya?!" Mak mertua membentak Aku menghela nafas, jujur aja deh daripada bohong, dosaku udah banyak soalnya."Iya pakai duit Gia, soalnya aku nggak punya duit, Mak," jawabku dengan pasrah dan ra
"kok bisa pendarahan sih, Ma? Dia kecapean lagi?"Keinget Gia yang ngeyel dan keras kepala tidak mau istirahat maunya terus-terusan bekerja di rumah, awas aja kalau dia bandel."Kecapean sih enggak, Lan, udah deh kamu jangan banyak tanya, cepetan aja pulang sekarang.""Itu emak mertuaku masih ada?"Karena katanya hari ini dia mau pulang ke kampung. "Masih ada kebetulan mertuamu belum pulang ini."Hem kesempatan, Aku bakal pojokan emaknya Gia karena gelang yang dia berikan itu tidak bisa melindungi Gia sekaligus menyadarkan jika perbuatan tersebut merupakan dosa syirikAku harus mendapatkan tatapan sinis dari atasan ketika izin pulang tetapi bagaimana lagi istriku dalam keadaan darurat masa iya aku masih terus menerus bekerja. Tiba di rumah Gia sudah duduk di ruang tamu sementara mamah nunggu di teras. "Ayok cepetan bawa Gia ke mobil."Langsung berlari masuk ke dalam. "Gi, ayok Mas bantu naik ke mobil." Aku membantunya berdiri."Maafin aku ya, Mas, aku takut anak kita meninggal." D
Ada-ada aja ah, kalau begini aku bisa telat masuk kerja, engga balik pasti tuh mulut ngoceh-ngoceh sampe kuping panas, aku pun putar balik di sini."Maa!" Teriakku sambil masuk ke dalam. "DI kamar, Lan!"Gia terlihat meringis sambil memegangi perutnya, aku pun jadi ikut terkejut, takut bayi yang dikandungnya kenapa-napa. "Kenapa, Gi?""Sakit, Mas.""Duh gimana dong, Ma?""Ya bawa ke rumah sakit lah, malah nanya lagi kayak anak SD aja."Aku garuk-garuk kepala, engga punya duit, mana Gia engga punya asuransi lagi, pinjem Ama siapa kalau begini "Kok lu bengong sih, Lan!" Mama menepuk bahuku, mana sakit banget."Nggak punya duit, Ma, gimana dong?""Ya elah, gua juga sama sih," jawab mama."Pake uang aku aja, Mas, ada di dompet warna merah di lemari itu." Merasa engga enak masa iya harus ngandelin istri, laki macam apa coba aku ini."Cepetan lu ambil pake bengong lagi." "Iya iya."Lemari baju kubuka, ada dompet merah terselip di antara pakaiannya aku pun membuka dompet merah yang beru
"Apa ini bawaan orok?" Tanyaku. Karena biasanya Gia tak pernah minta aneh-aneh, paling minta jajan seblak, bakso dan cimol, makanan yang menurutku aneh itu."Pokoknya Mas enggak boleh ketemu Delia lagi." Dia merajuk kayak anak b0cah."Lah, kemarin kamu loh yang nolongin dia pas kecelakaan? Lupa? Udah deh, Gi, jangan kayak anak kecil gini ya."Dia langsung berdiri dan sepertinya hendak marah, aku jadi terkejut, nih anak kesurupan nyai Roro kidul apa ya."Oh begitu ya, aku emang anak kecil, jadi Mas nyesel udah nikah sama aku hah?"Lah, nih bocah malah marah, siapa juga yang bilang nyesel, perlu dirukiah ini mah."Engga kok, Mas engga nyesel, udah jangan marah-marah terus nanti bayinya cengeng loh."Aku duduk disampingnya, ribet amat buat perkara sama ibu hamil."Ya udah kalau gitu jangan deket-deket Delia lagi, Mas berhenti kerjanya." Bibirnya monyong lima senti."Ya kalau Mas engga kerja entar engga bisa ngasih nafkah dong sama kamu dan anak kita," ujarku dengan lembut.Ngadi-ngadi e
"Iya, Bu, Alhamdulillah hasil tespeknya positif, selamat ya." Suster itu tersenyum, aku langsung bengong, apa ini mimpi? Dulu burungku tidak mau bangun dan sekarang Gia hamil? Ini benar-benar kuasa Tuhan."Alhamdulillah.""Selamat ya, Gi."Mama terlihat heboh seperti biasa, sementara aku tak bisa berkata-kata. "Papa kamu harus tahu, Lan, akhirnya anak pertama mama yang sering di3jek bujang lapuk susah punya anak sekarang udah mau punya anak," ujar mama sambil mengguncang bahuku.Ini bersyukur kok sambil ngejek ya, maksudnya gimana sih?"Alan, kok lu diem aja sih?! Engga seneng punya anak?""Ya seneng, Ma."*Dua hari pulang dari rumah sakit Mama langsung membawa Gia ke dokter kandungan padahal aku belum gajian."Nggak apa-apa pakai duit Mama aja tapi jangan lupa nanti kamu ganti," ujar mama, engga enak banget ujungnya ngutangin."Ini kan buat cucu tapi harus diganti segala perhitungan amat sih katanya senang mau punya cucu.""Ya kalau ini beda lagi, kan masih dalam perut gimana sih