Pertemuan itu justru jadi pertengkaran mantan bupati dan istri barunya. Si istri mengaku bahagia, ternyata harta mereka satu persatu terjual untuk membahagiakan istri barunya itu. Jadilah mereka bertengkar hebat, kami hanya mendengar. "Pokoknya besok aku berangkat ke Jakarta, aku harus urus anakku," kata mantan bupati tersebut."Ya, udah, silakan pergi, tapi jangan salahkan aku, Pa, jika papa pulang aku sudah tak ada," kata istrinya."Sebaiknya jika mau bertengkar di rumah saja, Pak," kataku kemudian. Gerah juga mendengar mereka bertengkar.Suami istri beda jauh usia itu akhirnya pergi juga. Aku jadi sedikit lega. Dari tadi aku sudah merasa tak enak hati, pertengkaran mereka didengar oleh dua anakku. Menjelang tengah malam, Bang Parlin pamit mau ke rumah sakit, katanya tidak ada orang yang menjaga Rusdy dan istrinya.Pagi hari Minggu, aku dan tiga anakku berencana pulang ke desa, Bang Parlin masih tetap di kota. Kata Bang Parlin, dia tidak sampai hati meninggalkan Rusdi dan istrinya
PoV ButetAku sungguh tidak menyangka, Bang Sandy bisa serius begitu. Perkataanku itu benar-benar mengubah cara hidupnya. Luar biasanya kini dia mau mandiri, urus diri sendiri, cari uang sendiri."Apa yang membuat Abang bisa berubah begini?" tanyaku lewat pesan wa di suatu malam, saat itu hari sudah jam sepuluh lewat tiga puluh menit."Satu perkataanmu yang membuat aku merasa dilecut. butet," balas Bang Sandy."Apa itu?""Aku tunggu lima tahun lagi, aku memang laki-laki yang harusnya jadi pelindung wanita, terus ... eh, sebenarnya perkataanmu semua serasa menamparku."Oh, semoga kamu benar-benar bisa jadi laki-laki yang bisa diandalkan," pesanku kemudian.Keesokan harinya saat aku pulang dari sekolah, aku ke warung Ibunya Sandy. Ibunya Sandy jauh' berubah, tak lagi ramah seperti biasa. Tak bertanya lagi aku mau makan apa."Bu, numpang duduk ya, nunggu Bang Ucok," kataku kemudian."Iya," hanya itu jawaban dari ibu tersebut. Wajahnya sungguh tidak ramah."Bagaimana kabar Sandy, Bu?" aku
"Tenang dulu, Bu, tenang dulu, Ika," kata Ayah saat ibu dan anak itu terus mendesak Ayah. "Bagaimana kami bisa tenang, Pak Parlin, anakku dilecehkan, ustadz yang seharusnya jadi panutan, justru melecehkan," kata ibunya Ika. "Aku gak percaya, lihat wajah cewek saja ustadz itu gak berani," kataku kemudian. "Kau tau apa, Tet, ustadz juga manusia, lihat berita banyak ustadz pelaku pencabulan," kata Kak Ika. Aku tak menyangka ustadz yang menatap wajahku saja tidak berani jika bicara bisa begitu. Apalagi sampai melecehkan orang. Akan tetapi kenapa Ustadz itu minta mengundurkan diri? Atau jangan-jangan betul, dia tak sanggup menahan godaan dari cewek. "Maaf, Ika, pertama saya mau bertanya, kenapa kamu datang ke ruangan guru?" tanya Ayah. "Kan sudah kubilang, Pak, aku mau minta dirukiyah," jawab Kak Ika. "Tahu kah kamu fungsi pesantren, bukan tempat rukiyah, tapi tempat belajar," kata Ayah lagi. "Kok gitu Bang Parlin,masa gak bela warga sendiri," kata ibunya Ika. "Begini, Bu, tadi Ust
Ustadz itu terdiam, dia menundukkan wajah, agak lama juga dia tak bicara, entah apa yang dia pikirkan aku tidak tahu. "Aku ikut saran dari Ucok saja, mengundurkan diri," katanya kemudian."Pikirkan dulu," kata Ayah."Berat sekali cobaan untukku, Pak," kata Ustadz Rizal."Abang ustadz memang lemah, tidak kuat iman, riak saja sudah menyerah, bagaimana mau menghadapi gelombang?" kataku sedikit kesal."Benar sekali, kamu terlalu mudah menyerah, kamu tahu gak, mundur berarti mengaku salah, itu anggapan orang," kata mamak.Ustadz itu menunduk, dia seperti tak berani mengangkat wajahnya."Ya, sudah, jika memang keputusanmu mundur, kami tidak mungkin memaksa bertahan, tapi kami minta bersihkan dulu namamu, jangan sampai citra pesantren buruk, bukan cuma pesantren kita yang kena, tapi seluruh pesantren di Indonesia ini akan tercoreng, mari kita perbaiki citra pesantren yang sudah banyak tercoreng," kata ayah akhirnya."Baik, Pak, aku bersedia dipertemukan dengan kakak itu," kata ustadz itu ak
PoV Nia"Didemon bagaimana?" tanyaku kemudian."Tidak tahu, Bu, tiba-tiba orang ramai-ramai datang, mereka berteriak-teriak, aku kebetulan lagi di luar," kata santri tersebut.HP Bang Parlin berbunyi, suamiku itu memberikan HP tersebut padaku, lalu ...."Halo!""Assalamualaikum, Bu, pesantren didatangi orang ramai, kami khawatir terjadi gesekan dengan warga desa, Bu," katanya dari seberang."Oh, kami akan ke sana," kataku kemudian.Akhirnya kami semua kembali lagi ke pesantren tersebut. Ketika kami sampai, memang sudah ramai orang, aku melihat Pak Ruslan di antara orang yang banyak itu."Ada apa ini?" tanya Bang Parlin."Kami menuntut ustadz cabul," teriak seorang warga."Ustadz cabul apaan?""Ustadz cabul sudah melecehkan saudara kami," kata seorang pria yang lain."Tenang, tenang, tak ada ustadz cabul di sini," katar Bang Parlin."Ustadz Rizal telah melecehkan saudara kami, kami tuntut dia keluar," teriak seorang warga. Yang disambut teriakan warga yang lain.Aku dan seluruh keluarg
Aku, Ucok dan Butet yang menggendong Cantik serta Bang Parlin pergi ke balai desa. Balai desa ini tempat kami membicarakan masalah penting. Banyak sudah keputusan penting diselesaikan di balai desa ini.Rombongan ustaz Rizal juga datang, bersama sekitar enam ustadz muda yang lain juga ikut. Puluhan santri mengantarkan mereka ke balai desa. Akan tetapi Ika tidak datang juga, para pendemo yang tadi galak di pesantren belum ada yang kelihatan batang hidungnya. "Bagaimana ini?" tanya Bang Parlin."Bentar, Bang," kataku seraya mengambil hp, terus menghubungi sesepuh desa tersebut."Bagaimana, Pak, kami menunggu," kataku kemudian."Iya, Bu Kades, kami akan datang sebentar lagi, si Ika tiba-tiba sakit ini, sebentar ya," jawabnya dari seberang telepon."Pasti takut dia, Mak," kata Butet."Iya, Tet, itu pasti, tapi ini harus dibicarakan, harus disidang, demi nama baik pesantren kita," kataku kemudian.Akhirnya rombongan Ika dan keluarganya datang juga. Mereka datang beramai-ramai. Ika didampi
Butet memang selalu bisa jadi pemecah kebuntuan. Ide-idenya sering di luar nalar, akan tetapi tetap logika. Ternyata Ika takut isi HP -nya ketahuan. Dia bilang tidak bawa hp, tapi lupa mematikan.Seorang wanita lalu mengambil HP dari tas Ika, kemudian menyerahkan padaku."Saya minta izin buka ya," kataku kemudian.Ternyata begitu hp itu dibuka, layarnya saja sudah gambar ustadz Rizal. "Lihat ini bapak-bapak ibu-ibu, layarnya saja sudah gambar ustadz Rizal, yang sepertinya diambil secara sembunyi-sembunyi. Sudah jelas sekarang, Ika ini adalah penggemar ustadz Rizal, tak perlulah kita permalukan lagi Ika dengan melihat isi HP - ya lebih jauh." kataku kemudian."Tidak bisa, harus jelas semua, masa foto begitu sudah jadi bukti?" kata seorang pria.Kulihat Ika, dia menggelengkan kepala sambil, menatapku dengan tatapan sedih, aku mengerti maksudnya , akan tetapi memang harus dibuka biar semuanya jelas."Biar adil, HP Ustadz kita lihat juga," kataku kemudian.Ustadz Rizal memberikan HP -nya
Sidang itu berakhir dengan keputusan yang di luar perkiraan. Ika mengaku karena didesak Butet untuk melihat isi HP-nya. Yang membuat aku tercengeng dan kagum, cara ustadz ini menghadapi masalah yang menimpanya. Dia tetap tenang, dan berakhir dengan manis. Ika diberi semangat dengan harapan suatu hari kelak mereka berjodoh. Di satu sisi ini jenis PHP pada gadis lain, akan tetapi di sisi lain, ini adalah cara ampuh untuk membuat gadis penggemarnya semangat. Satu yang membuat aku kagum, perkataannya, jika benar-benar hijrah, tak akan menuntut yang bukan haknya."Apa pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini?" kata Bang Parlin saat kami semua sudah di rumah."Dari kasus ini aku dapat pelajaran, semua yang terlalu itu tidak baik, terlalu good looking pun tidak baik," kata Ucok."Apa pula good looking ini, Cok?" tanya Bang Parlin."Tampan, Yah,""Kenapa pula harus good looking segala?""Makin lama Abang Ucok ini makin ke sana," kata Butet."Apa, Tet, kan betul, ustadz itu terlalu tampan, j
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga