Di seberang sana, keringat dingin mulai membasahi kening Bara. Jantungnya berdegup lebih kencang. "Siapa Aisya, Mas?" pancing Cintya. Umi Khofsoh mengalihkan pandangan pasa anak lelakinya. Cintya juga melakukakan hal yang sama. "Aku atau kamu yang bilang?" tanya Cintya tak sabar, karena Bara tak kunjung angkat suara. Bara mengelap dahinya dengan tisu. Cintya benar-benar mengulitinya. Bara bahkan tak berkutik sama sekali. "Ini ada apa lagi? Jangan membuat umi semakin penasaran!" gerutu umi Khofsoh. Cintya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa semakin sesak, saat harus mengatakan yang sebenarnya. "Jadi mas Bara belum cerita masalah Aisya, Mi?" tanya Cintya sesantai mungkin. Justru sikap santainya semakin membuat Bara ketar-ketir. Umi Khofsoh menggeleng. "Lain kali aku cerita, Mi," celetuk Bara. Dia belum siap dimusuhi uminya sendiri. Uminya begitu sayang dengan Cintya. Apa responnya nanti, kalau tahu kebenaran tentang Aisya. "Kamu terlalu mengulur waktu, Mas. Lebih
Bara meraih tangan Cintya. Namun tak disangka, Cintya justru menarik tangannya. Dia berlalu, menghindar dari Bara. "Aku tidak menginginkan anak ini," ujar Cintya tegas.Bara menoleh tak percaya. Berharap dia salah dengar. Namun tidak, semuanya jelas. "Apa maksdumu?" Bara menatap lekat raut wajah Cintya. "Aku tidak menginginkan anak ini," jelas Cintya dengan tatapan kosong. Tidak ada aura kebahagiaan sama sekali di wajahnya. Bara menggeleng tak setuju. Dia sudah mendamba sekian lama. Kini, setelah malaikat itu bersemayam di rahim sang istru, justru Cintya menolak. "Jangan bercanda, Sayang." "Aku serius. Aku tak menginginkan anak ini. Andaikan aborsi tidak dosa, sudah kulakukan sejak awal," ujar Cintya santai seperti tidak ada beban.Reflek Bara mencekal tangan Cintya. "Jangan pernah bertindak bodoh, Cintya!" tegas Bara. Bukannya takut, Cintya justru tersenyum mengejek. "Aku tidak bodoh, hanya berpikir realistis. Buat apa aku punya anak, kalau nyatanya suamiku tetap berpaling
Bara selalu salah tingkah kalau Cintya menatapnya lama. Apalagi di hadapan uminya. "Nanti kita usahakan bulan depan pulang lagi, kalau banyak waktu, Mi," bujuk Cintya. "Iya, Mi. Syukurannya ditunda saja," imbuh Bara agak lega, karena Cintya juga mendukungnya. Umi Khofsoh terlihat kecewa. Namun sejurus kemudian, dia mengelus perut menantunya. "Dijaga baik-baik ya. Jangan sampai kelelahan!" Mah tak mau, dia harus merelakan menantu kesayangannya pergi. "Nggih Umi," jawab Cintya. Dia lantas menyandarkan kepalanya di bahu sang mertua. Bara mengutak-atik ponselnya. Dia mencari jadwal penerbangan tercepat hari ini. "Apa Umi ikut ke Tolitoli saja?" tanya Cintya. Bara yang semula menatap layar ponsel, langsung menoleh. "Umi sudah tua, nanti malah merepotkan. Lagipula, kalau kalian kerja, umi nanti kesepian," ujarnya sambil mengelus rambut hitam legam Cintya. Mereka tidak terlihat layaknya menantu dengan mertua. Cintya yang pandai mengambil hati mertuanya, membuat umi Khofsoh begitu
Berbeda dengan Cintya, justru Bara merasa khawatir. Mendadak dia menjadi salah tingkah. Dia harus mencari cara, agar uminya tidak jadi ikut. "Nanti Cintya ajak jalan-jalan, terus menginap di vila."Bara menelan saliva dengan susah payah. "Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Cintya karena Bara banyak bengong sejak umi bilang mau ikut. "Ah ... aku mendadak sakit kepala," ujar Bara. Kali ini dia tidak berbohong. Mendadak kepalanya menjadi sakit, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. "Aku pinjam ponselmu, buat pesan tiket. Yang tadi belum dibayar, kan?" Cintya menengadahkan tangan, meminta ponsel Bara. "Biar aku saja yang cari." Bara seolah berat, meminjamkan ponselnya pada Cintya. Alih-alih marah, Cintya justru tertawa dalam hati. Suaminya jelas sedang memikirkan cara untuk menggagalkan rencananya. Namun bukan Cintya, kalau harus menyerah begitu saja. "Ya sudah, aku mau bantu umi persiapan saja. Ayo Umi!" ajak Cintya. Umi Khofsoh menurut. Dia mengekor Cintya yang berjalan menuju k
Bara mencoba meraih tangan Cintya, tapi gerakannya kalah cepat. Cintya justru mengibaskan tangannya. Cintya mengambil map dan memasukkan kembali hasil USG-nya. Diraihnya koper kecil di samping lemari. Dia menyimpan map di dalam koper. Lalu, Cintya membuka lemari. Dia memasukkan beberapa baju. "Aku janji, akan memperbaiki semuanya dari awal," ujar Bara sungguh-sungguh. Cintya tak menyahut. Dia masih sibuk memasukkan bajunya dengan kasar ke dalam koper. "Cintya." Bara menghampiri Cintya. Diangkatnya koper yang sudah penuh ke atas ranjang. "Jangan paksa aku mempercayai janji palsumu.""Tolonglah! Kali ini aku serius." Bara frustasi, karena Cintya masih saja susah diatur. "Jam berapa besok?" tanya Cintya dingin. Bara mengeluarkan ponselnya. Dia harus mencari jadwal penerbangan lagi. Tak mungkin dia mencegah umi untuk ikut. Lagipula, istrinya juga butuh bimbingan dari umi selama masa kehamilan. Lagi, terpaksa ia harus mengalah. "Jangan bilang Kamu belum memesannya?" tanya Cintya p
Umi Khofsoh mengedarkan pandangan, melihat hilir mudik manusia di bandara Juanda. Cintya terus memegang tangan mertuanya, agar tak kehilangan jejak. Mengingat, sang mertua jarang bepergian jauh. "Tangan Umi dingin sekali. Umi sakit?" tanya Cintya dengan wajah khawatir.Bara yang mendengar percakapan antara istri dan uminya ikut menyimak. Namun tatapannya tertuju pada layar benda pipih yang dipegangnya. "Sudah lama umi enggak naik pesawat. Agak takut saja."Cintya tersenyum mendengar jawaban mertuanya. "Diminum dulu, Umi." Cintya menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel. "Nanti saja. Takut beser," bisiknya ke telinga Cintya. Cintya hanya mengangguk seraya tersenyum. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku angkat telfon sebentar." Bara berdiri. Sepertinya hendak mengangkat telfon penting. Cintya bisa menerka siapa yang menelfon suaminya. Namun, lagi-lagi dia harus bersikap biasa di depan mertuanya. Umi dan Cintya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Umi bercerita
Cintya baru sadar, kalau pesawat akan mengudara, saat lengannya digenggam umi agak kuat. Cintya lantas mengelus punggung tangan sang mertua dengan lembut. Benar saja, perlahan genggaman itu mulai mengendur. Cintya berhasil, membuat uminya lebih tenang. "Umi tidur saja. Nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan," ujar Cintya. "Mau pakai jaket, Mi?" tawar Bara. Umi hanya menggeleng. Dia menurut. Perlahan ia memejamkan mata. Perjalanan antara Surabaya ke Makasar memakan waktu sekitar satu jam setengah. Setelah transit di bandara Sultan Hasanudin Makasar, barulah mereka melanjutkan perjalanan lagi ke Palu. "Sepertinya kita menginap dulu di Palu, karena penerbangan ke Tolitoli baru ada besok," ujar Bara. Penerbangan dari kota Palu ke Tolitoli memang tidak setiap hari ada. Hanya ada dua kali dalam seminggu. "Kita mendarat saja naik mobil," usul Cintya. Dia ingin segera sampai rumah. "Tidak. Kasihan umi dan juga Kamu. Lagipula, aku enggak mau terjadi apa-apa sama anak kita. Meskipun
"Sayang ...." Bara tak kalah panik. Dia bingung, apa yang telah terjadi pada Cintya. Perasaan, saat ditinggal istrinya masih baik-baik saja. Namun, saat mereka kembali, Cintya sudah menangis tersedu. Cintya langsung menghambur ke pelukan umi Khofsoh. Sang mertua yang tidak mengerti apa-apa juga bingung. "Ceritalah, Nduk. Ada apa?" tanyanya dengan sabar.Dia membelai lembut punggung sang menantu. Cintya bukan hanya seorang menantu. Bagi umi Khofsoh, dia sudah seperti anak kandung, yang setiap duka dan laranya umi Khofsoh ikut merasakan. Cintya masih saja tergugu. Bara melihat tangan Cintya, yang menggenggam ponselnya. Secara perlahan, dia mengambil benda pipihnya dari genggaman Cintya. Aisya. Bara melihat nama Aisya di urutan pertama, pesan di aplikasi hijau. Namun kosong. Tak ada pesan apa-apa dari Aisya. Lantas, apa yang membuat Cintya sampai menangis begitu? Setelah tangisnya mereda, Cintya melepaskan pelukannya pada umi Khofsoh. Dia mengelap pipinya yang basah dengan ujung jil