Berbeda dengan Cintya, justru Bara merasa khawatir. Mendadak dia menjadi salah tingkah. Dia harus mencari cara, agar uminya tidak jadi ikut. "Nanti Cintya ajak jalan-jalan, terus menginap di vila."Bara menelan saliva dengan susah payah. "Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Cintya karena Bara banyak bengong sejak umi bilang mau ikut. "Ah ... aku mendadak sakit kepala," ujar Bara. Kali ini dia tidak berbohong. Mendadak kepalanya menjadi sakit, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. "Aku pinjam ponselmu, buat pesan tiket. Yang tadi belum dibayar, kan?" Cintya menengadahkan tangan, meminta ponsel Bara. "Biar aku saja yang cari." Bara seolah berat, meminjamkan ponselnya pada Cintya. Alih-alih marah, Cintya justru tertawa dalam hati. Suaminya jelas sedang memikirkan cara untuk menggagalkan rencananya. Namun bukan Cintya, kalau harus menyerah begitu saja. "Ya sudah, aku mau bantu umi persiapan saja. Ayo Umi!" ajak Cintya. Umi Khofsoh menurut. Dia mengekor Cintya yang berjalan menuju k
Bara mencoba meraih tangan Cintya, tapi gerakannya kalah cepat. Cintya justru mengibaskan tangannya. Cintya mengambil map dan memasukkan kembali hasil USG-nya. Diraihnya koper kecil di samping lemari. Dia menyimpan map di dalam koper. Lalu, Cintya membuka lemari. Dia memasukkan beberapa baju. "Aku janji, akan memperbaiki semuanya dari awal," ujar Bara sungguh-sungguh. Cintya tak menyahut. Dia masih sibuk memasukkan bajunya dengan kasar ke dalam koper. "Cintya." Bara menghampiri Cintya. Diangkatnya koper yang sudah penuh ke atas ranjang. "Jangan paksa aku mempercayai janji palsumu.""Tolonglah! Kali ini aku serius." Bara frustasi, karena Cintya masih saja susah diatur. "Jam berapa besok?" tanya Cintya dingin. Bara mengeluarkan ponselnya. Dia harus mencari jadwal penerbangan lagi. Tak mungkin dia mencegah umi untuk ikut. Lagipula, istrinya juga butuh bimbingan dari umi selama masa kehamilan. Lagi, terpaksa ia harus mengalah. "Jangan bilang Kamu belum memesannya?" tanya Cintya p
Umi Khofsoh mengedarkan pandangan, melihat hilir mudik manusia di bandara Juanda. Cintya terus memegang tangan mertuanya, agar tak kehilangan jejak. Mengingat, sang mertua jarang bepergian jauh. "Tangan Umi dingin sekali. Umi sakit?" tanya Cintya dengan wajah khawatir.Bara yang mendengar percakapan antara istri dan uminya ikut menyimak. Namun tatapannya tertuju pada layar benda pipih yang dipegangnya. "Sudah lama umi enggak naik pesawat. Agak takut saja."Cintya tersenyum mendengar jawaban mertuanya. "Diminum dulu, Umi." Cintya menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel. "Nanti saja. Takut beser," bisiknya ke telinga Cintya. Cintya hanya mengangguk seraya tersenyum. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku angkat telfon sebentar." Bara berdiri. Sepertinya hendak mengangkat telfon penting. Cintya bisa menerka siapa yang menelfon suaminya. Namun, lagi-lagi dia harus bersikap biasa di depan mertuanya. Umi dan Cintya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Umi bercerita
Cintya baru sadar, kalau pesawat akan mengudara, saat lengannya digenggam umi agak kuat. Cintya lantas mengelus punggung tangan sang mertua dengan lembut. Benar saja, perlahan genggaman itu mulai mengendur. Cintya berhasil, membuat uminya lebih tenang. "Umi tidur saja. Nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan," ujar Cintya. "Mau pakai jaket, Mi?" tawar Bara. Umi hanya menggeleng. Dia menurut. Perlahan ia memejamkan mata. Perjalanan antara Surabaya ke Makasar memakan waktu sekitar satu jam setengah. Setelah transit di bandara Sultan Hasanudin Makasar, barulah mereka melanjutkan perjalanan lagi ke Palu. "Sepertinya kita menginap dulu di Palu, karena penerbangan ke Tolitoli baru ada besok," ujar Bara. Penerbangan dari kota Palu ke Tolitoli memang tidak setiap hari ada. Hanya ada dua kali dalam seminggu. "Kita mendarat saja naik mobil," usul Cintya. Dia ingin segera sampai rumah. "Tidak. Kasihan umi dan juga Kamu. Lagipula, aku enggak mau terjadi apa-apa sama anak kita. Meskipun
"Sayang ...." Bara tak kalah panik. Dia bingung, apa yang telah terjadi pada Cintya. Perasaan, saat ditinggal istrinya masih baik-baik saja. Namun, saat mereka kembali, Cintya sudah menangis tersedu. Cintya langsung menghambur ke pelukan umi Khofsoh. Sang mertua yang tidak mengerti apa-apa juga bingung. "Ceritalah, Nduk. Ada apa?" tanyanya dengan sabar.Dia membelai lembut punggung sang menantu. Cintya bukan hanya seorang menantu. Bagi umi Khofsoh, dia sudah seperti anak kandung, yang setiap duka dan laranya umi Khofsoh ikut merasakan. Cintya masih saja tergugu. Bara melihat tangan Cintya, yang menggenggam ponselnya. Secara perlahan, dia mengambil benda pipihnya dari genggaman Cintya. Aisya. Bara melihat nama Aisya di urutan pertama, pesan di aplikasi hijau. Namun kosong. Tak ada pesan apa-apa dari Aisya. Lantas, apa yang membuat Cintya sampai menangis begitu? Setelah tangisnya mereda, Cintya melepaskan pelukannya pada umi Khofsoh. Dia mengelap pipinya yang basah dengan ujung jil
"Umi duduk di tengah saja, ya. Di samping mas Bara. Katanya umi takut lihat bawah," ujar Cintya saat mereka hendak melanjutkan perjalanan ke kota Palu. Bara hanya menatap Cintya heran. Kelakuan Cintya semakin aneh, seolah dia ingin menghindar darinya. Untung saja umi menurut, tak banyak tanya. Sehingga mereka tak perlu menyiapkan jawaban palsu. Kali ini umi Khofsoh tak terlalu takut seperti tadi. Dia melakukan hal yang sama, saat penerbangan dari Surabaya ke Makasar. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Ketiganya mencoba memejamkan mata, sekedar untuk mengistirahatkan raga yang mulai lelah. Meskipun tidak benar-benar tidur, setidaknya mereka bisa mengistirahatkan jiwa dan raga yang lelah. "Saya agak pusing, Mi." Cintya menyandarkan kepalanya yang terasa berputar. "Bara, ini Cintya pusing lho," ujar umi Khofsoh panik. Bara langsung menoleh ke istrinya. Dia melihat Cintya bersandar dengan mata terpejam. "Sabar ya, sebentar lagi kita sampai. Mau dimintakan obat?" Cinty
Jantung Bara berdegup lebih kencang dari biasanya. Melihat uminya mendelik penuh selidik, nyali Bara menciut. "U ... Umi kok sudah di sini? Cintya mana?" gugupnya. Kentara sekali kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Umi tanya, Kamu telfonan sama siapa?" tekan umi Khofsoh. Nalurinya mengatakan, kalau sedang ada yang ditutup-tutupi oleh anaknya. "Teman, Mi.""Mana ada teman manggil sayang?"Bara menunduk. Dia tak berani menatap mata uminya. "Teman lama, Mi. Sudah lama enggak ketemu," alibinya. Umi Khofsoh menggeleng tak percaya. "Anak umi tidak pernah bisa berbohong," lirih uminya. Umi Khofsoh lantas duduk di kursi berbentuk kayu bulat. Bara menjadi salah tingkah. Memang benar, dia tak pernah bisa berbohong di depan uminya. Namun, dia juga tak mungkin berkata jujur. Setidaknya untuk sekarang. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bara bingung, harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara umi Khofsoh, sibuk menerka, dengan siapa putranya telfon. "Umi, s
Gema adzan Dhuhur menyambut kedatangan mereka di kota Cengkeh. Umi Khofsoh memperhatikan sekeliling bandara yang sepi. Hanya ada beberapa penumpang dan petugas yang berseliweran. "Kok sepi sekali?" tanya umi Khofsoh heran. Baru kali ini dia melihat bandara yang tak terlalu ramai. Tiga bandara yang dia lalui tak sesepi di sini. "Maklum Mi, ini kota kecil. Jadi, penerbangan tak seramai kota lain," jelas Bara. "Vilanya sudah dekat dari sini, di sebelah sana!" Cintya menunjuk arah utara. Umi Khofsoh mengikuti telunjuk Cintya, namun yang terlihat hanya pagar bandara. "Mbah Yah sudah dihubungi, Sayang?" tanya Bara, sambil melingkarkan tangan di pinggang ramping istrinya. "Sudah, Aisya juga sudah aku hubungi," jawab Cintya santai. Namun justru Bara kepanasan. Untung saja uminya sibuk melihat pemandangan sekitar, jadi tidak mendengar percakapan mereka. "Jemputannya mana?" tanya umi."Masih di jalan, Mi. Sebentar lagi sampai."Tak sampai sepuluh menit, mobil jemputan sudah datang. Bara m
"Aku benci Mama."Kalimat itu terus terngiang di kepala Cintya. Dia tak pernah menyangka, anaknya bisa berbicara seperti itu. Selama ini, Arka tak pernah menunjukkan sikap tidak sopan kepadanya maupun orang lain. Pendidikan yang ia terapkan, lebih mengutamakan adab dan akhlak. Ia tak pernah menuntut kesempurnaan. Namun, hanya karena satu kalimat, hati Cintya benar-benar hancur. Bahkan, saat dirinya berpisah dengan Bara, hatinya tak serapuh seperti sekarang ini. Hari berikutnya, Arka masih saja murung. Dia yang biasanya ceria, tampak tak bersemangat. Bahkan, di hari ketiga setelah pertemuannya dengan Bara, Arka mendadak demam. "Arka minum obat dulu, ya!" Cintya sengaja izin dari tugasnya, hanya demi bisa menemani buah hatinya. Di tangan kanannya, sudah tersedia sendok yang berisi cairan sirup pereda panas. Arka hanya menurut. Setelah sirup berhasil ia telan, kembali matanya terpejam. "Pusing?" tanya Cintya, hanya dijawab anggukan. "Arka bobok saja kalau pusing!" imbuhnya lagi. Ra
Bara mengelus punggung anaknya. Dia tahu, kini Arka sedang bersedih. Buktinya, ia tak mau berceloteh lagi. "Arka pulang sama mama dulu, ya!" Bara mendudukkan Arka ke kursi depan, setelah Cintya membukakan pintu mobilnya. Arka kecil hanya mengangguk. "Nanti Papa temani bobok, ya!" mohonnya. Bara hanya mengangguk. Entah kapan, dia bisa mewujudkan keinginan anaknya. "Dadah Papa!" Arka melambaikan tangannya, saat Cintya mulai melajukan roda empat tersebut. Tak ada pamitan perpisahan di antara keduanya. Cintya langsung pergi begitu saja. Sepanjang jalan, Arka lebih banyak diam. Bahkan, ketika Cintya mencoba mengajaknya bicara, dia hanya membalasnya singkat. Tak butuh waktu lama, Arka sudah terlelap. Wajah yang lelah dan gurat kecewa, tercetak jelas. Cintya hanya mampu menghela nafas melihat tingkah anaknya. Sesekali, diliriknya Arka. Jika diperhatikan seksama, wajahnya begitu mirip Bara saat kecil. Yang membedakan hanya mata dan hidungnya. Jika Bara berhidung mancung, lain halnya de
Reflek Cintya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Entah kenapa, ia merasa gugup. Padahal yang bertanya hanya anak kecil, tapi sukses membuat jantungnya berdegup kencang. "Arka bermain dulu, ya. Mama sama Papa mau bicara dulu!" pinta Cintya, sambil menunjuk arena bermain, yang tersedia. Secara tidak sadar, dia juga memanggil Bara dengan sebutan papa. Hal itu berhasil membuat lengkungan di bibir Bara. Arka mengangguk antusias. Cintya lantas mengantar Arka hingga ke arena bermain, yang tidak terlalu ramai. Setelah menitipkan kepada salah satu penjaga, ia kembali menghampiri mejanya. Canggung. Itulah yang kini mereka berdua rasakan. Jika ada Arka, mereka tak kehabisan bahan bicara. "Kamu apa kabar?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Bara. Konyol memang. Sedari tadi mereka sudah bertemu, tapi baru kini menanyakan kabar. "Aku dan Arka baik-baik saja. Kamu?" tanyanya gugup, seolah mereka remaja yang baru kasmaran. Bukannya menjawab, Bara justru terdiam. Ia terus memperhatika
"Arka kenapa keluar duluan?" tanya Cintya, saat sudah menghampiri dua laki-laki beda generasi tersebut. Nafasnya agak tersengal, karena berusaha berjalan agak cepat. "Maaf, Ma," jawabnya polos. Cintya kembali mengatur nafasnya. Arka tak sepenuhnya salah. Dialah yang kurang fokus, hingga lalai menjaga Arka. "Lain kali izin mama dulu, kalau mau pergi!' imbuhnya lagi. Arka kecil hanya mengangguk patuh. Terlihat, ia begitu ingin segera memainkan robot barunya. "Arka lapar, kan? Yuk kita makan sama-sama!" Ajakan Bara disambut antusias oleh Arka. Sejauh ini, Arka belum tahu, kalau Bara adalah papanya. "Boleh, Ma?" Lagi-lagi, ia meminta izin mamanya. Cintya memang mewanti-wanti, agar Arka tak mudah percaya pada orang asing. Dan baginya, Bara adalah orang asing, karena ini pertama kali ia bertemu. Namun, sikap lembut Bara, mampu membuat Arka langsung betah bersamanya. Belum sempat Cintya menjawab, Bara sudah membawa Arka memasuki resto makanan cepat saji. Lagi-lagi, Cintya hanya membun
"Cintya," gumam Bara dengan perasaan tak karuan. Setelah lima tahun tak bertemu, kini mereka dipertemukan lagi, tapi dengan status yang berbeda. Ya, mereka benar-benar resmi bercerai. Setelah tiga bulan mereka saling berpisah, berharap bisa bersama kembali. Namun, Cintya tak berubah pikiran. Dia tetap menginginkan perceraian. Bara yang memang merasa salah, hanya bisa pasrah. Kini, jarak antara dirinya dan Cintya semakin dekat. Hatinya bagai orang kasmaran, ketika melihat perubahan pada mantan istrinya. Kecantikan Cintya semakin terpancar, meski sudah tak muda lagi. Bara sungguh tak sabar untuk segera menemui Cintya. Namun, lagi-lagi hatinya ragu. "Mama, keren 'kan?" seru seorang bocah. sambil berlari membawa sebuah robot, mendekati Cintya yang tengah sibuk dengan ponselnya. Mendadak, wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kecilnya. "Arka mau ini?" tanya Cintya dengan mata berbinar, sembari memperhatikan mainan yang dipegang anaknya. Deg!Terasa ada yang menghantam dadanya. A
Cintya memalingkan muka, seolah tak sanggup mendengar ucapan Bara. Di hadapannya, umi tak berhenti mengeluarkan air mata. Antara sedih dan ingin marah, terus menguasai hatinya. "Apa tidak bisa dibicarakan lagi?" Bapak menghela nafas berat. Disandarkannya punggung ke sofa. Semua yang berada di ruang tamu terdiam. Mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing. "Kami sudah sepakat, Pak." Akhirnya Cintya angkat bicara, setelah beberapa saat mereka terdiam. Helaan nafas berat, keluar dari mulut bapak. Beliau memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. "Coba kalian pikirkan ulang. Kasihan Arka!" Umi yang dari tadi diam, kini ikut menyumbang suara. Cintya dan Bara sontak memandangi anak mereka. Anak yang kehadirannya ditunggu, tapi di waktu yang kurang tepat. "Kami sudah memikirkan semuanya, Mi," sahut Cintya cepat, takut pikirannya kembali goyah. Dia yakin, hak asuh sepenuhnya diberikan padanya. Dia juga yakin, mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bara masih diam. Dia cukup sada
Mobil hitam dengan plat AG Kediri, terparkir rapi di halaman rumah Cintya. Sepasang suami istri turun, diikuti umi yang sedang menggendong bayi. Hari ini, Bara menepati janjinya kepada Cintya, untuk mengembalikan kepada orang tuanya. Dulu dia meminta baik-baik. Sekarang, dia dengan langkah terpaksa, mengembalikan tanggung jawab Cintya kepada bapaknya. Bukan Bara tak ingin mempertahankan rumah tangganya, tapi kebahagiaan Cintya jauh lebih penting. Dia sadar, bahwa dengan berpisah, istrinya, yang sebentar lagi akan menjadi orang lain, akan lebih bahagia. Sudah cukup dia membuat Cintya menderita, karena ulahnya. Berbeda dengan Bara, umi Khofsoh sedari tadi sudah meneteskan air mata. Dia masih belum rela, harus dipisahkan dengan anal menantu dan cucunya. Lagi-lagi, dia tak bisa berbuat banyak, karena keputusan Cintya sudah bulat. Mereka bertiga, berjalan beriringan. Pintu rumah yang terbuka, menandakan kalau bapak sedang di rumah. "Assalamualaikum," ucap Bara. Cintya yang merasa ini
"Malu, umi punya anak seperti Kamu!" Bara menunduk dalam. "Keluar Kamu, Mas!" usir Cintya. Andai fisiknya sudah kuat, tentu ia akan mendorong Bara sampai ke depan pintu. "Cintya!""Jangan menyentuhku!" tolak Cintya, saat Bara maju beberapa langkah. "Izinkan aku mengumandangkan adzan untuk pertama kalinya, di telinga anak kita!" mohon Bara lembut. Bayi mungil, yang kini terbaring di samping Cintya, mengalihkan perhatian Bara. Ingin sekali Bara menggendongnya, tapi Cintya terus melarang. "Tak perlu! Dia tidak butuh bapak sepertimu!" "Maafkan aku!" "Jika mema'afkanmu bisa mengubah segalanya, tentu akan kulakukan, tanpa Kau minta." "Aku sudah berusaha pulang cepat, Cintya, tapi di tengah jalan, tiba-tiba pecah ban," terang Bara. Dia mengatakan yang sebenarnya. Di tengah hutan, dia harus berjuang mengganti ban seorang diri. Suasana yang gelap, agak menghambat pekerjaannya. Cintya tersenyum sinis. Dia tak mudah percaya begitu saja. Alasan yang klasik. "Apa aku harus percaya? Buka
Cintya terbaring lemah, setelah berjuang antara hidup dan mati, seorang diri. Kini, kehadiran seorang bayi mungil, menjadi penyemangat hidupnya. Air mata haru tak kuasa ia tahan, ketika kulitnya bersentuhan, dengan malaikat kecil, yang kini menjadi bagian dari hidupnya. Bayi merah, yang kini sedang mencari sumber makanannya. Umi Khofsoh tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang begitu memenuhi hatinya. Ingin sekali, ia segera menggendong cucunya, tapi urung. Dokter menyarankan, agar sang bayi menyusu. "Cantik sekali!" seru Mela, yang baru saja masuk.Cintya hanya tersenyum, mendengar pujian dari sahabatnya. Hilang sudah rasa sakitnya, kala mendengar tangisan pertama, dari anaknya. Suster kembali membawa bayi Cintya, untuk dibersihkan. ***Paginya, Cintya sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Mela sengaja memilihkan kamar VIP di rumah sakit ini. Cintya juga sudah berganti pakaian. Kondisinya yang masih lemah, ditambah semalam tidak tidur sama sekali, membuat matanya begitu berat.