Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 4Bu Parwati benar-benar menjamu kami bagaikan tamu agung. Dia perkenalkan kami pada anak dan saudaranya. Dia sebut Bang Parlindungan sebagai malaikat. Lebay memang. Hanya Bang Parlindungan yang dipuji-puji, aku tidak.Dua hari di Malang, kami lanjutkan perjalanan. Kali ini kami mau ke Jogja. Kota asal presiden Jokowi. Kata Bang Parlin presiden itu saudara jauhnya. Karena putri presiden pernah ditabalkan marga siregar.Kereta api jadi pilihan transportasi kami dari Malang ke Jogja, semua ini karena si Ucok katanya dia pengen naik kereta api. Semua urusan tiket diurus Bu Parwati. Kami bahkan diberikan bekal makan di jalan. Karena perjalanan akan memakan waktu yang lama, sampai sekitar delapan jam.Di Jogja kami langsung cari hotel. Terus jalan-jalan keliling Jogja naik becak. Ketika naik becak ini, ada kejadian lucu dan menggemaskan."Ayo, naik becak, keliling hanya sepuluh ribu," kata
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 5"Aduh, Dek, abang jadi merasa bersalah sekali," kata Bang Parlindungan.Foto Burhan terpampang di layar televisi. Ada pula wawancara dari tetangga Burhan. Dia mengaku sebelum kejadian melihat ada tamu sepasang suami-istri dan dua anak. Ya, Allah, itu kami."Bagaimana ini, Bang?" aku juga ikut khawatir."Seandainya tadi kita bantu, Dek," kata Bang Parlin."Tidak, Bang, yang seperti itu tak layak dibantu,"Aku makin khawatir ketika berita di TV menayangkan vidio CCTV ketika kami pulang dari toko Burhan. Ya, Allah, apakah kami akan tersangkut kasus di sini, niat kami di sini hanya liburan.Tiba-tiba HP jadul Bang Parlin berbunyi, ada panggilan dari nomor tak dikenal. Bang Parlin memberikan padaku, dan ..."Halo, ini keluarga Parlin Nia, dengan siapa ya?" kataku kemudian."Selamat pagi, Bu, kami dari kepolisian, ada korban diduga
Suamiku (Tidak) JadulSesion ke-2Part 6Sebenarnya aku malas ke Bandung, melihat Bang Parlindungan bertemu Rara serasa mengusik rasaku. Membuat benih cemburu bertunas kembali. Cemburu itu belum sepenuhnya mati. Tetap ada, mungkin selamanya akan ada.(Iya, memenuhi undangan teman Bang Parlin) kubalas komentar Rara.(Kapan ke Bandung?)Sudah kuduga, pasti akan diajak, aku harus bilang apa, kalau Bang Parlin baca ini, dia akan langsung ajak ke Bandung.(Belum ada rencana, nanti kutanya Bang Parlin) balasku akhirnya.Belum sempat aku bertanya ke Bang Parlin, dia sudah bilang duluan."Dek, kira gak usah ke Bandung kali ini," kata suami."Lo, kenapa, Bang?" tanyaku heran."Gak enak, Dek," kita ketempat lain saja,"Ada apa dengan perubahan suamiku ini, biasanya dia selalu suka ke Bandung, ini tumben? Suami ke kamar mandi, dia letakkan HP-nya di me
Suamiku (Tidak) #JadulSeason ke-2Part 7Dunia terbalik, suami yang dulu jadul kini bilang aku jadul hanya karena aku tak tahu siapa itu Ateng, ingin bertanya sama Google kami sedang berada di pesawat."Aku mau buang air kecil, Bang," kataku pada Bang Parlin."Ya, udah, sana ada toilet, gak usah takut airnya jatuh ke bumi, airnya ditampung," kata suami."Hahaha," aku jadi tertawa, suamiku kini mengajari aku buang air di pesawat. Dia yang dulu bahkan tak pandai pakai sendok, tak bisa memakai toilet duduk, kini mengajari aku.Penerbangan dari Jakarta ke Jambi hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam. Menjelang siang kami sudah mendarat di bandara Sultan Thaha Saifuddin. Tak ada yang menjemput kami, mereka memang sudah beritahu duluan kalau saja tak bisa jemput karena baru saja menjemput Bang Parta.Setelah turun dari pesawat, segera keambil HP dan mencari cara ke Tanjung Jabung Barat, tempat Bang Nyata
Suamiku (Tidak) JadulSeason ke-2Part 8Empat keluarga Pa Siregar sepakat mau lanjutkan liburan ke Palembang. Ini saran dari Bang Parta, sebelum merantau ke Kalimantan, dia memang pernah merantau ke Palembang. Semua setuju usul Bang Parta.Dengan mengendarai dua mobil, kami pun berangkat. Dari Tanjung Jabung Barat ke Kota Palembang memakan waktu sekitar 5 jam. Kami berangkat pagi sekalian. Tengah hari sudah tiba di kota palembang."Kita cari makanan dulu," usulku kemudian."Dasar tukang makan," jawab Rina. Akan tetapi Dame yang bawa mobil justru mengiayakan.Kami makan di restoran khas Minang, terus lanjut perjalanan menuju Jembatan Ampera. Konon jembatan ini ikon kota palembang."Ini sungai terpanjang di Sumatera, Dek," kata Bang Parlin."Iya, Bang, tau, kita cari jajanan, yuk," ajakku pada suaminya. Sementara Bang Nyatan dan Bang Parta sibuk foto-foto.Kami berjalan mencari j
Suamiku Tidak JadulSesion ke-2 part 9Ada apa dengan nama Naduma Sari? kenapa banyak orang bernama sama, mulai dari saudara sepupu Ayah mertua, anak kami, bahkan Rara pun ditabalkan nama itu, kini kami bertemu anak perempuan bernama Naduma Sari."Bisa ceritakan bagaimana ibu bisa menikah dengan ayah kami, tanpa kami tahu, sejak kapan kalian menikah, sama berapa, tinggal di mana?" tanya Bang Parlin."Begini Parlin, Parlindungan Siregar, sebenarnya aku tak butuh pengakuan, aku bahagia bersama ayah kalian, itu saja sudah cukup bagiku," kata Ibu tersebut."Begini, Bu, bila benar kami akan berikan hak Ibu, yaitu seperdelapan dari harta peninggalan ayah kami," kata Bang Parlin lagi."Sudah kubilang, Pain, aku tak butuh pengakuan kalian, toh selama ini pun aku dirahasiakan, tapi bila kalian ingin tahu juga, begini ceritanya," kata ibu tersebut, dia menghentikan ceritanya sejenak, memperbaiki letak duduknya.
Suamiku (Tidak) JadulSeason ke-2 part 10.#Sore itu kami lagi duduk-duduk di depan rumah. Ada pondok kecil dibangun Bang Parlin di halaman rumah, katanya untuk mengobati rindu ke kampung halaman. "Bang, apa abang gak pengen bangun pabrik minyak goreng, kan bahan bakunya sudah ada?" tanyaku pada Bang Parlin. "Gak, Dek, gak sampe ilmu Abang ke situ, biarlah itu mereka ahlinya yang kerjakan," jawab Bang Parlin seraya memberi makan ayam peliharaannya. "Maksudnya biar bisa ditekan harga minyak goreng, Bang," "Ah, itu bukan urusan kita, Dek, biarlah itu urusan mereka pemangku kebijakan," jawab Bang Parlin. Bang Parlin kini memang tak lagi jadul, bicaranya juga sudah tak lagi kampungan, dia orangnya cepat belajar. "Pak, Bu, permisi," Bu Ratna -ART kami datang. "Iya, Bu, mau pulang, ya, Bu?" kataku kemudian. "Iya, Bu, gini, Bu, kalau boleh, aku mau minjam dulu," kata Bu Ratna. Bu Ratna baru tiga hari yang lalu minjam uang lima ratus ribu, kini dia mau pinjam lagi. Ada apa dengan Bu R
Suamiku (Tidak) JadulSeasion #ke-2 part 11Bu Ratna sangat berterima kasih sekali, dia bahkan berjanji akan setia bekerja pada kami selama yang dibutuhkan. Aku baru tahu ternyata dia orang Lombok, bertemu suaminya ketika sama-sama TKI di negeri jiran. Lalu pulang ke Medan untuk menikah. Setelah punya anak perangai asli suaminya baru kelihatan. Tak kerja, mabuk dan narkoba kerjanya tiap hari. Sampai akhirnya ditangkap polisi, saat itu mereka sudah punya dua anak. Yang kecil masih dua tahun. Bu Ratna berjuang sendiri membesarkan anak-anaknya.Pernah juga diceraikan suaminya, saat itu Bu Ratna tidak mau mengantar narkoba untuk dia ke penjara, suaminya menceraikan dia ketika berkunjung. Bu Ratna merasa bebas. Sampai lima tahun kemudian, laki-laki itu bebas dari penjara, dia memohon rujuk kembali dan berjanji akan berubah. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, bukannya berubah, lelaki itu malah makin menjadi. Sampai akhirnya kini Bu Ratna bisa bebas dari lelaki tersebut.Malam itu ka
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga