"Ayo pulang!" ajak Cintya, karena hari sudah mulai gelap. Umi Khofsoh masih saja kepikiran Bara. Harus dengan cara apalagi, menasihatinya. Dengan lemah lembut dan mendiamkannya sudah pernah, tapi tetap saja Bara tidak berubah. Dia benar-benar takut kehilangan Cintya. Kalau benar sampai Cintya menggugat cerai, otomatis dia akan berjauhan dengan cucu semata wayang..Umi Khofsoh memijit pelipis, yang tiba-tiba terasa pening. Cintya masih membayar makanan mereka. "Kenapa, Umi?" tanya mbah Yah, karena umi tak kunjung beranjak. "Pusing kepala saya." "Mari saya bantu berdiri!" Mbah Yah memang tak perlu diragukan lagi. Dia bukan hanya pembantu, tapi juga bisa menjadi teman umi. Mereka berjalan terlebih dahulu ke mobil. Sepertinya Cintya sedang menunggu kembalian. Setelah menerima kembalian, Cintya segera memasukkan ke dalam tas. "Kok tiba-tiba gerimis?" gumam Cintya sambil berlari kecil. "Sepertinya mau hujan, Bu," ujar mbah Yah, sambil menutupi kepalanya dengan tas. "Iya, kenapa juga
Cintya mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf. Setelah tamunya pulang, Cintya dan umi menangis tersedu. Mbah Yah yang mendengar ada keributan di luar, segera menghampiri. Dia kebingungan, melihat umi dan juga Cintya sama-sama menangis. "Umi, ada apa?" tanyanya bingung. "Bara ... dia kecelakaan," jawab umi terbata."Ya Allah," pekik mbah Yah sambil membekap mulutnya. Cintya kembali berpikir keras. Tidak ada gunanya hanya menangis di sini. Dia harus segera bertindak. Diputuskan, dia akan ke rumah sakit saat ini juga. "Mbah, temani umi, ya! Aku mau memastikan ke rumah sakit." "Umi ikut, Nduk!" sela umi tak mau. "Kita sama-sama, saja, Bu!" usul mbah Yah. Dia juga penasaran, bagaimana kondisi Bara. "Baiklah." Akhirnya, Cintya memutuskan kalau mereka bertiga pergi. Sebenarnya dia bisa meminta info keadaan Bara kepada Mela. Namun, karena sudah malam, dia urungkan. "Siap-siap, dulu!" Cintya segera ke atas, berganti baju dan memakai jilbab. Dia sudah tidak berpikir untuk dand
Umi Khofsoh mendekati anaknya, yang sudah selesai dirawat. Dia membelai rambut Bara dengan sangat hati-hati. Lagi, Cintya meneteskan air mata. Bukan karena sedih melihat keadaan suaminya. Bahkan, mungkin luka yang dialami Bara, tak sebanding luka yang tergores di hatinya. Cintya kembali dipanggil untuk melengkapi berkas. Itu membuatnya lebih baik, daripada harus menunggui Bara yang sedang mengharapkan istri mudanya. "Apa ada pasien atas nama Aisya?" tanyanya pada petugas. "Kedua korban bersisian, Bu."Cintya mengangguk paham. Setelah administrasi selesai, selang beberapa menit, Cintya kembali memastikan keberadaan Aisya. Dia menyibak tirai di samping Bara. Reflek, ia membekap mulut. Kondisi Aisya tak kalah mengenaskan. Bahkan bisa dibilang, lebih parah daripada Bara. Dokter menjelaskan, kalau Aisya harus segera menjalani operasi, karena lukanya cukup serius. Hatinya kembali berdesir, kala harus menandatangani persetujuan operasi madunya. Setelah perawatan pertama selesai, Bara di
"Permisi."Umi Khofsoh mendorong pintu. Ia melongok ke dalam. Ada seorang perawat yang sedang berjaga di kamar Aisya. Dalam hati, ia terenyuh dengan sikap Cintya. Dia tak membiarkan begitu saja madunya. Terbukti, dia menyewa seorang perawat untuk menjaga Aisya. "Saya mertuanya," jelas umi, sebelum ditanya lebih banyak. Dia mendekati brankar. Mata Aisya terpejam rapat. Hidungnya terdapat selang, untuk membantu pernafasan. Punggung tangannya juga tertusuk jarum infus. Kepalanya terbungkus perban. "Bagaimana kondisi menantu saya?" tanya umi dengan gemetar. Dia tak menyangka, akan dihadapkan dengan kondisi seperti ini. "Pasien belum siuman. Sepertinya lukanya cukup parah. Untuk lebih jelasnya, nanti bisa ditanyakan pada dokter yang menanganinya, karena di sini saya hanya bertugas menjaga," ujar perawat yang tersemat nama Novi dalam bajunya. Umi mengangguk paham. Dia menggeser kursi, lalu duduk di samping Aisya. Dia sempat menyesal, karena pernah membuat Aisya sakit hati. Namun ia pun
Cintya memperhatikan kamar Aisya. Ada rasa iba menyeruak di dalam hatinya. Namun, saat teringat kalau yang terbaring di kamar itu madunya, rasa itu memudar. "Sudah malam, umi mau tidur dulu." "Nggih, Mi."Umi berjalan meninggalkan Cintya. Dia pikir, umi akan masuk kamar Bara, tapi salah. Umi memilih tidur di kamar Aisya. KrukPerut yang belum terisi sejak tadi sore, sekarang meminta haknya. Di dalam, hanya ada kue dan buah-buahan. Dia menengok ke beberapa lorong yang mulai sepi. Ia ragu hendak mencari makanan keluar. Namun, rasa lapar, berhasil mengalahkan ketakutannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan di luar. Ia terus berjalan, menyusuri lorong yang tampak lebih menyeramkan di malam hari. Cintya sengaja mempercepat langkah, agar segera sampai di depan. Dengan dada kembang-kempis, akhirnya Cintya bisa sampai di pintu keluar. Dia segera menuju jalan raya, lalu menyeberang. Banyak warung makan yang masih buka hingga larut malam. Dia mengedarkan pandangan, mencari makan
Cintya pura-pura tak mendengar permintaan maaf Bara. Dengan begitu, hatinya tidak akan terlalu sakit. Dia memilih untuk memejamkan mata, daripada harus menanggapi Bara. Tangan suaminya terus membelai perut yang terdapat janin di dalamnya, sampai Cintya benar-benar tertidur. Brak!Cintya dan Bara terlonjak kaget. Bahkan, Cintya sampai menekan dada, agar detak jantungnya kembali berdetak normal. "Cintya, cepat ikut umi!" Umi berbicara dengan nafas kembang-kempis. "Ada apa, Mi?" tanya Bara dengan suara parau. Tanpa menjawab Bara, umi segera menarik tangan Cintya paksa. Cintya mencoba mengimbangi langkah umi. "Ada apa, Mi?" Cintya tak kalah penasaran. Umi menutup pintu dari luar, lalu mengajaknya memasuki kamar Aisya. "Umi, sebenarnya ada apa?" Cintya ikut panik, apalagi umi tetap bungkam. Cintya bertambah kaget, karena beberapa dokter datang dengan terburu-buru. "Mohon ditunggu di luar dulu, Bu! Kami akan mencoba melakukan yang terbaik!" seru salah satu perawat, sambil mengantar
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Bara tak sabar. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik. Sekarang, hanya keajaiban Tuhan yang berperan," ujar dokter, memberi secercah harapan bagi mereka. Tanpa disuruh lagi, Cintya segera membawa Bara memasuki kamar istri keduanya, disusul umi dan ibunya Aisya. Mereka bertiga menangis sesenggukan. Terlebih, Bara yang merasa sangat bersalah, karena telah membuat istrinya terbaring tak sadarkan diri. Cintya paham, dia mendekatkan kursi roda ke samping ranjang Aisya. Dia sudah menguatkan hati, melihat suaminya menciumi tangan Aisya. Tak ada rasa cemburu. Yang ada sekarang hanya rasa iba. "Aisya, bangun, Nak! Ibu di sini!" Suara ibunya terdengar pilu, membuat siapa saja yang mendengar ikut merasakan kesedihan. "Maafkan aku, Aisya!" Bara tak kalah terpukul. "Kita do'akan, agar Aisya cepat sadar!" nasihat umi mencoba terlihat baik-baik saja. Padahal, hatinya sama-sama remuk. Jika sudah begini, ia merasa bersalah, karena pernah tak menganggap
"Aisyaaa ...." Cintya terbangun dengan keringat bercucuran. Posisinya langsung duduk dengan nafas kembang kempis. "Kenapa, Nduk? Dari tadi Kamu manggil Aisya?" tanya umi penasaran. Pasalnya, dari tadi ia membangunkan Cintya, tapi tetap saja ia berteriak memanggil Aisya. Umi Khofsoh lantas mengambil segelas air mineral, lalu memberikan kepada Cintya. Tenggorokan Cintya terasa kering setelah lelah berteriak. Ia menenggak habis segelas air yang umi berikan. "Lagi?" tanya umi, karena Cintya masih terlihat kehausan. Cintya hanya menggeleng. "Jadi, tadi hanya mimpi?" gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Kamu mimpi buruk?" desak umi.Cintya masih ragu. Kejadian yang baru saja ia alami seperti nyata. Umi Khofsoh sibuk menenangkan Cintya yang sedang cemas berlebihan. "Apa Aisya sudah bisa berjalan, Mi?" tanya memastikan, seolah tak percaya.Umi menggeleng lemah. Jangankan berjalan, membuka mata saja dia belum sanggup. "Aku melihatnya ia berjalan, Mi. Lalu ... lalu dia pe
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.