“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.
“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mulutnya sempat menyembur sedikit.“Kakakmu ini punya mata, bolehlah lihat!” balas Nisha kesal. Adiknya ini kalau diajak berantem pastilah nomor satu.“Heish!” Mariya mulai mengeluarkan taringnya bersamaan dengan Diana bersiap membalas ucapan kakaknya. Kalau keduanya tak dihentikan sekarang, pertengkaran ini tak bakal ada habisnya. “Ana, cepat selesaikan sarapannya. Shareefa mau pergi sekolah.”“Ini sudah selesai, Mak,” jawab Diana seraya beranjak berdiri.Mariya memejamkan mata. Menahan emosi. Harus sabar, ya kalau tak mau ada naga lepas nih pagi-pagi.Nisha menatap kepergian adiknya itu masih dengan menggelengkan kepala. Memang Diana sekolahnya masuk siang, tapi masak iya, sih nganter Efa sekolah ngga pakai mandi dulu.“Nis,” panggilan Mariya membuyarkan lamunan anak sulungnya itu.“Ya, Mak?” sahut Nisha seraya menyedokkan air putih ke dalam mulut Bahri. Si kecil ini kalau makan memang lahap banget. Tidak butuh waktu lama, hanya setengah jam saja, nasi lauk hati ayam dan tumis toge-wortel sudah ludes.Mariya melirik jam dinding. Hampir pukul setengah delapan, tapi anak sulungnya ini masih mengenakan daster dengan rambut dicepol. “Kamu ngga kerja?”“Ngga, Mak. Mata begini, ngga enak mau kerja. Sakit, sih ngga. Cuma agak mengganggu,” jawab Nisha, lantas membereskan piring dan menuju dapur.Sebenarnya Nisha menghindari kecurigaan Mariya. Dia tahu betul pasti ada yang mengganjal di benak Emak-nya melihat bengkak di matanya. Tapi, dia belum mau bercerita. Dia tak bisa membayangkan betapa patah hati kedua orang tuanya nanti.🥀🥀Muhammad Firdaus Al-Attar anak kedua dari Prof. H. Bakhtiar Qadir Al-Attar dan Salma Ranggawuni. Ayahnya, yang biasa dipanggilnya Baba, merupakan seorang yang cukup disegani terutama di kampusnya. Karena merupakan salah satu pelopor pembangunan kampus Islam tersebut. Cukup tua memang sudah umur beliau, sudah memasuki kepala tujuh namun tetap menjabat sebagai dekan.Siapa bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya? Ada juga buah yang menggelinding jauh. Contohnya saja Firdaus. Ayahnya sangatlah cerdas, pendalaman agamanya bagus sekali, dan tetap menuntut ilmu walaupun usia sudah dimakan uzur. Beda banget sama anaknya yang sulit menerima pelajaran, suka bergaul sama anak bandel biar terkesan keren, dan tidak terlalu giat mencari ilmu.“Us, uruslah S2. Nanti kalau mau jadi dosen biar Baba yang urus. Terpenting, S2 aja dulu,” pinta Bakhtiar suatu hari lebih ke sebuah permohonan.Awalnya Firdaus tidak mengindahkan permintaan Ayahnya itu. Dia lebih mementingkan belajar sebagai seorang disk jockey.“Kak, mumpung ada waktu luang, nih. Lebih baik Kakak selesaikan S2 aja dulu. Nanti Nisha pasti bantuin,” bujuk istrinya kala mereka melewati kampus tempat kuliah dahulu.Pada akhirnya Firdaus menyetujui untuk mengenyam pendidikan magister itu. Tentu saja dengan bantuan sang istri. Nisha-lah yang lebih sibuk mengurus bahan tesis ke sana dan kemari, padahal bukanlah jurusannya. Dia Ekonomi, sementara suaminya fakultas Hukum. Mulai dari mencari referensi, mencari orang yang bisa meng-translate, dan lainnya hingga sidang tesis. Bahkan, Nisha ikut berfoto dengan dosen-dosen yang menguji suaminya itu.Cukup cepat, dua tahun kemudian Firdaus berhasil menyandang gelar Magister. Kalau saja Nisha tidak membantunya, mungkin ia butuh dua tahun lagi untuk selesai.Untuk gelar S1 saja lebih dahulu Nisha selesai, lho. Padahal, dia harus mengurus Shareefa saat membuat skripsi. Tapi, karena tekadnya kuat akhirnya ia bisa lulus walaupun butuh waktu lima tahun menyandang gelar Sarjana itu.Akan tetapi, seperti tak menghargai perjuangan sang istri yang selalu mendukungnya dari nol, Firdaus tega bermain hati dengan perempuan lain.Benar, ia jatuh cinta pada Nisha. Istrinya pun tetap cantik sama seperti masa sekolah dulu. Namun, perasaan sepuluh tahun yang lalu itu tak berapi-api seperti dahulu lagi. Bosan, kah? Atau, jenuh?Bagai bunga di gurun pasir tandus, Bella berhasil membangkitkan gejolak perasaan akan cinta dalam benak Firdaus.Jalan berdua, berpegangan tangan, keliling kota tanpa tujuan yang jelas, bermesraan sambil sembunyi-sembunyi adalah gejolak cinta anak muda yang telah lama menghilang dalam pikiran Firdaus. Ya, kini hadir kembali berkat Bella.Perasaan yang pada awalnya hanya main-main saja berubah menjadi perasaan sayang. Dia merasa enggan jauh-jauh dari kekasih barunya itu. Sepertinya ia tak sanggup menghirup udara jika tak bisa melihat Bella barang sehari saja.Sikap manja Bella itu tidak ditemukannya di diri Jenisha. Istrinya adalah wanita mandiri. Dia bisa cek kehamilan sendiri ke dokter, bisa mengurus anaknya sendiri, pokoknya menangani segala macam masalah seorang diri. Tak pernah sekali pun istrinya menggayut manja tangannya seraya berujar, “Kak, temenin aku makan siang, ya. Aku kesepian. Aneh kalau ngga makan tanpa Kakak.” Justru, sekarang kekasih barunya yang bersikap seperti itu.“Mau ke mana, Us?” tanya Eko karena begitu melihat gawai, Firdaus yang tengah asyik bercengkrama dengan beberapa salesman bergegas beranjak pergi.Firdaus berbalik. “Mau ketemu pacar, dong,” sahutnya seraya mengerling.Eko geleng-geleng kepala. Terserah, sih baginya Firdaus mau pacaran dengan berapa banyak wanita pun, yang terpenting grafik penjualan tidak menurun. Ini sudah dua bulan sahabat sejak SMA-nya itu ngga jualan, lho.“Terlalu asyik pacaran kali,” timpal Affan seolah bisa membaca pikiran team leader-nya ini.Eko terkejut, menoleh ke arah Affan. “Hebat banget Bella bisa bikin Firdaus lupa akan dunianya. Istrinya, anaknya,” tambah lelaki berkulit hitam manis itu.“Dulu, di mana ada Nisha pasti ada Firdaus. Sekarang malahan di mana ada Firdaus, ada Bella. Aneh, aku ngga terbiasa dengan ini,” ucap Affan masih tidak suka dengan hubungan terlarang antara Firdaus dan Bella.“Mereka pasti sudah jauh, ya?” tebak Eko mulai menghibah.“Pastilah. Tau sendiri darah apa yang mengalir di tubuh Firdaus, terlebih lagi Bella cewek yang bohai, kan? Cocok, deh,” timpal Affan mulai membayangkan yang tidak-tidak.“Eh, itu ....” Omongan Eko terputus. Namun, jawaban terletak di ujung tatapannya.Penasaran, Affan juga melihat ke arah yang sama. Seketika matanya terbelalak bersamaan tangan kanannya menangkup mulutnya yang terperangah kaget.Sementara itu, Firdaus masih tak menyadari hal apa yang membuat kedua rekan kerjanya terkaget-kaget seperti itu. Hatinya terlalu berbunga-bunga dan tidak sabar untuk bertemu kekasih hatinya. Lihat saja senyuman di wajah yang enggan beranjak pergi.“Kak,” panggil seseorang.Firdaus mengangkat wajah setelah membuka pintu kaca showroom. Detik itu juga, senyuman di wajahnya menghilang entah ke mana. Jantungnya seolah berhenti saking kagetnya menemukan sosok istrinya berada di hadapan.Dia lagi tidak bermimpi, ’kan? Benar perempuan berhijab sambil membawa cake ini adalah Jenisha—istrinya? Kalau memang benar, bagaimana dengan Bella yang sudah menanti untuk makan siang dengannya?Bersambung...Jantung Firdaus sempat berhenti berdetak. Terasa seperti mau mati saja. Ini baru yang namanya kejutan sebenar-benarnya. Tak ada dugaan atau kepikiran kalau Nisha bakal hadir siang ini tepat di hadapan.“Mama?” ucap Firdaus bingung. “Ngga kerja?” tanyanya.“Udah minta izin tadi,” jawab Nisha. Tidak lupa sambil mengukir senyum. Harus itu. Tidak ada gunanya toh memamerkan wajah muramnya. Ia juga tersenyum sekilas pada Eko dan Affan, yang membalas dengan canggung.Firdaus mengambil alih cake dari tangan istrinya. “Ini…” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tertera 'Happy 10 Years Anniversary' di atas cake bertahtakan serbuk-serbuk keemasan itu. Saking asyiknya meniti kisah kasih bersama Bella, ia lupa akan hari penting ini.“Bukannya sudah beberapa hari yang lalu?” Kalau diingat tanggalnya, perayaan ini sudah terlambat.Nisha tersentak sekilas. ‘Kak Daus ingat. Terus, kenapa ngga seromantis biasanya? Karena wanita itu?’“Kita makan siang, yuk. Ngga usah jauh-jauh. Di restoran cepat saji
Nisha sudah mulai bisa mengatur perasaannya. Sedikit lega seperti bebannya perlahan terangkat hanya karena sudah mengakui pada Firdaus kalau tahu semua kebusukan suaminya itu. Sesekali tentu saja ia masih menangis, akan tetapi sudah tidak seperti dua minggu silam, saat air matanya mengalir deras tanpa diminta.“Nis, makan melulu,” timpal Mbak Ade ketika melewati rekan satu ruangannya itu.Di ruangan ini ada lima orang karyawan bagian kemahasiswaan. Wanita berhijab panjang ini salah satunya, tugasnya sebagai staff bagian registrasi. Sementara Nisha bagian kemahasiswaan bersama Fadli. Terakhir bagian akademik diisi oleh Yuli dan Yusman.Nisha memang tengah mengunyah mie goreng pedas yang dibelinya di kantin belakang kantor. Telepon ke mamang kantin, langsung datang, deh pesanannya ke atas meja. Keringatnya bercucuran karena sengaja memesan pedasnya sampai level sepuluh.“Habis ini rencananya mau makan mie ayam. Tapi, jeda dulu, lah kira-kira satu jam,” jawab Nisha sambil nyengir, disamb
Nisha duduk di tepi ranjang. Hanya ia seorang diri di kamar. Shareefa tengah bersekolah, kebetulan masuk siang. Sementara Bahri ikut kedua orangtuanya ke rumah A’ Engkus—sepupu Nisha.Tumben-tumbenan Firdaus pulang siang menjelang sore ini. Saat ini dia sedang mandi, sepertinya mau pergi lagi.Nisha mengambil kesempatan ini untuk melihat isi ponsel suaminya. Dengan mudahnya ia menemukan chat antara suaminya dengan wanita rendahan itu.‘Cepatlah kemari, Mas. Aku merindukanmu.’ Itu adalah chat terakhir dari Bella.Tangan Nisha bergetar seperti orang tremor. Ponsel yang dipegangnya juga ikut bergetar. Dada Nisha terasa sesak, hatinya terasa perih sekali begitu mengetahui kalau suaminya membasuh diri hanya untuk bertemu dengan wanita itu.Siulan Firdaus terdengar kian jelas seiring langkahnya kian dekat masuk ke dalam kamar. Namun, Nisha bergeming dari tempatnya.Firdaus terperanjat begitu sadar kalau ponsel di tangan Nisha adalah miliknya. Langsung saja ia rampas. Lebih kagetnya lagi, ta
“Aku ngga rela, Mas diputusin seperti ini,” tolak Bella egois. Ya, harus egois dong. Kalau ngga, mana bisa ia mempertahankan hubungan yang tampak tidak mungkin ini.Firdaus membuang tatapannya keluar mobil. Tangannya bertumpu di dagu. Pantulan wajahnya yang mengguratkan kesedihan terlihat samar dari kaca jendela. Tak ada pemandangan yang menarik di luar. Hanyalah ilalang yang bersiap menyambut embun malam.Firdaus membawa kekasihnya ini berkeliling kota lagi, mencari tempat sepi meskipun jauh. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus saja terkait di antara jemari gemuk Bella. Pikirannya masih kalut bagaimana caranya mengungkapkan kalau dia harus putus dengan Bella.Hingga terucaplah kata itu, “Sayang, kita harus putus,” cetusnya seraya menatap mata bulat Bella cukup dalam.Mulanya mata bulat kecoklatan milik Bella membesar, bergetar hebat seraya berkaca-kaca, lantas menunjukkan sorot mata amarah pada akhirnya.“Apa maksud, Mas? Kita putus?!” tanyanya ingin melepaskan tangan Firdaus, ya
Nisha terduduk di kursinya. Setelah mengeluarkan nada tinggi begitu, perasaannya memang sedikit lega, tapi malah jadi ngga enak sama teman-teman satu kantornya.Fadhil yang duduk bersebelahan dengannya sudah menyuruh Mbak Ade kembali ke mejanya. Nisha itu jarang sekali menunjukkan wajah kusut seperti ini, jadi Fadhil memilih untuk menjauhkan semua orang darinya. Biarkan Nisha untuk tenang terlebih dahulu.Seraya menghela napas panjang, Nisha melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan dari Elza, ada namanya di sana.Nisha pun membuka pesan itu. Keningnya mengernyit. Beberapa buah foto yang dikirimkan oleh Elza sontak membuat jantungnya berdegup kencang.‘Aku ketemu, nih sosmednya Bella. Nih mukanya. Ternyata dia udah nikah, lho. Punya anak laki-laki masih seumuran Bahri kayaknya, sih.’Nisha pun membuka foto pertama. Deretan foto selfie Bella. Salah satunya berada di dalam mobil. Dari bantalan kursi, Nisha bisa mengenali mobil siapa itu. Tentu sa
“Nis, hari ini temenin Mama ke acara peresmian ya.” Suara terakhir dari Firdaus pagi ini ketika menelepon Nisha. Bukan menanyakan keadaan anak-anak apalagi Nisha, tapi malah memberikan tugas. Dikiranya Nisha itu ngga ada kerjaan apa.Tidak ada bosan-bosannya Salma meminta tolong pada menantunya, yang selalu siap kapan saja. Barusan dia menelepon Firdaus. Anak kandungnya itu bilang kalau sedang sibuk sekali, jadi ngga sempat menemani Mama-nya ini. Salma polos aja, sih mengira anaknya itu memang sibuk bekerja, padahal sedang asyik berselingkuh dengan Bella.“Ajak Nisha aja, lah, Ma. Nanti aku telepon dia, suruh antar Mama,” cetus Firdaus sekaligus menolak beberapa saat lalu.Bukan sekali dua kali, sih. Memang ngga pernah malah Firdaus menemani Salma sejak beristrikan Nisha. Selalu istrinya itu yang disuruhnya pergi. Sebenarnya Salma sudah menduga akan jawaban Firdaus itu.Lah, memangnya Salma tak punya anak lain lagi yang menemani? Kok ketergantungan melulu sama menantunya, yang kalau d
Di tahun 2005 pernikahan Nisha dan Firdaus belum satu tahun berjalan. Saat itu Nisha tengah hamil anak pertama mereka, Pratama. Kebetulan baru satu bulan menikah dia langsung hamil. Hal inilah yang dijadikan bahan bully-an beberapa teman sekolahnya, kalau dia hamil duluan sebelum melangsungkan pernikahan.Perutnya membuncit saat mengambil ijazah. Jelas saja menjadi tanda tanya bagi beberapa orang. Nisha berusaha tutup kuping akan semua itu.Namun, nahas. Sang bayi harus pergi terlebih dahulu sebelum sempat menghirup udara selain di rahim ibunya. Baru berumur tujuh bulan, janin malang itu terpaksa dikeluarkan.Malangnya, malah gosip buruk kian beredar. Pasti sudah sembilan bulan, memang sudah waktunya melahirkan, pikir para pemilik lidah setajam silet itu. Itu bayi paling sengaja digugurin, begitulah selentingan yang beredar.Nisha sedih. Bukan hanya karena gosip itu saja, yang membuatnya enggan ke luar rumah, tapi juga kehilangan sang bayi yang seharusnya sudah berada dalam dekapannya
Malam sudah sangat larut saat Firdaus membuka pintu kamar. Walaupun keadaan kamar tidak terlalu terang, namun masih dapat dilihatnya kedua anak mereka tertidur di sisi Nisha. Karena tinggal bersama orang tua, dua bocah kecil itu masih satu kamar dengan mereka.Kepala Firdaus sedikit pusing. Dia baru pulang nge-DJ, tidak lupa menegak segelas-dua gelas minuman alkohol.Malam itu, Bella tidak diajaknya ikut serta karena sedang malas saja membawa kekasihnya itu. Yang ada nanti malah berantem. Belakangan ini ujung-ujungnya ribut kalau bertemu Bella.Bella menuntut waktu lebih bersama Firdaus, sementara lelaki itu masih ingin pulang. Bagaimanapun dia merasakan rindu pada Nisha, walaupun sedikit.Melihat Nisha berbaring hanya mengenakan daster seperti ini, terus diperhatikan wajah istrinya itu, timbullah keinginan untuk memeluknya di benak Firdaus. Mungkin sudah hampir tiga bulan ia tak menafkahi batin istrinya itu karena tengah terlena akan kemolekan Bella.Setelah dilihat-lihat, walaupun
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera