“Firdaus gila, nih,” tuding Eko seenaknya. Suara seraknya membahana di meeting room, yang hanya berisikan dirinya, Firdaus, serta Affan.
Mereka tengah menunggu rekan lain berkumpul di ruangan ini. Ada meeting dadakan dari Eko, selaku team leader showroom mobil ini.“Gila kenapa?” tanya Affan karena tidak mengerti apa yang tengah atasannya itu bicarakan.“Dia deketin Bella,” jawab Eko bersemangat.Affan masih mengernyitkan keningnya. Bingung. “Bella siapa, nih?!” Nada suaranya cukup tinggi.Tergurat rasa tidak suka jika Firdaus mendekati wanita lain. Bukan karena ia suka sama rekan kerjanya itu, tapi karena cukup mengenal istri Firdaus. Mereka satu fakultas walaupun berbeda jurusan.Kalau benar Firdaus memiliki wanita lain, Affan akan sangat merasa bersalah jika menutupi hubungan itu. Ia merasa ikut menjadi pengkhianat, dan Affan benci akan hal itu.“Ngga deketin,” kilah Firdaus.“Jangan bohong lo, Us. Gue lihat kemaren elo ngajakin dia pulang bareng abis shift pameran di Botani.” Eko bersikukuh dengan bukti yang dilihatnya di depan mata."Okay. Gue cuma penasaran aja seperti apa Bella itu," jawab Firdaus santai. Seringai meremehkan juga melengkapi pernyataannya. Seolah mengatakan kalau tidak mungkinlah dia suka sama seorang sekelas Bella -yang dicap wanita murahan.“Jadi, seperti apa dia menurut lo?” tanya Eko penasaran.“Biasa saja. Sok punya harga diri tinggi, mungkin untuk nutupin sifat manjanya. Suaranya agak manja mendesah gimana gitu,” jawab Firdaus. Ia mencoba mengingat rupa Bella, namun yang terlintas malah kemolekan wanita itu.“Hold on. Alon-alon,” mohon Affan. “Ini ngomongin Bella SPG kompetitor itu?” tanyanya dengan mata hampir mencuat keluar.“Iya, Bambang,” jawab Eko kesal. “Kemana aja, sih pikirannya?” dumelnya bergumam.Lototan Affan beralih ke arah Firdaus. “Tapi, beneran kau cuma penasaran, kan?” Untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu, jantung Affan cukup berdetak kencang daripada biasanya.Firdaus pukul pelan lengan Affan demi meyakinkannya. “Ya, iyalah. Kalau serius, sudah kuminta nomor hape-nya dari kemarin,” timpal Firdaus bersikeras.Sejurus kemudian, rekan kerja mereka mulai berdatangan. Affan bergegas duduk di kursi belakang, sementara Firdaus memilih tetap di tempat duduknya sekarang ini.Firdaus bisa melihat sekilas Affan yang mengernyitkan keningnya, lantas beralih pada Eko yang memulai rapat pagi menjelang siang ini.Tiba-tiba ponsel Firdaus berbunyi, seperti suara celupan air. “Sorry,” ucapnya singkat ke arah Eko. Dia tahu suara sekecil apapun akan mengganggu suasana meeting.Dia ubah suara panggilan dan notifikasi menjadi getar, lalu membuka chat yang masuk.‘Ini Firdaus, sales itu, kan? Apa kabar? Sehat, kan? Kenapa sampai hari terakhir ngga ada di pameran?’Kening Firdaus berkerut. Siapa ini? Kenapa ingin tahu sekali keberadaannya saat ini? Pentingkah? Kenal nomornya juga tidak, pikir lelaki berumur tiga puluh tahun itu.‘Maaf, ini siapa, ya?’Selesai mengetikkan balasan, Firdaus kembali memerhatikan Eko menerangkan pencapaian sales mereka yang baru tiga puluh persen bulan ini. Padahal, akhir bulan tinggal dua minggu lagi.Getaran ponsel kembali memeca konsentrasi Firdaus.‘Ini Bella, Mas. Yang satu pameran dengan Mas. Sudah ingat?’Ow! Kaget benak Firdaus mengetahui siapa yang mengirimkan chat ini. Ia tidak menyangka kalau Bella cukup berani menghubunginya duluan.Seiring kepalanya kembali tegak, muncullah seringai di sudut bibirnya. Sebagai seorang pria ada kebanggaan tersendiri dalam benak jika ada wanita mengejar-ngejar dirinya.Firdaus cukup piawai. Dia mengerti strategi menggaet wanita. Bukan hanya Bella yang dekat dengannya. Ada beberapa gadis lain sebelumnya. Jika mengingat mereka, terbersit sedikit kerinduan di benak untuk menikmati keasyikan pacaran diam-diam itu.‘Nanti saja aku balas chat Bella. Biar dia penasaran,’ cetus batin Firdaus licik.Hampir satu jam berlalu, meeting ini belum juga kunjung selesai. Firdaus kembali menunduk, mengetik di layar gawainya.‘Oh, Bella. Iya. Masih ingat, kok. Ada apa, Bel?’ Balasnya sok tidak tahu tujuan chat itu.Cukup cepat balasan yang Firdaus terima daripada chat yang pertama.‘Besok bisa makan siang bareng?’Firdaus mendesis. ‘Sungguh wanita yang berterus terang,’ pujinya salut. ‘Atau, terlalu terburu-buru?’ lanjut benaknya meragu.‘Besok? Baiklah. Nanti aku info lagi, ya.’Firdaus terlihat puas setelah mengirimkan balasan itu. Mengiyakan tapi juga tidak memberi kepastian. Agak jual mahal dikit, lah supaya Bella kian penasaran.Besoknya, jam satu siang sesuai janji, Bella dan Firdaus bertemu. Foodcourt di Botani Square, tempat yang sama dengan mereka makan siang tempo hari saat bertugas di pameran mobil.Firdaus sengaja datang terlambat, tak mau terlihat tertarik dengan janji ini.Sementara itu, Bella duduk dengan gelisah di sofa empuk itu. Sesekali ia memanjangkan leher menatap pintu masuk foodcourt, namun tak terlihat juga sosok yang ditunggu.Dia sampai kebawa mimpi semalam, dinner bareng lelaki beristri dan beranak dua itu. Ya, Bella tidaklah lupa akan status lelaki itu. Dia akan mengkonfirmasinya langsung dengan Firdaus.Tatkala Bella menoleh ke pintu masuk foodcourt, dilihatnya sosok Firdaus baru hendak masuk. Ia pun langsung membuang muka. Berpura-pura tidak tahu kedatangan pria itu. Ditatanya sedemikian rupa detak jantungnya yang menggila.Sedangkan Firdaus bisa langsung menemukan sosok Bella dari kejauhan. Seragam kantor membalut ketat raga wanita seksi yang agak berisi itu.“Hai, sudah lama?” tanya Firdaus sok santai, seraya duduk di sofa hadapan Bella.“Ngga. Baru sampai, kok,” bohong Bella. Padahal, ya, sudah satu jam dia duduk seorang diri di sini. Lihat aja ice lemon tea-nya sudah lenyap setengah gelas.Bella biarkan Firdaus memesan makanan sebelum diinterogasinya.“Ada apa kamu mau ketemu sama aku?” tanya Firdaus belagak pilon. Namun, ia sulit untuk menyembunyikan senyum penuh kemenangan itu.Bella meraih gawainya. Dibukanya medsos pria itu. Lantas, didorongnya pelan gawai ke arah Firdaus. “Ini, Mas, kan?"Firdaus melongok, mencondongkan bahunya ke depan. ‘Gercep juga dia. Langsung kepoin medsos gue.’Firdaus kembali menempelkan punggungnya ke sofa. “Iya. Memangnya kenapa?” Tidak ada gunanya juga ia berbohong, apalagi mengelak. Bukti sudah di depan mata.“Mas sudah beristri juga punya anak, tapi masih deketin aku?” tanya Bella. Ditahan emosinya agar tidak tersirat kalau ia sempat mengharap.Firdaus terkekeh, lantas tertawa terbahak-bahak.Dengan kening mengernyit, Bella mengumpat lewat tatapan matanya. ‘Kenapa dia malah ketawa begini, sih?! Dia mempermainkanku?’"Sorry, sorry." Firdaus berusaha mengatur sikapnya. Tawanya mulai terhenti. “Aku merasa lucu saja dengan pertanyaanmu barusan. Memangnya selama ini kamu main sama perjaka? Tidak, kan? Mereka juga orang-orang yang punya keluarga di rumah.”Mendadak tenggorokan Bella terasa sakit. Dia bagai meneguk batu kerikil padahal kenyataannya hanya air ludah biasa.“Kamu ngga usah mengelak. Semua orang sudah tahu tentang sepak terjangmu,” imbuh Firdaus saat dilihatnya Bella menarik napas, bersiap mengeluarkan pembelaan.Ya, memang sudah rahasia umum bagi sesama sales mobil kalau Bella kerap kali staycation dengan customernya demi deal penjualan mobil.Bella buang muka seraya melipat kedua tangan di dada. “Terus? Mas sengaja mendekatiku?”“Kenapa? Ngga boleh?” tantang Firdaus.Bella terdiam. Dia tahu betul jawabannya akan menjadi penentu masa depannya kelak.“Aku terserah padamu, Bel. Bukan berarti aku menganggapmu murahan, tapi memang begitu kan kenyataan yang ada?" imbuh Firdaus santai.Bella menarik napas perlahan, berusaha dijernihkannya otak untuk sesaat. Lantas, dihempasnya cukup pelan.“Mas ngga masalah dengan itu?” tanya Bella hati-hati sekaligus mengharap.Firdaus mendelik. “Sama sekali ngga.”“Baiklah. Setidaknya aku akan mencoba hubungan ini daripada penasaran,” jawab Bella kemudian.Masa bodohlah apa yang terjadi ke depan. Masa bodoh juga dengan harga diri, toh ia tak punya itu. Pokoknya sekarang ia ingin tahu perasaan apa yang mengganggu benaknya ini. Betulkah kalau ini jatuh cinta? Sudah lama sekali ia tak mengalaminya, sudah lupa akan rasanya.Firdaus menyeruput espresso-nya seraya melirik Bella. Tatapan matanya turun ke bawah, ke bagian dada. ‘Kesempatan itu akan datang,’ ujar benaknya menasehati agar bersabar sebentar lagi.Semenjak hari itu, Bella dan Firdaus lebih intens bertemu. Mereka saling melepaskan birahi di mana saja. Kadang mereka berkeliling kota hingga ke tempat sepi hanya untuk mengusir rasa haus kerinduan.City car silver ini pulalah saksi bisu akan keganasan mereka saat bergerumul di dalamnya.Bella tidak pernah merasakan hasrat menggebu-gebu dari seorang pria seperti Firdaus ini. Apa ini karena lelaki itu keturunan Arab, nikmatnya sungguh luar biasa. Membuatnya kecanduan setiap hari.Sementara itu, penjualan Bella jelas menurun karena tidak lagi bisa ditiduri customernya. Begitu juga dengan Firdaus, terlalu sibuk pergi berdua selingkuhannya hingga hilang fokus mencapai target.Ponsel Firdaus berbunyi malam itu. Seperti bunyi celupan air. Dua kali. Tapi, itu berhasil membuat ia terbangun.Sebelum membuka chat, dilihatnya jam menunjukkan pukul satu dini hari. Walaupun mengantuk, tetap saja ia berusaha membaca chat yang masuk. Dari Bella.‘Mas, aku rindu. Aku iri pada istrimu yang bisa tidur di sisimu. Aku juga ingin tidur semalaman berdua hanya dengan Mas.’Firdaus tersenyum. Diliriknya sang istri di sebelahnya yang masih tidur. Lantas, bangkit perlahan. Sekuat tenaga diusahakannya supaya derap kaki telanjangnya tidak menimbulkan suara.Tempat yang Firdaus tuju adalah garasi. Garasinya terbuka berada di depan rumah. Di sekat sebelah ada mobil kijang lama milik istrinya, ah lebih tepatnya milik mertuanya. Sekedar info, mereka masih satu rumah dengan orang tua istrinya.Firdaus masuk ke dalam mobil. Dinyalakannya mobil, supaya bisa menikmati pendingin udara. Dibukanya sekitar satu centi kaca pintu, supaya kabin minim gas karbondioksida serta udara tidak pengap.Butuh lima menit ia berada di posisi ini. Rumah mertuanya memang cukup luas. Jarak antar ruangan memang lumayan lebar.Tidak menunggu lebih lama lagi, Firdaus segera saja menghubungi Bella.Hanya dua kali nada tunggu, panggilannya langsung disambut mesra Bella. “Mas,” lirihnya manja sedikit mendesah.“Mas juga rindu padamu, Sayang,” ucap Firdaus lembut.“Kapan kita bisa tidur malam bersama. Aku juga ingin tidur sambil memeluk Mas sampai pagi,” rengek Bella. Masih diunggulkannya gaya bicara manja itu.“Sabar, Saya...”Tok-tok-tok. Terdengar ketokan di kaca mobil, tepat di sisi kanan Firdaus, memecah keheningan tengah malam.Refleks, Firdaus menoleh. Matanya membelalak melihat siapa yang ada di luar.Jenisha, istrinya!Bersambung...Senyum, tawa, ramah, ataupun candaan melekat pasti pada sosok Jenisha Munnawaroh. Wanita keturunan Chinese-Sunda ini biasa dipanggil Nisha.Tidak ada yang tidak mengenalnya di kota hujan ini, karena lingkup pertemanannya sangat luas. Mulai dari kelas atas sampai kelas bawah. Mulai dari anak walikota sampai tukang sapu jalanan pun pasti mengenalnya.Dia menikah dengan Firdaus tidak lama berselang setelah Ujian Akhir Nasional diadakan. Ijazah pun belum ada di tangan. Tak luput ia menjadi bulan-bulanan pemilik mulut lemes. Hamil duluan adalah tudingan yang kerap disandangkan pada Nisha.Memang, ia terlalu cepat menikah. Baru delapan belas tahun umurnya kala itu. Namun, itu juga karena kedua orang tua suaminya sudah merestui hubungan mereka setelah hampir satu tahun berpacaran. Orang tua Nisha pun mengiyakan walaupun berat hati.Habis menikah, kebetulan Nisha langsung 'isi'. Seolah membenarkan rumor yang telah beredar selama ini. Namun, ia harus kehilangan sang putra tidak berselang lama
Tiga tahun pernikahannya dengan Firdaus, Nisha sama sekali tidak terpikir jikalau cobaan yang menerpa pernikahannya cukuplah kuat.Firdaus mulai sering pulang malam —paling cepat jam dua belas malam, paling lama pukul setengah empat pagi.Setelah mencari tahu ke semua teman suami yang ia kenal, kini Nisha sudah tahu siapa yang membuat suaminya mengenal salah satu jenis narkotika itu. Dhani. Lelaki dua tahun lebih tua dari Firdaus dan bertubuh tambun. Memang terkenal sangat nakal dan suka main perempuan. Nisha juga mengenal Dhani, kok. Sama sekali tidak menduga kalau kakak kelasnya semasa SMA itu tega menjerumuskan suaminya ke lembah dalam narkoba.Tiap kali ada kesempatan, Nisha menyebar satu paket serbuk putih itu di belakang rumah. Untungnya, Firdaus sama sekali tidak menaruh curiga. Kayaknya dia juga tidak ingat, tuh berapa paket yang tersisa dalam dompet.Selain itu, tiada hentinya Nisha berdo'a siang dan malam, meminta kepada Allah SWt. memberikan hidayah pada suaminya agar kemb
Bukan hal yang sulit buat Nisha mencari tahu siapa wanita yang menelepon ini. Setelah panggilan terakhir, gercep wanita bergigi gingsul itu memeriksa pesan di ponsel suaminya. Sebelumnya dia sama sekali tidak suka membuka ponsel Firdaus, Nisha percaya seratus persen. Tapi, kalau sudah begini, mau tak mau ia harus kepoin isi ponsel.Baru sekali menekan tombol ke bawah, Nisha langsung menemukan nama Dion. Kian ke bawah, kian banyak pesan singkat atas nama Dion. Tanpa pikir dua kali, dia membuka pesan-pesan itu bergantian.‘Hai, Kak. Sudah tidur?’ Pesan pertama yang Nisha baca.‘Penting banget, nih cewek nanyain laki orang sudah tidur apa belum,’ pikir Nisha jutek.Nisha buka lagi pesan yang berikutnya. ‘Masih sakit, Kak? Jangan lupa minum obat, ya.’Nisha lihat tanggal pesan itu baru seminggu yang lalu. Kepala Nisha miring ke kanan, seraya kening berkerut. ‘Kak Firdaus sakit? Kapan? Seingatku terakhir kali dia flu juga dua atau tiga bulan yang lalu.’ Mungkinkah suaminya berbohong demi
Nisha sudah hapal banget jadwal harian suaminya. Seperti pagi biasanya, jam enam pagi Firdaus sudah absen di kamar mandi. Pastinya bersiap pergi bekerja. Di kamar, Nisha gerak cepat meraih ponsel suaminya. Sayangnya dikunci berupa titik-titik. 'Paling pola huruf L,' tebaknya cukup paham cara berpikir suaminya yang simpel. “Tuh, bener, kan?” gumam Nisha senang karena tebakannya betul. Bersemangat, dia duduk di pinggir tempat tidur. Kedua buah hatinya masih terbuai dalam mimpi indah.Fokus, Nisha membuka chat. Ada chat terakhir yang menarik perhatiannya. Pemilik akun itu di save suaminya dengan nama Sahrul. Nisha jelas curiga. Seingatnya, ngga ada, tuh teman Firdaus yang bernama Sahrul. Tapi ngga tahu, deh kalau customer-nya. Berdegup cepat jantung Nisha membaca chat panjang itu.‘Bella, tuh iri banget sama istri Mas. Bangun tidur bisa langsung lihat muka Mas. Bisa nyiapin minum juga sarapan buat Mas. Memang Bella bukan siapa-siapa. Yang Bella punya cuma perasaan sayang dan cinta.’
“Nis,” panggil Mariya. Keriput di kening kian tampak kala berkerut.“Ya, Mak,” sahut Nisha disela-sela menyuapi anak keduanya makan.“Kok matamu bengkak gitu?” tanya Mariya heran. Mata Nisha sudahlah sipit seperti dirinya, bengkak pula di bagian kelopak atas dan bawah, yang ada malah tampak seperti garis.“Ngga tahu, nih, Mak. Bangun tidur tadi sudah begini,” jawab Nisha. Sudah pasti berbohong.“Digigit semut kali, Mak. Makanya, kalau mau tidur tuh bersihin dulu tempat tidurnya,” celetuk Diana, adik bungsu Nisha yang baru kelas dua SMA.“Kau ini!” Nisha mengangkat tangan kanannya seolah hendak memukul adiknya itu.Diana membalas dengan juluran lidah, lantas kembali menikmati acara televisi.Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya ini. Diana tengah sarapan dengan rambut lurus tergerai, lutut naik sebelah macam duduk di warung kopi, dan makan sambil berbunyi. Cowok mana yang mau naksir gadis semrawutan begitu.“Apa lihat-lihat?!” tantang Diana. Nasi dalam mul
Jantung Firdaus sempat berhenti berdetak. Terasa seperti mau mati saja. Ini baru yang namanya kejutan sebenar-benarnya. Tak ada dugaan atau kepikiran kalau Nisha bakal hadir siang ini tepat di hadapan.“Mama?” ucap Firdaus bingung. “Ngga kerja?” tanyanya.“Udah minta izin tadi,” jawab Nisha. Tidak lupa sambil mengukir senyum. Harus itu. Tidak ada gunanya toh memamerkan wajah muramnya. Ia juga tersenyum sekilas pada Eko dan Affan, yang membalas dengan canggung.Firdaus mengambil alih cake dari tangan istrinya. “Ini…” Ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tertera 'Happy 10 Years Anniversary' di atas cake bertahtakan serbuk-serbuk keemasan itu. Saking asyiknya meniti kisah kasih bersama Bella, ia lupa akan hari penting ini.“Bukannya sudah beberapa hari yang lalu?” Kalau diingat tanggalnya, perayaan ini sudah terlambat.Nisha tersentak sekilas. ‘Kak Daus ingat. Terus, kenapa ngga seromantis biasanya? Karena wanita itu?’“Kita makan siang, yuk. Ngga usah jauh-jauh. Di restoran cepat saji
Nisha sudah mulai bisa mengatur perasaannya. Sedikit lega seperti bebannya perlahan terangkat hanya karena sudah mengakui pada Firdaus kalau tahu semua kebusukan suaminya itu. Sesekali tentu saja ia masih menangis, akan tetapi sudah tidak seperti dua minggu silam, saat air matanya mengalir deras tanpa diminta.“Nis, makan melulu,” timpal Mbak Ade ketika melewati rekan satu ruangannya itu.Di ruangan ini ada lima orang karyawan bagian kemahasiswaan. Wanita berhijab panjang ini salah satunya, tugasnya sebagai staff bagian registrasi. Sementara Nisha bagian kemahasiswaan bersama Fadli. Terakhir bagian akademik diisi oleh Yuli dan Yusman.Nisha memang tengah mengunyah mie goreng pedas yang dibelinya di kantin belakang kantor. Telepon ke mamang kantin, langsung datang, deh pesanannya ke atas meja. Keringatnya bercucuran karena sengaja memesan pedasnya sampai level sepuluh.“Habis ini rencananya mau makan mie ayam. Tapi, jeda dulu, lah kira-kira satu jam,” jawab Nisha sambil nyengir, disamb
Nisha duduk di tepi ranjang. Hanya ia seorang diri di kamar. Shareefa tengah bersekolah, kebetulan masuk siang. Sementara Bahri ikut kedua orangtuanya ke rumah A’ Engkus—sepupu Nisha.Tumben-tumbenan Firdaus pulang siang menjelang sore ini. Saat ini dia sedang mandi, sepertinya mau pergi lagi.Nisha mengambil kesempatan ini untuk melihat isi ponsel suaminya. Dengan mudahnya ia menemukan chat antara suaminya dengan wanita rendahan itu.‘Cepatlah kemari, Mas. Aku merindukanmu.’ Itu adalah chat terakhir dari Bella.Tangan Nisha bergetar seperti orang tremor. Ponsel yang dipegangnya juga ikut bergetar. Dada Nisha terasa sesak, hatinya terasa perih sekali begitu mengetahui kalau suaminya membasuh diri hanya untuk bertemu dengan wanita itu.Siulan Firdaus terdengar kian jelas seiring langkahnya kian dekat masuk ke dalam kamar. Namun, Nisha bergeming dari tempatnya.Firdaus terperanjat begitu sadar kalau ponsel di tangan Nisha adalah miliknya. Langsung saja ia rampas. Lebih kagetnya lagi, ta
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera