Bara meregangkan tubuh yang kaku, karena terlalu lama duduk. "Sudah sampai mana?" tanyanya pada sopir. "Sudah mau masuk Genteng, Pak. Bapak Genteng mana?"Rupanya sudah hampir sampai. Bara mengubah posisi duduk menjadi tegap. "Pasar Genteng nanti belok kiri. Mampir ke toko kue dulu," ujar Bara. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, dia sampai juga. Bara mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Ada beberapa pesan dari Aisya. Bara menepuk jidat, karena lupa tak memberi kabar Aisya. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh Cintya, sehingga melupakan istri keduanya. Mobil belok kiri sesuai arahan Bara. Rumah ibunya sudah semakin dekat. Bayangan Cintya semakin nampak di pelupuk matanya. "Rumah cat hijau, Mas." Bara menunjuk sebuah rumah bercat hijau. Setelah mobil berhenti, Bara langsung turun. Bara sudah membayar waktu berhenti di POM bensin tadi. Jadi dia segera melenggang menuju rumah orang tuanya. Dia sudah tidak sabar menemui Cintya. Tok tok"Assalamualaikum."Bara berdiri gelisah, layak
"Cintya." Bara tak percaya, Cintya menolaknya. Namun dia tak menyerah. Direngkuhnya kembali Cintya. Kali ini, dia tak mau melepaskan Cintya. Hatinya dipenuhi kerinduan yang sangat. Dia tidak peduli Cintya yang terus meronta minta dilepaskan. "Kamu jahat." Cintya memukul punggung Bara. Bara hanya membiarkan Cintya menumpahkan kekesalannya. "Aku memang jahat. Maafkan aku," bisik Bara. "Lepaskan aku." Bukannya menuruti istrinya, Bara semakin mempererat pelukannya. Dia tak mau kehilangan Cintya lagi. Sekuat apapun Cintya meronta, tapi tenaga tetap kalah. Akhirnya dia lelah. Hanya tangisnya yang semakin keras. "Menangislah Sayang, kalau itu bisa membuatmu tenang." Bara mengusap kepala istrinya lembut. Diciumi puncak kepala Cintya dengan penuh kasih sayang. "Kenapa kamu meninggalkanku? Kamu tahu, aku begitu mengkhawatirkanmu," bisiknya semakin mempererat pelukan. Cintya tak menjawab. Dia masih tergugu. Kaos yang Bara kenakan sudah basah oleh air matanya. "Pergi kamu!" Cintya kemba
"Dulu kehidupan masih susah, waktu umi hamil dia, ngidam jarang keturutan. Dulu uang masih susah dicari." Umi Khofsoh bercerita sambil memperhatikan Bara makan. "Emang dulu Umi ngidam apa?" tanya Bara setelah menghabiskan segelas air. Cintya juga ikut antusias, menunggu kelanjutan cerita mertuanya. "Umi dulu ngidam buah Anggur merah. Waktu itu masmu juga masih kecil. Jangankan untuk beli anggur, makan saja susah waktu itu." Ingatan umi Khofsoh kembali ke masa lalu. Di mana dia harus menghidupi sendiri kedua anaknya, setelah ditinggal mati sang suami. Bara manjadi yatim saat usia belum setahun. Itulah sebabnya, Bara tak mengenal sosok bapaknya sama sekali. Namun umi Khofsoh mencoba tak mengeluh, semua sudah ketentuan dari yang di atas. Terbukti, sekarang Allah mengangkat derajatnya. Bara kecil sudah terbiasa hidup keras. Itulah semangatnya agar bisa sesukses sekarang. "Nanti kita belikan Anggur yang banyak, ya, Mi," hibur Cintya. Umi Khofsoh memandang raut muka Cintya yang selalu
Umi Khofsoh membantu menantunya berdiri. Dia begitu memperhatikan Cintya, sejak mengetahui kehamilannya. Umi Khofsoh seolah menjaga berlian mahal. "Oh iya, susunya diminum dulu, Nduk!" Umi Khofsoh menyodorkan segelas susu hamil rasa coklat. Melihat perhatian mertuanya yang begitu besar, sebenarnya Cintya tidak tega harus meembongkar rahasia Bara. Namun, dirinya sudah tidak kuat, harus pura-pura baik-baik saja selama ini. "Terima kasih, Mi. Lain kali biar aku yang bikin," ujar Cintya merasa tidak enak. Umi Khofsoh mengelus perut Cintya. "Sehat-sehat ya, Sayang!"Cintya lantas ke kamar disusul Bara. Seketika sikapnya kembali dingin kepada Bara. Dia langsung membaringkan badan. Ditariknya selimut hingga menutupi lehernya. Bara menarik selimut, lalu memeluk Cintya dari belakang. Cintya tak menolak, tapi juga tak merespon. ***"Jadi bikin syukuran, Nduk?" tanya umi kepada Cintya. Mereka hendak sarapan bersama. Umi Khofsoh membuat urap daun Genjer serta lauk perkedel kentang, kesuka
Di seberang sana, keringat dingin mulai membasahi kening Bara. Jantungnya berdegup lebih kencang. "Siapa Aisya, Mas?" pancing Cintya. Umi Khofsoh mengalihkan pandangan pasa anak lelakinya. Cintya juga melakukakan hal yang sama. "Aku atau kamu yang bilang?" tanya Cintya tak sabar, karena Bara tak kunjung angkat suara. Bara mengelap dahinya dengan tisu. Cintya benar-benar mengulitinya. Bara bahkan tak berkutik sama sekali. "Ini ada apa lagi? Jangan membuat umi semakin penasaran!" gerutu umi Khofsoh. Cintya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa semakin sesak, saat harus mengatakan yang sebenarnya. "Jadi mas Bara belum cerita masalah Aisya, Mi?" tanya Cintya sesantai mungkin. Justru sikap santainya semakin membuat Bara ketar-ketir. Umi Khofsoh menggeleng. "Lain kali aku cerita, Mi," celetuk Bara. Dia belum siap dimusuhi uminya sendiri. Uminya begitu sayang dengan Cintya. Apa responnya nanti, kalau tahu kebenaran tentang Aisya. "Kamu terlalu mengulur waktu, Mas. Lebih
Bara meraih tangan Cintya. Namun tak disangka, Cintya justru menarik tangannya. Dia berlalu, menghindar dari Bara. "Aku tidak menginginkan anak ini," ujar Cintya tegas.Bara menoleh tak percaya. Berharap dia salah dengar. Namun tidak, semuanya jelas. "Apa maksdumu?" Bara menatap lekat raut wajah Cintya. "Aku tidak menginginkan anak ini," jelas Cintya dengan tatapan kosong. Tidak ada aura kebahagiaan sama sekali di wajahnya. Bara menggeleng tak setuju. Dia sudah mendamba sekian lama. Kini, setelah malaikat itu bersemayam di rahim sang istru, justru Cintya menolak. "Jangan bercanda, Sayang." "Aku serius. Aku tak menginginkan anak ini. Andaikan aborsi tidak dosa, sudah kulakukan sejak awal," ujar Cintya santai seperti tidak ada beban.Reflek Bara mencekal tangan Cintya. "Jangan pernah bertindak bodoh, Cintya!" tegas Bara. Bukannya takut, Cintya justru tersenyum mengejek. "Aku tidak bodoh, hanya berpikir realistis. Buat apa aku punya anak, kalau nyatanya suamiku tetap berpaling
Bara selalu salah tingkah kalau Cintya menatapnya lama. Apalagi di hadapan uminya. "Nanti kita usahakan bulan depan pulang lagi, kalau banyak waktu, Mi," bujuk Cintya. "Iya, Mi. Syukurannya ditunda saja," imbuh Bara agak lega, karena Cintya juga mendukungnya. Umi Khofsoh terlihat kecewa. Namun sejurus kemudian, dia mengelus perut menantunya. "Dijaga baik-baik ya. Jangan sampai kelelahan!" Mah tak mau, dia harus merelakan menantu kesayangannya pergi. "Nggih Umi," jawab Cintya. Dia lantas menyandarkan kepalanya di bahu sang mertua. Bara mengutak-atik ponselnya. Dia mencari jadwal penerbangan tercepat hari ini. "Apa Umi ikut ke Tolitoli saja?" tanya Cintya. Bara yang semula menatap layar ponsel, langsung menoleh. "Umi sudah tua, nanti malah merepotkan. Lagipula, kalau kalian kerja, umi nanti kesepian," ujarnya sambil mengelus rambut hitam legam Cintya. Mereka tidak terlihat layaknya menantu dengan mertua. Cintya yang pandai mengambil hati mertuanya, membuat umi Khofsoh begitu
Berbeda dengan Cintya, justru Bara merasa khawatir. Mendadak dia menjadi salah tingkah. Dia harus mencari cara, agar uminya tidak jadi ikut. "Nanti Cintya ajak jalan-jalan, terus menginap di vila."Bara menelan saliva dengan susah payah. "Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Cintya karena Bara banyak bengong sejak umi bilang mau ikut. "Ah ... aku mendadak sakit kepala," ujar Bara. Kali ini dia tidak berbohong. Mendadak kepalanya menjadi sakit, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. "Aku pinjam ponselmu, buat pesan tiket. Yang tadi belum dibayar, kan?" Cintya menengadahkan tangan, meminta ponsel Bara. "Biar aku saja yang cari." Bara seolah berat, meminjamkan ponselnya pada Cintya. Alih-alih marah, Cintya justru tertawa dalam hati. Suaminya jelas sedang memikirkan cara untuk menggagalkan rencananya. Namun bukan Cintya, kalau harus menyerah begitu saja. "Ya sudah, aku mau bantu umi persiapan saja. Ayo Umi!" ajak Cintya. Umi Khofsoh menurut. Dia mengekor Cintya yang berjalan menuju k