Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
“Firdaus gila, nih,” tuding Eko seenaknya. Suara seraknya membahana di meeting room, yang hanya berisikan dirinya, Firdaus, serta Affan.Mereka tengah menunggu rekan lain berkumpul di ruangan ini. Ada meeting dadakan dari Eko, selaku team leader showroom mobil ini.“Gila kenapa?” tanya Affan karena tidak mengerti apa yang tengah atasannya itu bicarakan.“Dia deketin Bella,” jawab Eko bersemangat.Affan masih mengernyitkan keningnya. Bingung. “Bella siapa, nih?!” Nada suaranya cukup tinggi.Tergurat rasa tidak suka jika Firdaus mendekati wanita lain. Bukan karena ia suka sama rekan kerjanya itu, tapi karena cukup mengenal istri Firdaus. Mereka satu fakultas walaupun berbeda jurusan. Kalau benar Firdaus memiliki wanita lain, Affan akan sangat merasa bersalah jika menutupi hubungan itu. Ia merasa ikut menjadi pengkhianat, dan Affan benci akan hal itu.“Ngga deketin,” kilah Firdaus.“Jangan bohong lo, Us. Gue lihat kemaren elo ngajakin dia pulang bareng abis shift pameran di Botani.” Eko
Senyum, tawa, ramah, ataupun candaan melekat pasti pada sosok Jenisha Munnawaroh. Wanita keturunan Chinese-Sunda ini biasa dipanggil Nisha.Tidak ada yang tidak mengenalnya di kota hujan ini, karena lingkup pertemanannya sangat luas. Mulai dari kelas atas sampai kelas bawah. Mulai dari anak walikota sampai tukang sapu jalanan pun pasti mengenalnya.Dia menikah dengan Firdaus tidak lama berselang setelah Ujian Akhir Nasional diadakan. Ijazah pun belum ada di tangan. Tak luput ia menjadi bulan-bulanan pemilik mulut lemes. Hamil duluan adalah tudingan yang kerap disandangkan pada Nisha.Memang, ia terlalu cepat menikah. Baru delapan belas tahun umurnya kala itu. Namun, itu juga karena kedua orang tua suaminya sudah merestui hubungan mereka setelah hampir satu tahun berpacaran. Orang tua Nisha pun mengiyakan walaupun berat hati.Habis menikah, kebetulan Nisha langsung 'isi'. Seolah membenarkan rumor yang telah beredar selama ini. Namun, ia harus kehilangan sang putra tidak berselang lama
Tiga tahun pernikahannya dengan Firdaus, Nisha sama sekali tidak terpikir jikalau cobaan yang menerpa pernikahannya cukuplah kuat.Firdaus mulai sering pulang malam —paling cepat jam dua belas malam, paling lama pukul setengah empat pagi.Setelah mencari tahu ke semua teman suami yang ia kenal, kini Nisha sudah tahu siapa yang membuat suaminya mengenal salah satu jenis narkotika itu. Dhani. Lelaki dua tahun lebih tua dari Firdaus dan bertubuh tambun. Memang terkenal sangat nakal dan suka main perempuan. Nisha juga mengenal Dhani, kok. Sama sekali tidak menduga kalau kakak kelasnya semasa SMA itu tega menjerumuskan suaminya ke lembah dalam narkoba.Tiap kali ada kesempatan, Nisha menyebar satu paket serbuk putih itu di belakang rumah. Untungnya, Firdaus sama sekali tidak menaruh curiga. Kayaknya dia juga tidak ingat, tuh berapa paket yang tersisa dalam dompet.Selain itu, tiada hentinya Nisha berdo'a siang dan malam, meminta kepada Allah SWt. memberikan hidayah pada suaminya agar kemb
Bukan hal yang sulit buat Nisha mencari tahu siapa wanita yang menelepon ini. Setelah panggilan terakhir, gercep wanita bergigi gingsul itu memeriksa pesan di ponsel suaminya. Sebelumnya dia sama sekali tidak suka membuka ponsel Firdaus, Nisha percaya seratus persen. Tapi, kalau sudah begini, mau tak mau ia harus kepoin isi ponsel.Baru sekali menekan tombol ke bawah, Nisha langsung menemukan nama Dion. Kian ke bawah, kian banyak pesan singkat atas nama Dion. Tanpa pikir dua kali, dia membuka pesan-pesan itu bergantian.‘Hai, Kak. Sudah tidur?’ Pesan pertama yang Nisha baca.‘Penting banget, nih cewek nanyain laki orang sudah tidur apa belum,’ pikir Nisha jutek.Nisha buka lagi pesan yang berikutnya. ‘Masih sakit, Kak? Jangan lupa minum obat, ya.’Nisha lihat tanggal pesan itu baru seminggu yang lalu. Kepala Nisha miring ke kanan, seraya kening berkerut. ‘Kak Firdaus sakit? Kapan? Seingatku terakhir kali dia flu juga dua atau tiga bulan yang lalu.’ Mungkinkah suaminya berbohong demi
Nisha sudah hapal banget jadwal harian suaminya. Seperti pagi biasanya, jam enam pagi Firdaus sudah absen di kamar mandi. Pastinya bersiap pergi bekerja. Di kamar, Nisha gerak cepat meraih ponsel suaminya. Sayangnya dikunci berupa titik-titik. 'Paling pola huruf L,' tebaknya cukup paham cara berpikir suaminya yang simpel. “Tuh, bener, kan?” gumam Nisha senang karena tebakannya betul. Bersemangat, dia duduk di pinggir tempat tidur. Kedua buah hatinya masih terbuai dalam mimpi indah.Fokus, Nisha membuka chat. Ada chat terakhir yang menarik perhatiannya. Pemilik akun itu di save suaminya dengan nama Sahrul. Nisha jelas curiga. Seingatnya, ngga ada, tuh teman Firdaus yang bernama Sahrul. Tapi ngga tahu, deh kalau customer-nya. Berdegup cepat jantung Nisha membaca chat panjang itu.‘Bella, tuh iri banget sama istri Mas. Bangun tidur bisa langsung lihat muka Mas. Bisa nyiapin minum juga sarapan buat Mas. Memang Bella bukan siapa-siapa. Yang Bella punya cuma perasaan sayang dan cinta.’
“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mul
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera