Tiga tahun pernikahannya dengan Firdaus, Nisha sama sekali tidak terpikir jikalau cobaan yang menerpa pernikahannya cukuplah kuat.
Firdaus mulai sering pulang malam —paling cepat jam dua belas malam, paling lama pukul setengah empat pagi.Setelah mencari tahu ke semua teman suami yang ia kenal, kini Nisha sudah tahu siapa yang membuat suaminya mengenal salah satu jenis narkotika itu. Dhani. Lelaki dua tahun lebih tua dari Firdaus dan bertubuh tambun. Memang terkenal sangat nakal dan suka main perempuan. Nisha juga mengenal Dhani, kok. Sama sekali tidak menduga kalau kakak kelasnya semasa SMA itu tega menjerumuskan suaminya ke lembah dalam narkoba.Tiap kali ada kesempatan, Nisha menyebar satu paket serbuk putih itu di belakang rumah. Untungnya, Firdaus sama sekali tidak menaruh curiga. Kayaknya dia juga tidak ingat, tuh berapa paket yang tersisa dalam dompet.Selain itu, tiada hentinya Nisha berdo'a siang dan malam, meminta kepada Allah SWt. memberikan hidayah pada suaminya agar kembali menjadi suaminya yang dulu. Ia ingin Firdaus kembali bersikap sayang padanya dan tidak berperilaku macam-macam.Kalau dilihat dari penampilan, rambut Nisha tuh memang sengaja diwarnai blonde gitu. Memang kesukaannya, kok. Pakaiannya juga tidak terlalu tertutup. Tapi, kalau masalah ibadah, insyaAllah, ia tidak lupa menunaikannya. Nisha tahu kalau Firdaus mendapatkan barang haram itu tidaklah gratis. Makanya, dia selalu menyembunyikan uang saku yang diberikan mertua. Di tumpukan baju lemari, buku, bahkan Al-Qur'an. Tapi, entah bagaimana Firdaus selalu dapat menemukannya.Terenyuh hati Nisha tiap kali memeriksa persembunyian uangnya dan selalu berakhir nihil. Manalagi dia tidak memasak di rumah. Untuk makan, biasanya selalu membeli di luar. ‘Makan apa nanti malam, uang saja mulai menipis,’ pikirnya.Satu-satunya jalan adalah pulang ke rumah orang tuanya. Namun, Nisha tidak cerita tentang permasalahannya. Ia tidak mau membuat mereka sedih dan stress. “Nis?” tanya Emak tatkala Nisha hendak menyedok nasi ke piring.“Apa, Mak?”Emak beranjak berdiri setelah mengelus kucing-kucing kesayangannya. “Pipimu kenapa biru?” tanyanya khawatir plus curiga. Awas saja kalau ini perbuatan Firdaus, dia siap memaksa Nisha untuk tinggal di sini. Cerai juga tidak apa-apa. Toh dari awal juga Emak tidak suka kok sama menantunya itu.“Kejedot pintu, Mak,” kilah Nisha santai. Seolah berbohong adalah makanannya sehari-hari.“Betul?”“Iya, Mak. Memangnya Mak kira apa? Dipukul Firdaus gitu?”Emak mengangkat sebelah alisnya. “Siapa tahu.”“Ya ngga, lah, Mak,” bantah Nisha lagi dilengkapi senyuman, padahal hatinya perih bagai teriris pisau tajam. Dia ingin sekali mencurahkan segala isi hatinya, namun tidak bisa demi kebaikan rumah tangganya.Nisha terbiasa memendam perasaan. Dia tetap tertawa jika bersama teman-temannya. Namun, sebenarnya mereka, baik cowok maupun cewek, tahu apa yang terjadi padanya.Terkadang pipinya biru, besok lehernya, dan besoknya lagi lengan. Bukannya mereka bego sampai tidak mau tahu kalau Nisha tengah menderita. Mereka hanya segan untuk menanyakannya langsung.Apalagi ketika Nisha tiba-tiba pulang setelah sampai di kampus. Mau tahu apa yang terjadi? Firdaus mengirimkan pesan singkat kalau minta dimasakkan mie. Luar biasa egoisnya, ya. Childish, tapi Nisha tetap saja setia menuruti suaminya.“Dhani ada nelepon?” tanya Firdaus, baru saja sehabis mandi sore.Nisha menggeleng. Dia berbohong. Tadi Dhani memang menelepon. Nekat. Ia memblokir nomor itu.Sejurus kemudian, Firdaus bersiap-siap hendak pergi.“Kak,” panggil Nisha pelan.“Hm?”“Sampai kapan Kakak kayak gini?” Nisha beranikan diri bertanya demikian. Mau dipukul, terserah, deh. Ia sudah tidak peduli. Tubuhnya pun sudah kebal akan sakit tiap kali Firdaus memukulnya. Tapi, ini patut dicoba, kan?Firdaus berhenti mengenakan kaos, dilanjutkannya setelah paham kalau istrinya sangat serius.“Begini gimana?” tanyanya sok tidak paham.“Nyandu,” jawab Nisha. “Berhenti temui Dhani, Kak. Dia cuma ngasih pengaruh buruk ke Kakak.”Firdaus duduk di hadapan istrinya. “Jadi, mau kamu itu aku di rumah aja? Ngga bergaul dengan siapa-siapa?”Helaan napas Nisha mengudara. “Bukan gitu. Kita sudah tiga tahun menikah. Kalau Kakak nyandu, kian lama kita punya anak.”Tiap kali Nisha hadir di acara keluarga besar suaminya. Ia jengah dikatakan mandul oleh mereka karena belum juga kunjung 'isi' lagi.Padahal, segala upaya sudah dicoba Nisha. Tapi, yang namanya belum rezeki ya bagaimana.Manalagi Firdaus sekarang mulai mengenal obat-obatan terlarang yang memiliki efek samping membuat suaminya tidak subur. Tapi, tidak mungkin Nisha koar-koar tentang perilaku suaminya di depan keluarga besarnya, kan? Sama aja membuka aib sekaligus suaminya tampak rendah di mata mereka.“Anak?” ulang Firdaus bergumam. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk serius melanjutkan keturunan darah Arab-nya. Kebetulan ia adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Dia hanya dua bersaudara, sementara kakaknya adalah seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan dia yang meneruskan marga Arabnya.Entah datangnya dari mana, keinginan Firdaus untuk lepas dari nyandunya kian membesar. Dia mulai menjaga jarak, jarang bertemu dengan Dhani, tidak pernah lagi malah. Selain tidak ada telepon dan pesan singkat masuk, Firdaus juga tidak mau menghubungi duluan.Mungkin ini yang namanya kuasa Allah SWt, pikir Nisha. Hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.Lepas dari kecanduan adalah perjuangan yang tak mudah, sangat berat. Perasaan menginginkan benda haram itu selalu muncul.“Sayang,” panggil Firdaus pelan. Digoyangnya pelan lengan sang istri yang tidur di sisinya.Nisha bergerak sedikit, terbangun. “Ya, Kak?” tanyanya sembari beranjak duduk.“Dingin,” lirih Firdaus.Mata Nisha membelalak menyaksikan suaminya menggigil kedinginan sambil mendekap diri. Wajahnya memutih, pucat, bibirnya bergetar, sementara keringat dingin mengucur deras dari kening.“Dingin, Kak?” tanya Nisha heran. Kedinginan tapi kenapa keringatnya banyak sekali.“Dingin,” ulang Firdaus merangkul dirinya sendiri.Sigap, Nisha bergegas mengambil bed cover dari dalam almari. Dibungkusnya tubuh Firdaus.“Masih dingin,” keluh Firdaus lagi. Tubuhnya masih gemetar.Nisha ambil satu bed cover lagi dari dalam lemari. Dibungkusnya di atas bed cover pertama. Lantas, dipeluknya sang suami.“Yang kuat, ya, Kak,” pintanya sekaligus menyemangati. “Aku tahu kalau Kakak bisa melalui ini.”Dari balik selimut, jemari Firdaus menyentuh lengan istrinya. “Terima kasih, Sayang. Aku ngga akan bisa melalui ini tanpa kamu.”Syukur alhamdulillah, tidak butuh waktu lama bagi Firdaus untuk sembuh dari nyandunya. Dia sehat, tidak lagi menginginkan serbuk putih itu. Sejurus kemudian, sifat kasarnya juga perlahan menghilang. Tidak ada lagi adegan injak- menginjak atau pukul-memukul.Nisha pun lega akhirnya cobaan pernikahan ini bisa dilaluinya walau harus melalui jalan berduri.Firdaus kembali kuliah, yah, walaupun hanya nongkrong doang, masuk kelas kagak. Ngga apa-apa, deh. Bagi Nisha, selama bisa melihat suaminya di depan mata, ia sudah merasa lega.Semester lima, alias memasuki tahun ketiga, Nisha hamil. Dia sama sekali tidak menyangka akan 'isi' di saat kuliah sedang sibuk-sibuknya. Dimana semester ini sudah boleh mengajukan proposal skripsi.“Nis, ikut ngumpulin proposal bulan depan?” tanya Elza, salah satu teman sekelasnya. Mereka baik banget karena mengingatkan Nisha agar tidak tertinggal.“Aku usahakan dulu, ya. Masih mual-mual, nih,” jawab Nisha jujur. Ia tidak mau memberi harapan pada teman-temannya.Walaupun begitu, Nisha tetap rajin ke perpustakaan bersama Elza dan Vika. Dia berusaha untuk bisa mengajukan proposal semester ini juga.Dengan begitu, Nisha pun mulai jarang pergi bareng suaminya. Dia meminjam mobil orang tuanya agar bisa kemana-mana dengan leluasa bersama teman-teman kuliahnya. Firdaus juga sudah mengizinkan.Suatu sore, Nisha pergi bersama suaminya ke rumah salah satu tantenya Firdaus. Kalau sudah di sini, suaminya sibuk di luar berkumpul dengan para sepupu. Dan, Nisha yang supel selalu berhasil mengakrabkan diri dengan keluarga Firdaus.“Nis, itu hape kamu bunyi ngga?” tanya Queensha, gadis berwajah Arab-India yang kental.Nisha menoleh ke sisi kirinya. Getaran ponsel itu terasa sedari tadi, hanya saja ia tak menyangka kalau itu adalah ponsel suaminya.“Dion?” gumam Nisha bingung. Seingatnya, Firdaus tidak memiliki teman bernama Dion. Tanpa keraguan, ia mengangkat panggilan itu.“Ya? Assalamu'alaikum?”“...” Tidak ada jawaban. Hanya suara berisik, seperti suara kendaraan lewat.“Halo?”“Ada Kak Daus?” Suara perempuan! Keraguan di nada terlalu kentara.“Ada. Ini siapa?” tanya Nisha mulai ketus. Dion itu perempuan? Aneh.“Ini siapa?” Suara di seberang panggilan itu mulai percaya diri sampai berani menantang.“Aku istrinya. Kenapa?”“...” Hening lagi.“Halloow?” Nisha mulai sebal, deh orang itu kebanyakan diam.“Aku pacarnya,” lirih suara di ujung sana itu.Deg! Nisha terdiam. Tiba-tiba keheningan menyelimutinya. Ia terkejut tapi ingin marah. Diliriknya ke arah Firdaus, yang asyik tertawa hasil bersenda gurau dengan sanak famili.‘Apa lagi ini, Kak?!’Bersambung...Bukan hal yang sulit buat Nisha mencari tahu siapa wanita yang menelepon ini. Setelah panggilan terakhir, gercep wanita bergigi gingsul itu memeriksa pesan di ponsel suaminya. Sebelumnya dia sama sekali tidak suka membuka ponsel Firdaus, Nisha percaya seratus persen. Tapi, kalau sudah begini, mau tak mau ia harus kepoin isi ponsel.Baru sekali menekan tombol ke bawah, Nisha langsung menemukan nama Dion. Kian ke bawah, kian banyak pesan singkat atas nama Dion. Tanpa pikir dua kali, dia membuka pesan-pesan itu bergantian.‘Hai, Kak. Sudah tidur?’ Pesan pertama yang Nisha baca.‘Penting banget, nih cewek nanyain laki orang sudah tidur apa belum,’ pikir Nisha jutek.Nisha buka lagi pesan yang berikutnya. ‘Masih sakit, Kak? Jangan lupa minum obat, ya.’Nisha lihat tanggal pesan itu baru seminggu yang lalu. Kepala Nisha miring ke kanan, seraya kening berkerut. ‘Kak Firdaus sakit? Kapan? Seingatku terakhir kali dia flu juga dua atau tiga bulan yang lalu.’ Mungkinkah suaminya berbohong demi
Nisha sudah hapal banget jadwal harian suaminya. Seperti pagi biasanya, jam enam pagi Firdaus sudah absen di kamar mandi. Pastinya bersiap pergi bekerja. Di kamar, Nisha gerak cepat meraih ponsel suaminya. Sayangnya dikunci berupa titik-titik. 'Paling pola huruf L,' tebaknya cukup paham cara berpikir suaminya yang simpel. “Tuh, bener, kan?” gumam Nisha senang karena tebakannya betul. Bersemangat, dia duduk di pinggir tempat tidur. Kedua buah hatinya masih terbuai dalam mimpi indah.Fokus, Nisha membuka chat. Ada chat terakhir yang menarik perhatiannya. Pemilik akun itu di save suaminya dengan nama Sahrul. Nisha jelas curiga. Seingatnya, ngga ada, tuh teman Firdaus yang bernama Sahrul. Tapi ngga tahu, deh kalau customer-nya. Berdegup cepat jantung Nisha membaca chat panjang itu.‘Bella, tuh iri banget sama istri Mas. Bangun tidur bisa langsung lihat muka Mas. Bisa nyiapin minum juga sarapan buat Mas. Memang Bella bukan siapa-siapa. Yang Bella punya cuma perasaan sayang dan cinta.’
“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mul
Jantung Firdaus sempat berhenti berdetak. Terasa seperti mau mati saja. Ini baru yang namanya kejutan sebenar-benarnya. Tak ada dugaan atau kepikiran kalau Nisha bakal hadir siang ini tepat di hadapan.“Mama?” ucap Firdaus bingung. “Ngga kerja?” tanyanya.“Udah minta izin tadi,” jawab Nisha. Tidak lupa sambil mengukir senyum. Harus itu. Tidak ada gunanya toh memamerkan wajah muramnya. Ia juga tersenyum sekilas pada Eko dan Affan, yang membalas dengan canggung.Firdaus mengambil alih cake dari tangan istrinya. “Ini…” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tertera 'Happy 10 Years Anniversary' di atas cake bertahtakan serbuk-serbuk keemasan itu. Saking asyiknya meniti kisah kasih bersama Bella, ia lupa akan hari penting ini.“Bukannya sudah beberapa hari yang lalu?” Kalau diingat tanggalnya, perayaan ini sudah terlambat.Nisha tersentak sekilas. ‘Kak Daus ingat. Terus, kenapa ngga seromantis biasanya? Karena wanita itu?’“Kita makan siang, yuk. Ngga usah jauh-jauh. Di restoran cepat saji
Nisha sudah mulai bisa mengatur perasaannya. Sedikit lega seperti bebannya perlahan terangkat hanya karena sudah mengakui pada Firdaus kalau tahu semua kebusukan suaminya itu. Sesekali tentu saja ia masih menangis, akan tetapi sudah tidak seperti dua minggu silam, saat air matanya mengalir deras tanpa diminta.“Nis, makan melulu,” timpal Mbak Ade ketika melewati rekan satu ruangannya itu.Di ruangan ini ada lima orang karyawan bagian kemahasiswaan. Wanita berhijab panjang ini salah satunya, tugasnya sebagai staff bagian registrasi. Sementara Nisha bagian kemahasiswaan bersama Fadli. Terakhir bagian akademik diisi oleh Yuli dan Yusman.Nisha memang tengah mengunyah mie goreng pedas yang dibelinya di kantin belakang kantor. Telepon ke mamang kantin, langsung datang, deh pesanannya ke atas meja. Keringatnya bercucuran karena sengaja memesan pedasnya sampai level sepuluh.“Habis ini rencananya mau makan mie ayam. Tapi, jeda dulu, lah kira-kira satu jam,” jawab Nisha sambil nyengir, disamb
Nisha duduk di tepi ranjang. Hanya ia seorang diri di kamar. Shareefa tengah bersekolah, kebetulan masuk siang. Sementara Bahri ikut kedua orangtuanya ke rumah A’ Engkus—sepupu Nisha.Tumben-tumbenan Firdaus pulang siang menjelang sore ini. Saat ini dia sedang mandi, sepertinya mau pergi lagi.Nisha mengambil kesempatan ini untuk melihat isi ponsel suaminya. Dengan mudahnya ia menemukan chat antara suaminya dengan wanita rendahan itu.‘Cepatlah kemari, Mas. Aku merindukanmu.’ Itu adalah chat terakhir dari Bella.Tangan Nisha bergetar seperti orang tremor. Ponsel yang dipegangnya juga ikut bergetar. Dada Nisha terasa sesak, hatinya terasa perih sekali begitu mengetahui kalau suaminya membasuh diri hanya untuk bertemu dengan wanita itu.Siulan Firdaus terdengar kian jelas seiring langkahnya kian dekat masuk ke dalam kamar. Namun, Nisha bergeming dari tempatnya.Firdaus terperanjat begitu sadar kalau ponsel di tangan Nisha adalah miliknya. Langsung saja ia rampas. Lebih kagetnya lagi, ta
“Aku ngga rela, Mas diputusin seperti ini,” tolak Bella egois. Ya, harus egois dong. Kalau ngga, mana bisa ia mempertahankan hubungan yang tampak tidak mungkin ini.Firdaus membuang tatapannya keluar mobil. Tangannya bertumpu di dagu. Pantulan wajahnya yang mengguratkan kesedihan terlihat samar dari kaca jendela. Tak ada pemandangan yang menarik di luar. Hanyalah ilalang yang bersiap menyambut embun malam.Firdaus membawa kekasihnya ini berkeliling kota lagi, mencari tempat sepi meskipun jauh. Sepanjang perjalanan, jemarinya terus saja terkait di antara jemari gemuk Bella. Pikirannya masih kalut bagaimana caranya mengungkapkan kalau dia harus putus dengan Bella.Hingga terucaplah kata itu, “Sayang, kita harus putus,” cetusnya seraya menatap mata bulat Bella cukup dalam.Mulanya mata bulat kecoklatan milik Bella membesar, bergetar hebat seraya berkaca-kaca, lantas menunjukkan sorot mata amarah pada akhirnya.“Apa maksud, Mas? Kita putus?!” tanyanya ingin melepaskan tangan Firdaus, ya
Nisha terduduk di kursinya. Setelah mengeluarkan nada tinggi begitu, perasaannya memang sedikit lega, tapi malah jadi ngga enak sama teman-teman satu kantornya.Fadhil yang duduk bersebelahan dengannya sudah menyuruh Mbak Ade kembali ke mejanya. Nisha itu jarang sekali menunjukkan wajah kusut seperti ini, jadi Fadhil memilih untuk menjauhkan semua orang darinya. Biarkan Nisha untuk tenang terlebih dahulu.Seraya menghela napas panjang, Nisha melirik ke arah ponselnya yang bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar. Pesan dari Elza, ada namanya di sana.Nisha pun membuka pesan itu. Keningnya mengernyit. Beberapa buah foto yang dikirimkan oleh Elza sontak membuat jantungnya berdegup kencang.‘Aku ketemu, nih sosmednya Bella. Nih mukanya. Ternyata dia udah nikah, lho. Punya anak laki-laki masih seumuran Bahri kayaknya, sih.’Nisha pun membuka foto pertama. Deretan foto selfie Bella. Salah satunya berada di dalam mobil. Dari bantalan kursi, Nisha bisa mengenali mobil siapa itu. Tentu sa
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera