“Shareefa! Cepat! Mama ada acara launching ini!” Teriakan melengking Nisha dari pintu depan itu terdengar hingga kamar Efa yang ada di bagian belakang. Jemari gadis tanggung itu sempat terhenti saat memasukkan jilbab ke kepala. Perlahan, ia menurunkan jilbab hingga wajahnya terlihat.“Hah?! Kok Mama udah siap? Bukannya tadi masih pakai daster doang sambil tiduran natap dinding?” tanya Efa pada dirinya sendiri. Nisha memang sudah bilang dari semalam kalau jam setengah tujuh kurang harus siap berangkat. Tapi, tadi jam enam kurang sepuluh menit, Efa sempat mengintip ke dalam kamar Nisha. Penasaran juga, emangnya Mama lagi apa, pikirnya. Pas dilihat, ternyata lagi tiduran sambil mainin rambut ngeliat langit-langit kamar.‘Oh, berarti Mama ngga buru-buru banget, dong,’ simpul Efa seraya memutuskan tidak akan terlalu cepat mempersiapkan diri. Santai aja. Tapi, sekarang jam enam lewat dua puluh menit, malahan Nisha sudah siap duluan. Mencengangkan buat Efa. Kapan mama-nya itu siap-siapnya
“Ini, Om helmnya,” ucap Aksa sambil menyodorkan helm yang tadi dikenakannya. Jam tujuh pas dia sudah sampai di sekolah. Berkat Andreas juga yang siap sedia mengantarnya.Padahal, dia sudah menolak untuk diantarkan. Ya, daripada Andreas bertemu lagi sama Efa.Andreas menerima helm itu. Namun tatapannya tidak fokus. Manik matanya menjelajah ke seluruh tempat di luar gerbang sekolah itu. “Cari siapa, Om?” tanya Aksa bingung.“Efa. Kok belum kelihatan?”Aksa mengernyitkan keningnya, tangannya berlipat di dada. Persis seperti Efa kalau juteknya mulai kambuh. “Ngapain Om nyariin Efa?”Andreas menghentikan tatapannya pada Aksara, lantas tertawa kecil melihat tingkah polah keponakannya. “Kenapa? Kamu cemburu?”Lantas, Aksa menurunkan tangannya. “Ngga! Siapa yang cemburu?!” kilahnya tapi terlalu kentara bohongnya.“Ngga gitu, Sa. Biasanya kalau kamu nyampe, barengan sama dia. Mungkin karena Om sudah terbiasa dengan kehadirannya, jadi aneh aja kalau ngga ngeliat Efa di sini.”Aksa menghela nap
Mata Almira turun naik berulang kali. Bola mata kecoklatan itu terus mengikuti tangan Efa yang sedang menyendok sambal ke dalam mangkuk bakso. “Stop!” pinta Almira sambil menghentikan tangan Efa yang hendak menyendok sambal untuk ketiga kalinya.Efa memelototinya namun menuruti kemauan Almira itu. Lantas, sibuk mengaduk sambal menyatu dengan bakso di mangkuk.“Kenapa elo makan yang pedes-pedes? Bukannya ngga suka, ya?” tanya Bianca heran.“Gue lagi pengen aja. Supaya hilang ini perasaan kesal gue.” Almira dan Bianca saling pandang. Memang sepanjang pelajaran sebelum keluar main pertama ini, Efa sangat ketus, pertanda kalau hatinya dalam suasana yang kurang baik.Efa mencicipi kuah bakso, hendak memeriksa setajam apa rasa pedasnya. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Dalam sekejap ia terbatuk karena rasa pedas itu menyerang sampai ke hidungnya.“Efa!” teriak Almira dan Bianca hampir bersamaan. Panik melihat wajah Efa yang mendadak kemerahan dan matanya mulai berair.Tiba-tiba ada segelas es teh dile
“Kenapa? Kenapa tidak ada yang menahannya?!” sergah Akbar setelah bosan sendiri mengusap rambutnya dan mulai mengusut. Kepalanya pusing karena keponakan satu-satunya kembali berhasil melarikan diri.Susah payah dia menemukannya, tapi kini harus menjauh lagi dari jangkauannya. “Kenapa kalian ngga ada yang menghargai jerih payahku membawanya kembali ke sini?!”Putri-ibu kandung Fia memejamkan matanya sesaat ketika Akbar meneriakinya. Berbanding terbalik dengan Anita-ibu dari keduanya yang tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap duduk dengan punggung tegak juga raut wajah angkuh itu.Suara Akbar itu menggelegar di ruang tengah yang bisa langsung terlihat dari lantai dua itu. Bahkan, dua orang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan lantai dua bisa mendengar jelas teriakan penuh amarah itu.“Aku sama sekali ngga menyangka kalau dia berencana kabur lagi. Beberapa hari ini dia terlihat baik-baik saja,” sahut Putri tidak terima dirinya disalahkan. “Bahkan aku meluangkan waktu supaya bis
“Lihat, tuh.” Ana menunjuk sesuatu di luar butik dengan dagunya.“Apa, Bun?” tanya Efa dari balik gadgetnya.“Itu ... anak-anak punk.”Efa melihat ke arah luar. Empat orang anak remaja tanggung berpakaian lusuh, agak nge-rock metal khas anak punk tengah mengamen di depan Cuko. Salah seorangnya tampak berambut panjang, postur tubuhnya yang lebih mungil dari ketiga teman cowoknya menegaskan kalau ia adalah seorang cewek remaja.“Kenapa memangnya mereka?” tanya Efa antara peduli dan tidak.“Kalau kamu ngga belajar yang bener, jadi begitu, tuh.”“Bunda ngutuk Efa?” Muka Efa berubah masam. “Kapan aku belajar ngga bener, Bun?”“Itu ... kemarin sampai Mama dipanggil guru ke sekolah,” ungkit Ana.Efa menghembus napas cukup kentara. “Kalau itu mah cuma sama guru satu itu aja, males.”“Emang segitu nyebelinnya?”“Banget, Bun,” jawab Efa agak bersemangat. Gadgetnya mulai agak diturunkan.“Tapi, kata Mama ganteng, lho,” celetuk Ana berusaha mengingat hari itu ketika Nisha mempertanyakan kenapa Ef
Berbeda dengan kemarin yang teramat terik, hari ini tidak terlalu cerah, tidak pula terlalu mendung. Cuaca yang sempurna untuk menghabiskan sore di rooftop. Bibir mungil dibingkai kumis tipis itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah berada di tepi rooftop. Terlebih lagi dipelukan wanita berambut lurus sepanjang pinggang itu berdiri gadis kecil —buah cinta mereka— yang kini berumur empat tahun.Senyum gadis kecil itu serupa dengan milik Hendra. “Papa,” panggilnya manja.Senyum Hendra kian lebar, bahkan deretan giginya terlihat jelas. Dikecupnya dalam kedua pipi gadis kecil itu bergantian, lalu beralih mengecup samar ubun-ubun istrinya.‘Sungguh hari yang sempurna,’ komentar benaknya bahagia. Ia beralih melihat ke arah lain. Sebuah motor asal Wisconsin menarik perhatiannya. Sangat asing di antara perumahan sederhana ini. Manik matanya berusaha mencari sang pemilik. Dan, berhenti pada sosok laki-laki bersender di depan pagar tepat seberang rumah ini. Keningnya mengernyit jelas kar
Langkah Akbar begitu lebar ketika memasuki rumah sang ibu kandung. Ia tampak tergesa-gesa sampai tidak menyapa asisten rumah tangga dan security yang berpas-pasan dengannya, juga memberikan hormat padanya.“Fia sudah pulang ke rumah.” Suara Putri melapor padanya melalui telepon terngiang kembali.Tanpa berpikir panjang, Akbar segera menyalakan mesin motor menuju rumah ibunya.Rumah luas ini berhasil menghabiskan waktunya hanya untuk menuju kamar Fia, yang berada di ujung lantai dua.Akbar tidak langsung masuk ke kamar. Ia berhenti dulu di depan pintu, berdehem sesaat, lantas mengetuk pintu dalam tiga ketukan. “Fia, kamu di dalam?”Tidak berapa lama kemudian, pintu kamar terbuka dari dalam. Sosok Fia membuka pintu lebar-lebar. “Ada apa, Om?”“Kamu ....” Dari mana saja? Ingin sekali Akbar menyelesaikan kalimat tanya itu, namun bibirnya terasa kelu. Takut kalau suasana akan sangat canggung. “Kamu ... baik-baik aja, kan?”Fia mendelikkan bahunya. "Aku baik-baik aja. Memangnya kenapa?" tan
“Lena ngga masuk hari ini,” lapor Ana kepada empat orang staffnya di pagi hari menjelang buka toko. “Kebetulan hari ini kuliah kosong, jadi nanti biar gue yang gantiin jadi kasir.” Wibawa sebagai owner Ana kelihatan kalau lagi begini.Tidak semua orang yang tahu bagaimana mengoperasikan komputer kasir. Hanya tiga orang saja, Lena, Diana, dan Efa. Iya, Efa. Kadang dia juga bantu-bantu kalau staff ada yang izin mendadak. “Okay, briefing-nya sampai sini dulu. Sekarang bersih-bersih menjelang satu jam lagi kita buka,” kata Ana mengakhiri briefing pagi hari ini seraya melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Baru jam sembilan pagi. Masih ada satu jam lagi menjelang opening toko.Ana membuka salah satu folding gate biru tosca yang menutupi ruko miliknya. Baru membuka seperempat, ia dikejutkan oleh sosok yang duduk di kursi outdoor.Kedua ujung alisnya menyatu, dilanjutkan oleh hempasan napas pelan. “Ngapain pagi gini dia sudah datang?” gumam Ana keheranan.“Dari aku datang tadi,