Saat itu hari sudah jam dua, Ucok dan Butet sudah pulang dari sekolah. Kami memang harus membicarakan ini. Aku tak bisa memutuskan sendiri. "Mohon maaf, Pak, bisa minta waktu satu jam, silakan ngopi saja dulu," kataku pada utusan bupati tersebut saat Ucok dan Butet sudah datang, Bang Parlin juga tiba di kantor desa."Oh, boleh, boleh," kata pria utusan bupati tersebut seraya pergi keluar dari kantor."Ada masalah apa, Mak?" tanya Ucok."Begini, karena Bang Nyatan sudah menghentikan aliran dananya untuk pesantren, mamak coba cari sumber dana lain, kebetulan bupati mau datang kemari bagi-bagi sertifikat tanah gratis." Aku menjeda pembicaraan ."Terus?" Butet sepertinya sudah tidak sabar."Terus itu utusan bupati datang, dia bisa cairkan satna untuk pesantren lima puluh juta," kataku kemudian."Itu rezeki, Mak, rezeki gak boleh ditolak," kata Ucok."Masalahnya, di kertas ini ditulis seratus juta, dan mamak harus tanda tangan, katanya yang lima puluhan juta itu uang pelicin," kataku lagi
Aku tentu saja jadi bingung, mau tunjuk bukti juga sudah ada masuk seratus juta, dua kali pengiriman. Kulihat Bang Parlindungan, suamiku itu malah mengulurkan tangannya. Bang Parlin mungkin belum tahu soal uang yang masuk barusan."Kenapa, Mak?" tanya Ucok yang duduk di sampingku."Ini, Cok, baru masuk lima puluh juta lagi, jadi sudah pas seratus," kataku kemudian."Wah, berarti utusan bupati itu menyimak di sini," kata Ucok."Iya, Cok," "Sini HP -nya, Dek," kata Bang Parlin.Aku lalu berjalan menuju podium."Bang, barusan masuk lima puluh juta lagi," bisikku kemudian."Wah!""Jadi gimana, Bang?""Kita tetap pada rencana semula," kata Bang Parlin seraya mengambil HP -ku.Bang Parlin lalu menunjukkan isi hp tersebut kepada Bupati. Lalu ...."Begini, kemarin yang masuk cuma lima puluh juta, mereka juga bilang hanya lima puluh juta lagi uang pelicin," kata Bang Parlin.Bupatinya melihat' isinya HP -ku, lalu memanggil seseorang. Akan tetapi utusan Bupati kemarin tidak kelihatan."Ini bag
Bupati terlihat marah, tangannya mengepal, bisa dimaklumi, orang kepercayaannya ternyata mengkhianatinya, tidak tanggung-tanggung, lima puluh juta sekali transaksi."Sudah berapa kali kamu lakukan seperti ini?" tanya Bupati."Maaf, Pak,""Aku tanya sudah berapa kali?""Ampun, Pak, bukan hanya aku, uangnya kami bagi semua," kata Amir."Kami siapa?""Kami semua, Pak,""Kalian semua, ya, Allah, jangan-jangan bantuan untuk anak yatim pun kalian sunat?" Pria itu terdiam."Apa benar, bantuan untuk anak yatim bulan lalu kalian sunat?" Bupati mengeraskan suaranya."Tunggu kutelepon pengurus panti asuhan itu ya, awas saja jika kalian sunat?" kata bupati tersebut seraya mengambil HP."Ampun, Pak, memang kami ambil sebagian, sudah kesepakatan kami dengan pihak panti asuhan, dengan ini pun kami sebenarnya sudah sepakat, mereka ikut berperan," katanya seraya menunjuk ke arahku."Astaghfirullah, ternyata saya dikelilingi orang-orang serakah," kata bupati seragam memegang kepalanya."Pergi dari had
Kami berkumpul di teras rumah, Ucok juga sudah ikut bergabung, sedangkan Cantik lagi tidur di ayunan. Bang Parlin memulai diskusi."Sudah sering bupati berganti di daerah kita, baru kaki inilah bertemu bupati yang jujur, mau mengeluarkan uang pribadinya untuk bantuan, itu sesuatu yang langka," kata Bang Parlin memulai pembicaraan."Iya, Yah, yang satu ini memang jujur dan tegas, dia langsung pecat tujuh orang saat itu juga," kata Ucok."Jadi begini, ayah ditawari jadi tim sukses, pemilihan Bupati masih tahun depan, tapi pekerjaannya sudah mulai dari sekarang," kata Bang Parlin lagi."Bagaimana, Tet?" tanyaku pada Butet."Aku setuju saja, apapun keputusan ayah pasti yang terbaik," kata Butet."Apa nya kau, Tet, mana sikap kritismu?""Lagi mode anak berbakti, Mak," kata Butet seraya senyum-senyum."Kau, Cok?" kulihat anak laki-lakiku itu, yang belakangan ini juga seperti melempem, tak lagi seperti dulu dengan ide-ide kreatifnya. "Aku setuju, orang jujur memang harus dibantu," kata Ucok
PoV ButetHari itu sepulang sekolah, aku langsung ke kantor desa, kasihan mamak ngantor sambil bawa anak. Adikku Cantik kubawa pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku langsung membuat makanan untuk Cantik, memberikan makan adikku itu lalu kutidurkan di ayunan sambil menyanyi lagu ungut-ungut, Bang Ucok datang."Mamak mana?" tanya Bang Ucok."Tadi kan di kantor," jawabku. Heran juga melihat abangku ini, padahal tadi kami sama-sama ke kantor desa jemput Cantik."Ayah mana?" tanya Bang Ucok lagi."Entah, emang kenapa, Bang?""Perasaanku tidak enak, Butet,""Tidak enak bagaimana, Bang,""Gak tau, pokoknya tidak enak, telepon dulu ayah," perintah Bang Ucok.Aku lalu mengambil HP, coba hubungi ayah lewat wa, akan tetapi tulisan di layar HP memanggil terus, tidak kunjung berganti berdering, itu artinya wa ayah tidak aktif. Aku coba pakai telepon biasa, akan tetapi sana saja, telepon ayah tidak aktif."Gak aktif, Bang,""Aduh, ayo kita cari ayah, Tet, perasaanku tidak enak," kata Bang Ucok.Ke
Saat kami tiba di rumah Pak Anggi, di rumah itu justru sedang terjadi keributan. Dua bersaudara itu sedang cekcok masalah warisan. "Hei, Angga, sini dulu kau!" ayah memanggil dari luar."Kebetulan Bang Parlin di sini, Abang saksinya ya, tanah itu tanah warisan," kata Angga."Betul, Bang Parlin, tanah itu memang tanah warisan, tapi warisan bagianku, bagiannya sudah dia jual, Abang tahu itu kan, Abang saat itu ikut tanda tangan sebagai saksi," kata Anggi."Anggi, yang sudah dijual itu tidak dihitung lagi, yang dihitung itu yang tersisa, jangan bodoh jadi orang, ayah dulu pernah jual juga untuk biaya sekolah kau, mana dihitung, yang dihitungnya itu yang tinggal, rumah dan tanah, aku minta bagianku," kata Angga."Bagianmu sudah kau jual," jawab Anggi.Bang Ucok sepertinya sudah tidak sabar, kami kemari mau cari mamak, justru dilibatkan salam urusan harta warisan mereka."Bang Angga, bilang apa tadi sama mamakku?" tanya Bang Ucok."Cuma mau tanya soal sertifikat tanah," jawab Angga."Teru
PoV NiaAku terkejut melihat Amir turun dari mobil silver itu, kulihat ke belakang tiga pria makin mendekat. "Amir, mau ngapain kau?" kataku seraya mundur. Ngeri juga melihat' wajah pria ini, tatapan matanya seakan hendak membunuhku. "Ini balas dendam, kamu telah menghancurkan karirku, mempermalukan aku, tujuh orang anggotaku kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!" katanya seraya menunjuk ke arahku.Aku mencium gelagat tidak baik, aku kembali ke motor akan tetapi seorang pria yang dibelakangku langsung mencabut kuncin motor yang masih tergantung di motor tersebut.Kulihat ke kiri dan kanan, tak ada mobil atau motor yang lewat, jalan desa ini memang selalu sepi. "Kau pikir kamu akan selamat jika membuatku celaka?" Kataku kemudian."Sekarang pun kami sudah tidak selamat, kami kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan, bahkan akan dipolisikan, semua itu gara-gara kamu yang sok suci," kata Amir."Jangan coba-coba!" kataku ketika salah satu pria itu memegang tanganku.Dari jauh terli
PoV ButetKami akhirnya menemukan mamak, akan tetapi kondisinya sangat menghawatirkan. Terbaring di bawah pokok sawit, tak bisa menggerakkan badannya. Aku menangis. "Tunggu, jangan sembarangan diangkat, kitar tunggu medis, sepertinya ada tulang yang patah," kata seorang aparat desa.Kulihat mamak masih memegang HP, matanya menatapku. Tangisku makin keras, ya, Allah, kenapa mamakku? orang yang baik yang harus begini. Beberapa saat kemudian, Bu Bidan datang. Atas saran Bu Bidan, cara mengangkat mamak diluruskan di tandu, baru kaki dan kepala diikatkan ke tandu tersebut. Tidak boleh kepalanya bergerak, khawatir leher mamak patah.Saat orang-orang mengangkat mamak, ibuku itu pingsan lagi. Malam itu juga mamak dibawa ke rumah sakit di kota. Selama dalam perjalanan, aku terus memegangi tangan mamak, Bang Ucok juga tak henti-hentinya menangis.Tengah malam, kami baru sampai di rumah sakit kota. Mamak pun langsung ditangani. Ternyata dua tulang rusuk mamak patah. Rahangnya juga bergeser. M
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga