Malam sudah sangat larut saat Firdaus membuka pintu kamar. Walaupun keadaan kamar tidak terlalu terang, namun masih dapat dilihatnya kedua anak mereka tertidur di sisi Nisha. Karena tinggal bersama orang tua, dua bocah kecil itu masih satu kamar dengan mereka.Kepala Firdaus sedikit pusing. Dia baru pulang nge-DJ, tidak lupa menegak segelas-dua gelas minuman alkohol.Malam itu, Bella tidak diajaknya ikut serta karena sedang malas saja membawa kekasihnya itu. Yang ada nanti malah berantem. Belakangan ini ujung-ujungnya ribut kalau bertemu Bella.Bella menuntut waktu lebih bersama Firdaus, sementara lelaki itu masih ingin pulang. Bagaimanapun dia merasakan rindu pada Nisha, walaupun sedikit.Melihat Nisha berbaring hanya mengenakan daster seperti ini, terus diperhatikan wajah istrinya itu, timbullah keinginan untuk memeluknya di benak Firdaus. Mungkin sudah hampir tiga bulan ia tak menafkahi batin istrinya itu karena tengah terlena akan kemolekan Bella.Setelah dilihat-lihat, walaupun
“Fa, Mama-mu mana? Suruh makan dulu, gih,” tanya sekaligus perintah dari Mariya. Tangannya sibuk menata piring lauk-pauk di atas meja. Setelah ini dia siap pergi, Firdaus biasanya agak sungkan kalau harus makan bersama mertuanya ini.Shareefa yang baru menginjak kelas lima sekolah dasar, tapi gayanya yang acuh tak acuh sekilas membuatnya terlihat lebih dewasa. “Di kamar, Mak. Lagi siap-siap,” jawabnya hanya melepaskan sekilas tatapan dari televisi.O, iya. Shareefa dan Bahri tidak memanggil kedua orang tua Nisha ini sebagai nenek atau kakek, tapi Emak dan Bapak—seperti Nisha dan Ana memanggil mereka. Sudah kebiasaan dari kecil.“Panggil, lah. Suruh sarapan dulu sebelum berangkat ke kantor,” ujar Emak. Muka boleh judes tapi hatinya lembut sekali.Meskipun tengah asyik menonton televisi, Shareefa tetap menuruti perintah Mariya. Kaki jenjangnya melangkah menuju kamar Nisha.“Ma,” panggilnya saat melihat punggung Mama-nya. “Disuruh Emak sarapan,” lapor Efa lagi.Nisha berbalik. Ternyata d
10 tahun yang lalu,Mariya tersenyum tipis memerhatikan anak sulungnya. Sementara itu, dalam gendongannya Diana alias Ana baru berumur dua tahun saat itu. Tidak pernah melepaskan pelukannya sedetik pun. Karena rumah dalam keadaan sangat ramai, jadi ia merasa takut jika jauh dari ibunya.Jenisha penyuka warna biru, mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga cat kamar dan printilan kecil. Bahkan, di hari pernikahannya, tanpa ragu ia pun mengenakan kebaya biru. Make-up tidak terlalu tebal serta monoton. Pada dasarnya dia sudah cantik, jadi make-up tipis ini pas sekali untuknya. Terlihat natural.Begitu pula dengan Makhmud, yang takjub akan kecantikan anak gadisnya itu. Belum puas sebenarnya ia menjalani tugasnya sebagai seorang ayah.Akan tetapi, kedatangan keluarga Bakhtiar dua bulan yang lalu membuatnya tidak bisa berkutik.Jenisha saja sampai kaget sekali melihat kehadiran kekasihnya diikuti oleh orang tua kandung serta keluarga besarnya. Dia sama sekali tak menyangka Firdaus bisa seber
"Nis."Nisha yang baru mau keluar kamar tersentak di tempat. Sosok Mariya di ruang tamu mengagetkannya. Nisha tidak tahu sejak kapan ibu kandungnya itu duduk di sana. Dia kira Mariya sudah pergi ke pasar."Ada apa, Mak?" tanya Nisha seraya melanjutkan langkahnya meletakkan sepatu di depan pintu rumah."Firdaus ada nelpon?"Nisha menggeleng."Jangan telpon-telpon dia. Jaga harga dirimu, Nis.""Tapi, perhiasan itu, Mak?""Biarin aja. Uangnya ngga bakalan berkah. Mak bisa, kok ganti berkali-kali lipat dari yang dia ambil."Nisha menunduk. Dia merasa bersalah karena tidak memerhatikan Firdaus saat berkemas. Padahal, semua itu adalah haknya anak-anak, terutama Efa. "Apa aku kasih tahu Baba sama Mama aja, ya, Mak?"Mariya berdiri. "Ngga usah. Jangan sampai kita kayak orang ngemis ke mereka." Kemudian, dia berjalan menuju kamarnya. Sepertinya sudah puas mengeluarkan semua uneg yang mengganjal di dadanya.
Mata Nisha mengerjap seraya menatap Efa. Otaknya bekerja keras mencari alasan yang tepat."Mahasiswa, Fa. Iya, mahasiswa. Ada yang mau ngurus wisuda, tapi bahannya masih kurang," jawab Nisha sambil menganggukkan kepalanya. Efa menatap langsung mata Nisha selang dua detik. Setelah yakin kalau Nisha ngga berbohong, dia kembali larut menonton televisi.Selagi Efa memalingkan muka, Nisha menghembus napas pelan, lega. 'Salah banget aku save nomor ini tadi. Seharusnya ngga usah, buat apa juga nomor itu cewek di save.' Nisha pun langsung menyentuh layar touchscreen ponselnya. Niatnya menyimpan nomor itu supaya tahu kalau Bella yang menelepon, jadi ngga usah diangkat. Sebenarnya ngga penting banget, lah nomor Bella ini.‘Apa diblokir aja, ya? Ini sudah sampai ke tahap ngeselin banget, sih. Nelponin tanpa henti dari tadi.’ Dia pun memutuskan untuk memblokir nomor itu. Demi ketenangan hidupnya.Akan tetapi, lagi-lagi Jenisha salah mendug
“Kenapa datang, sih, Nis?!” sergah Elza emosi. Dia tak bisa membayangkan bagaimana sahabatnya ini menghadapi dua orang paling hina itu seorang diri. Dia ngga habis pikir, kok, mau-maunya, sih Nisha meladeni mereka.Sore ini Nisha meminta waktu Elza untuk bertemu. Sahabatnya itu masih dalam masa cuti melahirkan, jadi masih sempat untuk diajaknya jalan.“Kenapa ngga minta temenin aku, sih, Nis?!” tanya Elza masih kesal. Toh dia juga sering pergi bertiga sama Firdaus. Suami sahabatnya itu juga sudah terbiasa dengan kehadirannya.Nisha melirik bayi perempuan yang baru berumur empat puluh hari dipangkuan Elza. ‘Ya, ngga mungkinlah aku mengajakmu, terus ninggalin si kecil. Punya temen kok aneh-aneh aja pikirannya,’ dumelnya dalam hati.Terburu-buru Elza menyeruput ice coffee latte. Mulutnya sudah tidak sabaran mau protes ini dan itu, namun di lain sisi tenggorokannya terasa kering.Nisha menunggu kata-kata apa saja yang akan dimuntahkan oleh sa
Mobil mungil bewarna silver berhenti di depan lorong buntu. Jalan lorong itu hanya dipergunakan untuk pemilik rumah keluar masuk. Satu mobil ini saja pas-pasan muatnya.Tak terasa Bella sudah sampai di rumah. Padahal, perjalanan dari mall menuju rumahnya ini cukup jauh. Semua karena hatinya tengah berbunga-bunga. Pipinya tak henti bersemu kemerahan tiap kali teringat Firdaus memilihnya daripada istri sahnya itu.‘Hm, awas saja kalau gue dianggap sebagai pelakor. Sorry banget, nih, ya! Suami dia sendiri yang lebih memilih gue, bukan karena gue paksa, lho. Makanya, kalau punya suami itu dijaga baik-baik. Cih!’ omel benak Bella membayangkan jikalau ada sumpah serapah yang keluar dari mulut Nisha. Untungnya, sih ngga.“Sayang,” panggil Firdaus pelan. Dia memerhatikan Bella memunggunginya sedari tadi. Jangan-jangan wanita itu marah karena kata-katanya yang ngga mau bercerai dari Nisha. Bella menoleh. Terpampang wajah datar tanpa ekspresi. “Ya?”
“Hah.” Helaan itu terdengar cukup jelas keluar dari mulut Nisha. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan sebelum memantapkan diri terarah ke depan. Tepat ke sebuah gedung diapit oleh bank daerah dan Bappeda provinsi, gedung pengadilan agama.Jemari Nisha menggenggam lebih erat map di pelukan. Lalu, mengambil langkah lebar mendekati pintu masuk.Dia berhenti setelah masuk gedung itu. Tertulis Pelayanan Satu Pintu Pengadilan Agama. Dia pun celingak-celinguk, memerhatikan isi ruangan. Seperti di bank saja ada konter untuk melayani.“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang laki-laki mengenakan pakaian batik. Badannya agak tegap. Dilihat dari radio Ht tersemat diikat pinggang, pastilah dia satpam gedung ini.“Saya mau mengajukan gugatan cerai. Ke mana harus daftarnya, ya?” tanya Nisha.“Silakan ambil nomor antrian dulu, Bu,” ujar lelaki itu menunjuk ke arah mesin setinggi dada di sebelah kanannya.Ada seorang laki-laki yang mendekati mes
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera