“Kenapa? Kenapa tidak ada yang menahannya?!” sergah Akbar setelah bosan sendiri mengusap rambutnya dan mulai mengusut. Kepalanya pusing karena keponakan satu-satunya kembali berhasil melarikan diri.Susah payah dia menemukannya, tapi kini harus menjauh lagi dari jangkauannya. “Kenapa kalian ngga ada yang menghargai jerih payahku membawanya kembali ke sini?!”Putri-ibu kandung Fia memejamkan matanya sesaat ketika Akbar meneriakinya. Berbanding terbalik dengan Anita-ibu dari keduanya yang tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap duduk dengan punggung tegak juga raut wajah angkuh itu.Suara Akbar itu menggelegar di ruang tengah yang bisa langsung terlihat dari lantai dua itu. Bahkan, dua orang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan lantai dua bisa mendengar jelas teriakan penuh amarah itu.“Aku sama sekali ngga menyangka kalau dia berencana kabur lagi. Beberapa hari ini dia terlihat baik-baik saja,” sahut Putri tidak terima dirinya disalahkan. “Bahkan aku meluangkan waktu supaya bis
“Lihat, tuh.” Ana menunjuk sesuatu di luar butik dengan dagunya.“Apa, Bun?” tanya Efa dari balik gadgetnya.“Itu ... anak-anak punk.”Efa melihat ke arah luar. Empat orang anak remaja tanggung berpakaian lusuh, agak nge-rock metal khas anak punk tengah mengamen di depan Cuko. Salah seorangnya tampak berambut panjang, postur tubuhnya yang lebih mungil dari ketiga teman cowoknya menegaskan kalau ia adalah seorang cewek remaja.“Kenapa memangnya mereka?” tanya Efa antara peduli dan tidak.“Kalau kamu ngga belajar yang bener, jadi begitu, tuh.”“Bunda ngutuk Efa?” Muka Efa berubah masam. “Kapan aku belajar ngga bener, Bun?”“Itu ... kemarin sampai Mama dipanggil guru ke sekolah,” ungkit Ana.Efa menghembus napas cukup kentara. “Kalau itu mah cuma sama guru satu itu aja, males.”“Emang segitu nyebelinnya?”“Banget, Bun,” jawab Efa agak bersemangat. Gadgetnya mulai agak diturunkan.“Tapi, kata Mama ganteng, lho,” celetuk Ana berusaha mengingat hari itu ketika Nisha mempertanyakan kenapa Ef
Berbeda dengan kemarin yang teramat terik, hari ini tidak terlalu cerah, tidak pula terlalu mendung. Cuaca yang sempurna untuk menghabiskan sore di rooftop. Bibir mungil dibingkai kumis tipis itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah berada di tepi rooftop. Terlebih lagi dipelukan wanita berambut lurus sepanjang pinggang itu berdiri gadis kecil —buah cinta mereka— yang kini berumur empat tahun.Senyum gadis kecil itu serupa dengan milik Hendra. “Papa,” panggilnya manja.Senyum Hendra kian lebar, bahkan deretan giginya terlihat jelas. Dikecupnya dalam kedua pipi gadis kecil itu bergantian, lalu beralih mengecup samar ubun-ubun istrinya.‘Sungguh hari yang sempurna,’ komentar benaknya bahagia. Ia beralih melihat ke arah lain. Sebuah motor asal Wisconsin menarik perhatiannya. Sangat asing di antara perumahan sederhana ini. Manik matanya berusaha mencari sang pemilik. Dan, berhenti pada sosok laki-laki bersender di depan pagar tepat seberang rumah ini. Keningnya mengernyit jelas kar
Langkah Akbar begitu lebar ketika memasuki rumah sang ibu kandung. Ia tampak tergesa-gesa sampai tidak menyapa asisten rumah tangga dan security yang berpas-pasan dengannya, juga memberikan hormat padanya.“Fia sudah pulang ke rumah.” Suara Putri melapor padanya melalui telepon terngiang kembali.Tanpa berpikir panjang, Akbar segera menyalakan mesin motor menuju rumah ibunya.Rumah luas ini berhasil menghabiskan waktunya hanya untuk menuju kamar Fia, yang berada di ujung lantai dua.Akbar tidak langsung masuk ke kamar. Ia berhenti dulu di depan pintu, berdehem sesaat, lantas mengetuk pintu dalam tiga ketukan. “Fia, kamu di dalam?”Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar terbuka dari dalam. Sosok Fia membuka pintu lebar-lebar. “Ada apa, Om?”“Kamu ....” Dari mana saja? Ingin sekali Akbar menyelesaikan kalimat tanya itu, namun bibirnya terasa kelu. Takut kalau suasana akan sangat canggung. “Kamu ... baik-baik aja, kan?”Fia mendelikkan bahunya. "Aku baik-baik aja. Memangnya kenapa?" tan
“Lena ngga masuk hari ini,” lapor Ana kepada empat orang staffnya di pagi hari menjelang buka toko. “Kebetulan hari ini kuliah kosong, jadi nanti biar gue yang gantiin jadi kasir.” Wibawa sebagai owner Ana kelihatan kalau lagi begini.Tidak semua orang yang tahu bagaimana mengoperasikan komputer kasir. Hanya tiga orang saja, Lena, Diana, dan Efa. Iya, Efa. Kadang dia juga bantu-bantu kalau staff ada yang izin mendadak. “Okay, briefing-nya sampai sini dulu. Sekarang bersih-bersih menjelang satu jam lagi kita buka,” kata Ana mengakhiri briefing pagi hari ini seraya melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Baru jam sembilan pagi. Masih ada satu jam lagi menjelang opening toko.Ana membuka salah satu folding gate biru tosca yang menutupi ruko miliknya. Baru membuka seperempat, ia dikejutkan oleh sosok yang duduk di kursi outdoor.Kedua ujung alisnya menyatu, dilanjutkan oleh hempasan napas pelan. “Ngapain pagi gini dia sudah datang?” gumam Ana keheranan.“Dari aku datang tadi,
Nisha berdiri menyender di tepi dinding sambil melihat Ana asyik mengepak paket untuk dikirim nanti malam. “Na, bukannya di sebelah staff kasir lagi off?” tanya Nisha.Ana menoleh sekilas. “Sejak kapan dia ada di sana?” gumamnya yang hanya dapat didengar staff butik yang berada dekat dengannya. Ana baru menyadari keberadaan kakaknya itu di sana. “Aman. Kan ada Efa.”“Terus, anak di bawah umur kamu pekerjakan?! Dasar!”Bukannya merasa bersalah, Ana malah terkekeh. Dia menoleh lagi teringat sesuatu. “O, ya! Kenapa ngga ditemenin tuh dua lelaki. Yang satu kayaknya nungguin Kakak dari tadi, lho.”Nisha mendelikkan bahu. Dia menghampiri Ana untuk duduk di sampingnya. Capek juga ngobrol cuma bisa mandangin punggung doang, ngga bisa lihat raut wajahnya.Staff Nisha agak menjauh setelah memberi ruang untuk atasannya itu duduk.“Males, ih. Ngapain juga?”“Lah, kok bisa-bisanya malas? Tadi Kakak sampe malu-malu gitu kayak abege tanggung baru kenal sama cowok,” ledek Ana.Nisha pun memukul pela
Delapan bulan kemudian...Akbar mendongakkan kepalanya untuk melihat dengan jelas tulisan La Na Restaurant. Bugenvil ungu dan pink menjadi atap lorong yang berujung pada pintu masuk. Dari tatanan gerbangnya yang begini sudah dapat diduga kalau tema desain restoran ini adalah taman tropis.Hanya beralaskan sendal, Akbar masuk ke restoran. Ia disambut oleh seorang waitress perempuan.“Selamat pagi. Ada yang bisa Saya bantu?” tanya waitress dengan tulisan Ema di nametag yang tersemat di dada kanannya.“Saya mau ketemu dengan Andreas.”“Kalau boleh tahu, hubungan Bapak dengan Chef Andreas?” tanya Ema hati-hati, tetap diikuti dengan senyuman.“Saya temannya dari Jakarta. Teman SMA-nya. Dia pasti tahu, bilang saja Akbar yang mencarinya,” jawab Akbar sangat percaya diri.“Baiklah. Kalau begitu, silakan duduk di sini....”“Saya duduk di bar saja,” pinta Akbar karena lebih enak mengobrol di sana daripada meja restoran. Lebih leluasa.“Oh, okay.” Ema mengantarkan Akbar ke meja bar. “Saya pangg
“Ma, Efa pergi dulu. Assala ....”“Tunggu, Fa!” teriakan melengking Nisha sontak menghentikan langkah Efa meninggalkan rumah itu. Gadis remaja beranjak empat belas tahun itu sudah rapi dibalut seragam pramuka. Tidak lupa juga hijab coklat menutupi rambut panjangnya yang digelung.Sekedar informasi, Efa mengenakan hijab tidak hanya di sekolah saja. Tapi juga dalam kesehariannya.Diperintah Nisha? Tidak. Disuruh Firdaus? Impossible. Memangnya laki-laki satu itu pernah peduli dengan perkembangan anak-anaknya?! Efa mengenakan hijab atas kemauan dan inisiatifnya sendiri. Kejadian itu saat Efa masih kelas lima sekolah dasar. Sedari kecil selalu mengikuti apa yang dilakukan oleh Nisha, terutama dalam mengacaukan alat make-up ibunya.“Ma, Efa juga pengenlah pakai jilbab kayak Mama,” cetus gadis kecil itu suatu pagi tatkala dilihatnya sang ibunda tengah bersiap pergi kerja.Nisha menengok pantulan sang anak di cermin. “Kamu yakin, Fa? Karena hijab itu bukan sekedar aksesoris, lho, ya. Bisa