Bara mengedarkan pandangan, mencari mobil yang menjemputnya. Tidak banyak yang berubah dari bandara Juanda. Bedanya, dia pulang sendirian. Biasanya Cintya yang menemani selama perjalanan. Namun kini situasi berbalik. Tak lama, mobil travel yang dia pesan datang. Tanpa membawa barang, Bara langsung duduk di kursi depan. "Sendiri saja, Pak?" tanya sang sopir."Iya." Mobil mulai melaju meninggalkan bandara yang tak pernah sepi. Beda dengan di Tolitoli, yang penerbangannya tidak setiap hari. Mata Bara mulai mengantuk. Dia teramat lelah. Bukan fisiknya saja, tapi juga pikirannya. Perlahan, matanya mulai terpejam. Bara baru terbangun, saat dirasa mobil berhenti. Dia mengucek mata. "Sudah sampai mana, Pak?" tanya Bara sebelum sang sopir membuka pintu. "Masih di Jombang, Pak. Saya mau ke kamar mandi dulu." "Iya." Bara lalu mengeluarkan ponsel. Jam di ponselnya menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Tak lama, sopir sudah kembali. Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Jarak antara kota
Adzan Subuh membangunkannya. Padahal baru sebentar mata Bara terpejam. Badannya terasa pegal. Bara bergegas mengambil wudhu, lalu menuju masjid dekat rumahnya. Sepulangnya dari masjid, Bara menuju warung makan yang menjual nasi pecel. Menu favorit Cintya sudah tersedia, meskipun masih pagi. Dia memesan dua bungkus, lalu membawanya pulang. "Mas Bara, kapan datang?" sapa beberapa tetangga yang sedang jalan pagi. "Tadi malam, Mbah," jawabnya. Bara lalu berpamitan pulang duluan. Sesampainya di rumah, pak Bahri sudah menyapu halaman. Dedaunan mangga yang menguning, berserakan. "Sarapan dulu, Pak.""Iya."Bara meletakkan dua bungkus nasi di atas meja teras. Dia kembali menatap layar ponselnya. Cintya tak kunjung memberi kabar. Bara mencoba menelfon lewat aplikasi hijau. Masih sama, tidak ada jawaban. "Beli nasi di mana?" tanya pak Bahri sambil meletakkan sapu lidi di samping rumah. Setelah mencuci tangan, barulah dia duduk di kursi samping Bara. "Di warung biasa, Pak. Saya ambil send
Bara segera membuka lemari kaca di kamarnya. Tak banyak baju yang tersimpan. Hanya beberapa lembar bajunya dan Cintya. Dia segera mencari benda pipih milik istrinya. "Pantasan ditelfon enggak bisa, mati ternyata," ujar Bara setelah mengecek ponsel istrinya. Bara segera mengambil charger untuk mengisi daya. Dia bisa bernafas lega, setidaknya Cintya sudah aman. Bara segera mengambil handuk yang tersimpan di lemari. Tubuhnya terasa lengket, karena seharian kemarin tidak mandi. Dengan mengalungkan handuk di leher, Bara menuju kamar mandi. "Mau ke sawah, Pak?" tanyanya pada pak Bahri yang sudah siap dengan cangkulnya. Meskipun sudah tua, tapi semangat bertani mertuanya masih tinggi. Cintya dan Bara sudah melarangnya, tapi pak Bahri tetap bersikeras. "Iya, ada orang kerja cabut rumput." "Oh iya, Pak. Sekalian saya mau pamit jemput Cintya." Bara mengusap kepalanya yang masih basah. Sejenak, pak Bahri menatapnya tapi cepat-cepat mengalihkan pandangan. "Apa tidak capek, langsun
Bara tak sabar untuk segera berangkat. Dia lantas mencari mobil travel tercepat yang bisa membawanya menjemput Cintya. Mata Bara tertuju pada ponsel Cintya. Entah kenapa, keingininan untuk segera mengaktifkan ponsel istrinya begitu kuat. "Tumben Cintya ceroboh," lirik Bara sambil menekan tombol. Layar menyala. Bara mencoba mengutak-atik ponsel yang tak bersandi. Dibukanya pesan di aplikasi hijau. Bara penasaran, dengan siapa istrinya berhubungan. Namun kosong. Mungkin Cintya sengaja menghapusnya. "Aneh sekali. Apa mungkin Cintya sudah merencanakan sejak lama?" pikirnya. Bara masih dibuat penasaran. Dia membuka galeri foto, siapa tahu ada petunjuk penting. Mata Bara memicing. Galeri yang biasanya penuh dengan foto Cintya dan dirinya, kini tinggal beberapa. Bara terus menggerakan ibu jarinya, melihat satu persatu wajah istrinya. DegJantung Bara berdegub lebih kencang. Tak satupun fotonya bertengger di ponsel sang istri. Padahal dia sangat yakin, mereka sangat sering berfoto bers
Bara meregangkan tubuh yang kaku, karena terlalu lama duduk. "Sudah sampai mana?" tanyanya pada sopir. "Sudah mau masuk Genteng, Pak. Bapak Genteng mana?"Rupanya sudah hampir sampai. Bara mengubah posisi duduk menjadi tegap. "Pasar Genteng nanti belok kiri. Mampir ke toko kue dulu," ujar Bara. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, dia sampai juga. Bara mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Ada beberapa pesan dari Aisya. Bara menepuk jidat, karena lupa tak memberi kabar Aisya. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh Cintya, sehingga melupakan istri keduanya. Mobil belok kiri sesuai arahan Bara. Rumah ibunya sudah semakin dekat. Bayangan Cintya semakin nampak di pelupuk matanya. "Rumah cat hijau, Mas." Bara menunjuk sebuah rumah bercat hijau. Setelah mobil berhenti, Bara langsung turun. Bara sudah membayar waktu berhenti di POM bensin tadi. Jadi dia segera melenggang menuju rumah orang tuanya. Dia sudah tidak sabar menemui Cintya. Tok tok"Assalamualaikum."Bara berdiri gelisah, layak
"Cintya." Bara tak percaya, Cintya menolaknya. Namun dia tak menyerah. Direngkuhnya kembali Cintya. Kali ini, dia tak mau melepaskan Cintya. Hatinya dipenuhi kerinduan yang sangat. Dia tidak peduli Cintya yang terus meronta minta dilepaskan. "Kamu jahat." Cintya memukul punggung Bara. Bara hanya membiarkan Cintya menumpahkan kekesalannya. "Aku memang jahat. Maafkan aku," bisik Bara. "Lepaskan aku." Bukannya menuruti istrinya, Bara semakin mempererat pelukannya. Dia tak mau kehilangan Cintya lagi. Sekuat apapun Cintya meronta, tapi tenaga tetap kalah. Akhirnya dia lelah. Hanya tangisnya yang semakin keras. "Menangislah Sayang, kalau itu bisa membuatmu tenang." Bara mengusap kepala istrinya lembut. Diciumi puncak kepala Cintya dengan penuh kasih sayang. "Kenapa kamu meninggalkanku? Kamu tahu, aku begitu mengkhawatirkanmu," bisiknya semakin mempererat pelukan. Cintya tak menjawab. Dia masih tergugu. Kaos yang Bara kenakan sudah basah oleh air matanya. "Pergi kamu!" Cintya kemba
"Dulu kehidupan masih susah, waktu umi hamil dia, ngidam jarang keturutan. Dulu uang masih susah dicari." Umi Khofsoh bercerita sambil memperhatikan Bara makan. "Emang dulu Umi ngidam apa?" tanya Bara setelah menghabiskan segelas air. Cintya juga ikut antusias, menunggu kelanjutan cerita mertuanya. "Umi dulu ngidam buah Anggur merah. Waktu itu masmu juga masih kecil. Jangankan untuk beli anggur, makan saja susah waktu itu." Ingatan umi Khofsoh kembali ke masa lalu. Di mana dia harus menghidupi sendiri kedua anaknya, setelah ditinggal mati sang suami. Bara manjadi yatim saat usia belum setahun. Itulah sebabnya, Bara tak mengenal sosok bapaknya sama sekali. Namun umi Khofsoh mencoba tak mengeluh, semua sudah ketentuan dari yang di atas. Terbukti, sekarang Allah mengangkat derajatnya. Bara kecil sudah terbiasa hidup keras. Itulah semangatnya agar bisa sesukses sekarang. "Nanti kita belikan Anggur yang banyak, ya, Mi," hibur Cintya. Umi Khofsoh memandang raut muka Cintya yang selalu
Umi Khofsoh membantu menantunya berdiri. Dia begitu memperhatikan Cintya, sejak mengetahui kehamilannya. Umi Khofsoh seolah menjaga berlian mahal. "Oh iya, susunya diminum dulu, Nduk!" Umi Khofsoh menyodorkan segelas susu hamil rasa coklat. Melihat perhatian mertuanya yang begitu besar, sebenarnya Cintya tidak tega harus meembongkar rahasia Bara. Namun, dirinya sudah tidak kuat, harus pura-pura baik-baik saja selama ini. "Terima kasih, Mi. Lain kali biar aku yang bikin," ujar Cintya merasa tidak enak. Umi Khofsoh mengelus perut Cintya. "Sehat-sehat ya, Sayang!"Cintya lantas ke kamar disusul Bara. Seketika sikapnya kembali dingin kepada Bara. Dia langsung membaringkan badan. Ditariknya selimut hingga menutupi lehernya. Bara menarik selimut, lalu memeluk Cintya dari belakang. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. ***"Jadi bikin syukuran, Nduk?" tanya umi kepada Cintya. Mereka hendak sarapan bersama. Umi Khofsoh membuat urap daun Genjer serta lauk perkedel kentang, kesuka