Suamiku Jadul
Part 55
Terharu dan bahagia rasanya mendengar perkataan suami. Aku tahu dia memang mampu secara materi untuk melakukan poligami. Akan tetapi jawabannya itu yang membuat aku meleleh. "Poligami memang sunnah, tapi menjaga keutuhan keluarga itu wajib," kata-katanya itu sungguh membuat aku tak mampu menahan diri lagi. Langsung kupeluk suamiku di depan Sinta.
"Ada lagi gak saudaranya Bang Parlin yang masih lajang, kalau ada kenalkan samaku ya," kata Sinta ketika kami bertemu lagi. Saat itu aku lagi beli sayur di warung tetangga.
"Gak ada lagi, dah laku semua," jawabku seraya memasang senyum semanis mungkin. Aku memang coba tersenyum kepada orang yang coba rebut suamiku.
"Di mana dicari orang seperti Bang Parlin, ya?" tanyanya lagi. "Setelah dia menolak, aku justru makin kagum padanya," sambung Sinta lagi.
Ya, ampun, ini orang tak ada perasaan, masa dia puji-puji suamiku di dekatku, harus dikasih pelajaran ini
Suamiku JadulPart 56Aku sadar, rumah tanggaku masih seumur jagung, untuk ke depan nanti pasti makin beragam cobaan yang datang menimpa kami. Sampai hari ini masih bisa kami lalui, aku berdo'a bisa kami hadapi sampai hari yang akan datang, sampai mau memisahkan.Bang Parlindungan mulai mengurangi aktivitasnya. Dia lebih pokus ke kami anak istrinya. Biarpun sudah punya ART, akan tetapi dia lebih banyak di rumah. Si Ucok memang lagi lasaknya, kini dia sudah empat tahun, si Butet adiknya hampir dua tahun. Tak ada tanda-tanda aku hamil lagi, padahal tak KB."Bang, aku kok gak hamil lagi, ya," tanyaku pada Bang Parlin di suatu siang."Iya, mungkin cuma dua yang dititipkan Tuhan untuk kita," kata Bang Parlin."Tapi Abang maunya tujuh," kataku lagi."Iya, Dek, Abang memang maunya tujuh, tapi kemauan kita tak selamanya akan terwujud, kita percaya saja sama Allah, hanya dua yang kita mampu," kata Bang Parlin.&nbs
Suamiku JadulPart 57"Dek, pasti ada pengobatan lain, Abang gak mau operasi, gak mau," kata suamiku ketika tahu dirinya akan dioperasi."Gak ada lagi, Bang, udah, ini hanya operasi kecil, jangan kek anak kecil Abang," kataku menenangkan suami.Dia yang hebat, dia yang jago, bahkan sampai berani memukul calon anggota dewan ternyata takut dioperasi. Bahkan takut dengan jarum suntik. Rasanya aku kurang percaya, ada lelaki berumur empat puluhan tahun, tak pernah disuntik."Pria itu tukang suntik, Dek, pantang disuntik," kata suami lagi."Udah, Bang, jangan rewel," kataku kemudian.Seorang perawat datang menghampiri kami, di tangannya ada beberapa berkas."Dengan Pak Parlindungan Pulungan?" tanyanya ramah."Iya, Kak, ada apa?" aku yang menjawab."Besok akan dilakukan operasi, tolong cukur bulu di sekitar kemaluan, ini alat cukurnya, terus mulai saat ini puasa ya, Pak, sampai b
Suamiku JadulPart 58Ada hikmah di balik Bang Parlindungan sakit itu, kini dia mulai menjaga kesehatan. Tak lagi langsung kerja sehabis makan. Makan pun tak buru-buru lagi seperti biasa."Dek, tau adek usus buntu?" tanya Bang Parlin, saat itu aku lagi menyuapi si Butet sarapan."Ya, taulah, Bang,""Semua bagian tubuh kita ada gunanya diciptakan Tuhan, kalau usus buntu apa gunanya?" tanya Bang Parlindungan lagi.Aku mulai berpikir, tapi tak juga kutahu apa itu guna usus buntu. Setahuku banyak orang yang usus buntunya dibuang, tapi tak ada pengaruh apa-apa, sebelum dan sesudah dibuang."Tunggu, Bang," kataku tak mau kalah, kuketik 'kegunaan usus buntu' di kolom pencarian Google. Ternyata memang tak ada gunanya, para ahli pun masih banyak berdebat tentang kegunaan usus buntu ini. Bahkan aku dapat jawaban tak masuk akal. Usus buntu katanya berkaitan dengan teori darwin, sisa dari evolusi manusia. Ah, ini tak
Suamiku (Tidak) JadulParliNiaSeason ke-2Sub judul : Mie Ayam PesugihanSore itu kami jalan-jalan di taman, bawa dua anak, Ucok dan Butet. Aku duduk di bangku taman baca buku, sementara suamiku dan dua anak kami bermain di rumput. Entah kenapa, sudah enam tahun tinggal di kota, Bang Parlin tak bisa move on dari rumput. Kalau jalan-jalan, pilihannya kalau gak taman, ya, pemandian alam."Mak, ada orang gila," lapor si Ucok seraya menunjuk seseorang di pinggir jalan."Huss, gak boleh ngomong gitu," kataku seraya menyilangkan jari telunjuk di bibir."Memang orang gila, kok, Mak," kata si Ucok lagi.Sementara itu Bang Parlin lagi bermain kejar-kejaran dengan si Butet. Butet kini sudah sudah tiga tahun, si Ucok lima tahun. Sudah sekolah TK.Ucok kembali bermain, aku kembali sibuk dengan bukuku."Maaakkk ...!" tiba-tiba terdengar jeritan si Ucok. Segera aku berlari
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-dua.Sub judul ; Cemburu Pada NamaSi Ucok kini sudah sekolah TK, setiap hari aku antar dia naik becak tetangga kami. Ini usul Bang Parlin, katanya untuk membantu tetangga tersebut. Seorang bapak tua yang di hari tuanya masih mengayuh beca. Kebetulan pula sekolah si Ucok tidak berapa jauh dari rumah.Hari itu aku jemput si Ucok seperti biasa, akan tetapi ternyata ada acara sehingga anak sekolah agak lama pulang, Bapak tukang becak tersebut kusuruh menunggu. Aku duduk di kantin, di sini banyak emak-emak muda yang menjemput anaknya."Jemput anaknya, Bu," sapa seorang wanita padaku."Iya, Bu, katanya agak lama hari ini," jawabku sesopan mungkin."Iya, aku juga jemput anak, ngomong-ngomong gak kasihan sama anaknya naik becak tiap hari, panas lo," kata ibu yang satu lagi."Udah biasa, Bu," jawabku."Itulah gak sayang sama anak itu, suamiku mana dikasihi
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 3Jalan-jalan Keluarga ParliNiaSekali setahun kami selalu jalan-jalan, salah satu kesukaan Bang Parlindungan adalah keliling Indonesia. Kali ini Bang Parlindungan sampai buat status Facebook, dia buat hanya aku dan Bang Parlin yang bisa lihat. Dia memang sudah mulai lancar menggunakan medsos. (Kepingin jalan-jalan lagi, keliling pulau jawa, pengen ke Jogja, pengen ke Borobudur) Begitu status Bang Parlin, tapi dia sudah bisa privasi Facebook-nya, hanya aku dan Bang Parlin yang melihat. "Abang makin canggih aja sekarang, ya, Bang," Tanyaku di suatu malam. Saat itu kami lagi tiduran di depan TV, si Ucok dan si Butet sudah tidur di kamar. "Canggih apanya, Dek?""Mau jalan-jalan pun pakai status Facebook,""Hanya pengen, Dek,""Abang sudah bergeser dari prinsip hidup Abang sendiri, pengen kan berarti keinginan, bukan kebutuhan," kataku lagi. "Iya, memang, Dek, tapi keinginan yang bisa jadi kebutuhan, kita butuh piknik lo, Dek, biar gak panik, bi
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 4Bu Parwati benar-benar menjamu kami bagaikan tamu agung. Dia perkenalkan kami pada anak dan saudaranya. Dia sebut Bang Parlindungan sebagai malaikat. Lebay memang. Hanya Bang Parlindungan yang dipuji-puji, aku tidak.Dua hari di Malang, kami lanjutkan perjalanan. Kali ini kami mau ke Jogja. Kota asal presiden Jokowi. Kata Bang Parlin presiden itu saudara jauhnya. Karena putri presiden pernah ditabalkan marga siregar.Kereta api jadi pilihan transportasi kami dari Malang ke Jogja, semua ini karena si Ucok katanya dia pengen naik kereta api. Semua urusan tiket diurus Bu Parwati. Kami bahkan diberikan bekal makan di jalan. Karena perjalanan akan memakan waktu yang lama, sampai sekitar delapan jam.Di Jogja kami langsung cari hotel. Terus jalan-jalan keliling Jogja naik becak. Ketika naik becak ini, ada kejadian lucu dan menggemaskan."Ayo, naik becak, keliling hanya sepuluh ribu," kata
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 5"Aduh, Dek, abang jadi merasa bersalah sekali," kata Bang Parlindungan.Foto Burhan terpampang di layar televisi. Ada pula wawancara dari tetangga Burhan. Dia mengaku sebelum kejadian melihat ada tamu sepasang suami-istri dan dua anak. Ya, Allah, itu kami."Bagaimana ini, Bang?" aku juga ikut khawatir."Seandainya tadi kita bantu, Dek," kata Bang Parlin."Tidak, Bang, yang seperti itu tak layak dibantu,"Aku makin khawatir ketika berita di TV menayangkan vidio CCTV ketika kami pulang dari toko Burhan. Ya, Allah, apakah kami akan tersangkut kasus di sini, niat kami di sini hanya liburan.Tiba-tiba HP jadul Bang Parlin berbunyi, ada panggilan dari nomor tak dikenal. Bang Parlin memberikan padaku, dan ..."Halo, ini keluarga Parlin Nia, dengan siapa ya?" kataku kemudian."Selamat pagi, Bu, kami dari kepolisian, ada korban diduga
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga