Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Langitpun berubah menjadi gelap. Nan jauh di sana, lautan juga mulai tak kelihatan. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari masjid di kampung sebelah. Cintya lantas mengajak umi masuk. "Kita sholat berjama'ah, Nduk!" ajak umi Khofsoh, agar hati Cintya menjadi tenang. Mereka berdua bergantian mengambil air wudhu. Setelah itu, Cintya menggelar dua sajadah. Umi yang bertindak sebagai imam. "Umi mau makan apa?" tanya Cintya sambil melipat mukena. "Terserah Kamu saja!" Cintya lantas mengambil ponselnya. Dia lupa, ternyata dari tadi ponselnya mati. Itu karena dia merasa kesal kepada Bara, karena tak memberinya kabar. "Lupa kalau tadi ponselku mati, Mi," ujar Cintya sambil menunggu layar benda pipihnya menyala. Umi berjalan ke teras. Dia memperhatikan sekeliling, yang tampak sunyi. Hanya deburan ombak yang terdengar. Suasana sungguh syahdu. Cocok sekali, bagi orang yang ingin meninggalkan hiruk pikuk kota. Dalam hati, ia kagum pada Cintya dan Bara
"Bangun, Nduk!" Umi Khofsoh membangunkan Cintya yang sedang tidur pulas. Sebenarnya ia tak tega, tapi karena matahari hampir terbit, mau tak mau Cintya harus bangun. "Sholat Subuh dulu, Nduk." Umi Khofsoh melipat mukena dan sajadah yang baru saja digunakan. Setelah mengenakan kerudung, umi berjalan keluar. Mendengar umi membuka pintu, Cintya mengulet. Matanya masih berat, untuk dibuka. Dia duduk di tepi ranjang, dengan mata masih terpejam. Hampir lima menit, dalam posisi seperti itu, akhirnya Cintya memaksa membuka matanya. Dia berjalan mendekati meja rias. Betapa kaget, ternyata matanya begitu bengkak. Pasti karena dia menangis terlalu lama semalam. Namun setidaknya, hatinya merasa lega. Cintya bergegas mandi, agar umi tidak melihat mata bengkaknya. Lama sekali ia berada dalam guyuran shower. Setelah memastikan bengkaknya berkurang, dia segera membalut tubuhnya dengan handuk. Cintya segera mengenakan pakaian dan melakukan kewajibannya. Buru-buru ia memoles tipis wajahnya dan me
Akhir-akhir ini, Bara lebih sering menghabiskan waktu bersama Aisya. Lambat laun, Cintya terbiasa tanpa kehadirannya. Seminggu sekali, dia pulang menemui istri pertamanya. Itupun tak lama. Pernah umi menasihatinya, agar bisa membagi waktu dengan adil, tapi sepertinya Bara abai. "Nduk, lagi apa?" Umi Khofsoh mengagetkan Cintya yang tengah melamun, di atas ayunan. Bahkan, Cintya sampai menjingkat, karena saking kagetnya. "Cari udara segar, Mi," sahutnya sambil menurunkan kaki. Umi lantas duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. "Umi sudah menghitung, acara empat bulananmu. Mau dibuat acara apa?"Cintya diam. Dia mengusap perutnya yang mulai membuncit. Bayi di dalam perutnya tidak bersalah. Dia berhak mendapatkan kasih sayang darinya. "Buat acara di pesantren khusus anak yatim piatu saja, Mi. Mereka lebih membutuhkan," ujar Cintya. Dia teringat akan ustadz yang ia datangi lalu. Di pesantren itu, ada ratusan anak yang kurang beruntung. "Boleh, biar dapat berkah." Umi Khofsoh mengangguk
Umi Khofsoh dan mbah Yah saling berpandangan. Dalam hati, mereka berdua menyesalkan tindakan Bara. Seharusnya ini momen yang ditunggu-tunggu setelah sekian tahun lamanya. Cintya melirik jam tangannya. Acara akan diadakan jam empat. Masih ada waktu setengah jam lagi. "Kita berangkat sekarang saja. Lebih baik menunggu, daripada ditunggu," usul Cintya. Dia yang terbiasa tepat waktu, tak mau membuat orang lain menunggu. "Kamu bisa bawa mobil sendiri?" Umi Khofsoh tampak khawatir. Biar bagaimanapun, dia tak ingin Cintya kenapa-kenapa. "Bisa, Mi." Mereka bertiga berjalan keluar. Cintya lantas menuju garasi, di mana mobilnya terparkir. Setelah semua keluar, mbah Yah segera mengunci pintu. Mbah Yah dan umi menunggu Cintya yang masih memanaskan mesin mobil. Setelah mobil siap, dia menyuruh umi dan mbah Yah segera naik. "Hati-hati, Nduk!" pesan umi, saat Cintya mulai menginjak pedal gas. "Nggih, Mi." Sebenarnya, tanpa disuruh pun, Cintya akan hati-hati. Tak mungkin ia membahayakan nyawa
Cintya buru-buru mengusap ujung netranya dengan tangan. Dia tak mau terlihat cengeng di hadapan anak-anak yang tengah berbahagia. Cintya mengelus kepala anak perempuan, yang ditaksir berusia empat tahunan. Senyumnya lebar, memperlihatkan barisan giginya yang ompong. Hatinya terenyuh, melihat pemandangan yang menampar jiwanya. Kurang bersyukur apa dia selama ini? Hanya karena belum diberi momongan, dia sempat marah pada Tuhan. Dia merasa hidupnya paling menyedihkan. Padahal, masih banyak orang yang bernasin kurang beruntung daripada dirinya. Acara ditutup dengan do'a, agar janin yang dikandungnya diberi keselamatan sampai tiba waktunya melihat dunia. "Aamiin," ucap mereka serempak, mengaminkan do'a dari sang ustadz, yang dulu pernah ia temui. Setelah acara selesai, santri yang sudah besar membagikan nasi kotak dan juga kue. Wajah penuh tawa itu kembali menarik perhatian Cintya. Hanya dengan nasi kotak dan juga kue, mereka dengan tulus mendo'akan orang yang tidak dikenalnya. "Alhamd
"Ayo pulang!" ajak Cintya, karena hari sudah mulai gelap. Umi Khofsoh masih saja kepikiran Bara. Harus dengan cara apalagi, menasihatinya. Dengan lemah lembut dan mendiamkannya sudah pernah, tapi tetap saja Bara tidak berubah. Dia benar-benar takut kehilangan Cintya. Kalau benar sampai Cintya menggugat cerai, otomatis dia akan berjauhan dengan cucu semata wayang..Umi Khofsoh memijit pelipis, yang tiba-tiba terasa pening. Cintya masih membayar makanan mereka. "Kenapa, Umi?" tanya mbah Yah, karena umi tak kunjung beranjak. "Pusing kepala saya." "Mari saya bantu berdiri!" Mbah Yah memang tak perlu diragukan lagi. Dia bukan hanya pembantu, tapi juga bisa menjadi teman umi. Mereka berjalan terlebih dahulu ke mobil. Sepertinya Cintya sedang menunggu kembalian. Setelah menerima kembalian, Cintya segera memasukkan ke dalam tas. "Kok tiba-tiba gerimis?" gumam Cintya sambil berlari kecil. "Sepertinya mau hujan, Bu," ujar mbah Yah, sambil menutupi kepalanya dengan tas. "Iya, kenapa juga
Cintya mengucapkan terima kasih sekaligus minta maaf. Setelah tamunya pulang, Cintya dan umi menangis tersedu. Mbah Yah yang mendengar ada keributan di luar, segera menghampiri. Dia kebingungan, melihat umi dan juga Cintya sama-sama menangis. "Umi, ada apa?" tanyanya bingung. "Bara ... dia kecelakaan," jawab umi terbata."Ya Allah," pekik mbah Yah sambil membekap mulutnya. Cintya kembali berpikir keras. Tidak ada gunanya hanya menangis di sini. Dia harus segera bertindak. Diputuskan, dia akan ke rumah sakit saat ini juga. "Mbah, temani umi, ya! Aku mau memastikan ke rumah sakit." "Umi ikut, Nduk!" sela umi tak mau. "Kita sama-sama, saja, Bu!" usul mbah Yah. Dia juga penasaran, bagaimana kondisi Bara. "Baiklah." Akhirnya, Cintya memutuskan kalau mereka bertiga pergi. Sebenarnya dia bisa meminta info keadaan Bara kepada Mela. Namun, karena sudah malam, dia urungkan. "Siap-siap, dulu!" Cintya segera ke atas, berganti baju dan memakai jilbab. Dia sudah tidak berpikir untuk dand