“Pak Akbar, ikut, yuk,” ajak Bu Fauziah dari dalam mobilnya.Akbar mendekat seraya mengendarai motornya. Kaca helmnya terangkat. “Ke mana, Bu?”“Makan-makan,” jawab Bu Hidayati yang ada di kursi samping Bu Fauziah.“Anak bujang juga ngapain di rumah. Ayoklah. Itu Si Feri juga ikut.”Sesuai informasi Bu Fauziah, Akbar melihat ke arah Feri yang sedang bersiap di atas motornya. Guru olahraga yang masih berstatus honor itu memang penurut kalau sudah disuruh atau diajak oleh tetua di sekolah ini. Untuk apa lagi kalau bukan digunakan sebagai seksi dokumentasi.Karena merasa sedikit kasihan juga sama Feri, yang nantinya hanya seorang diri di antara perempuan-perempuan hebat ini, Akbar pun memutuskan ikut. Toh, ia sedang tidak ada jadwal lain hari ini. Bosan juga hanya di rumah seorang diri.Ternyata ibu-ibu yang sebagian besar hampir mendekati umur pensiun ini memilih tempat makan yang digandrungi anak muda, malah kian hits setiap tahunnya. Al-Attar Restaurant Cafe.Saat mereka tiba belum te
“Pak Akbar?!” seru Nisha seraya terperangah kaget. Ini benar-benar suatu kebetulan bertemu dengan Akbar di tempat ini, juga pada moment yang kurang baik ini.Nisha sempat memalingkan wajahnya sesaat. ‘Kenapa dia harus melihat kejadian memalukan ini, sih?’“He?” Akbar menatap balik Nisha, ia pun tersenyum tipis. Lantas, menatap tangannya yang menggenggam lengan Firdaus. ‘Subhanallah, kenapa tanganku terlalu ringan sampai selugas itu menangkap tangan orang ini?’Bola mata Firdaus yang semula membulat menatap Akbar, lalu beralih ke arah Nisha. “Kau mengenalnya?” Tersirat kesinisan dibalut kecemburuan yang muncul dalam kalimat itu.Nisha hendak menjawab setelah terdiam beberapa detik. Dia bingung bagaimana menjelaskan tentang Akbar pada Firdaus. Kalau dibilang guru Efa, tapi kenapa sikapnya seperti ini. Kecurigaan mantan suaminya itu pasti kian menjadi.“Oh, pacarmu?” tebak Firdaus seraya menyeringai. Dihempasnya pergelangan tangannya hingga terbebas dari cengkraman Akbar, yang memang ber
“Shareefa! Cepat! Mama ada acara launching ini!” Teriakan melengking Nisha dari pintu depan itu terdengar hingga kamar Efa yang ada di bagian belakang. Jemari gadis tanggung itu sempat terhenti saat memasukkan jilbab ke kepala. Perlahan, ia menurunkan jilbab hingga wajahnya terlihat.“Hah?! Kok Mama udah siap? Bukannya tadi masih pakai daster doang sambil tiduran natap dinding?” tanya Efa pada dirinya sendiri. Nisha memang sudah bilang dari semalam kalau jam setengah tujuh kurang harus siap berangkat. Tapi, tadi jam enam kurang sepuluh menit, Efa sempat mengintip ke dalam kamar Nisha. Penasaran juga, emangnya Mama lagi apa, pikirnya. Pas dilihat, ternyata lagi tiduran sambil mainin rambut ngeliat langit-langit kamar.‘Oh, berarti Mama ngga buru-buru banget, dong,’ simpul Efa seraya memutuskan tidak akan terlalu cepat mempersiapkan diri. Santai aja. Tapi, sekarang jam enam lewat dua puluh menit, malahan Nisha sudah siap duluan. Mencengangkan buat Efa. Kapan mama-nya itu siap-siapnya
“Ini, Om helmnya,” ucap Aksa sambil menyodorkan helm yang tadi dikenakannya. Jam tujuh pas dia sudah sampai di sekolah. Berkat Andreas juga yang siap sedia mengantarnya.Padahal, dia sudah menolak untuk diantarkan. Ya, daripada Andreas bertemu lagi sama Efa.Andreas menerima helm itu. Namun tatapannya tidak fokus. Manik matanya menjelajah ke seluruh tempat di luar gerbang sekolah itu. “Cari siapa, Om?” tanya Aksa bingung.“Efa. Kok belum kelihatan?”Aksa mengernyitkan keningnya, tangannya berlipat di dada. Persis seperti Efa kalau juteknya mulai kambuh. “Ngapain Om nyariin Efa?”Andreas menghentikan tatapannya pada Aksara, lantas tertawa kecil melihat tingkah polah keponakannya. “Kenapa? Kamu cemburu?”Lantas, Aksa menurunkan tangannya. “Ngga! Siapa yang cemburu?!” kilahnya tapi terlalu kentara bohongnya.“Ngga gitu, Sa. Biasanya kalau kamu nyampe, barengan sama dia. Mungkin karena Om sudah terbiasa dengan kehadirannya, jadi aneh aja kalau ngga ngeliat Efa di sini.”Aksa menghela nap
Mata Almira turun naik berulang kali. Bola mata kecoklatan itu terus mengikuti tangan Efa yang sedang menyendok sambal ke dalam mangkuk bakso. “Stop!” pinta Almira sambil menghentikan tangan Efa yang hendak menyendok sambal untuk ketiga kalinya.Efa memelototinya namun menuruti kemauan Almira itu. Lantas, sibuk mengaduk sambal menyatu dengan bakso di mangkuk.“Kenapa elo makan yang pedes-pedes? Bukannya ngga suka, ya?” tanya Bianca heran.“Gue lagi pengen aja. Supaya hilang ini perasaan kesal gue.” Almira dan Bianca saling pandang. Memang sepanjang pelajaran sebelum keluar main pertama ini, Efa sangat ketus, pertanda kalau hatinya dalam suasana yang kurang baik.Efa mencicipi kuah bakso, hendak memeriksa setajam apa rasa pedasnya. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Dalam sekejap ia terbatuk karena rasa pedas itu menyerang sampai ke hidungnya.“Efa!” teriak Almira dan Bianca hampir bersamaan. Panik melihat wajah Efa yang mendadak kemerahan dan matanya mulai berair.Tiba-tiba ada segelas es teh dile
“Kenapa? Kenapa tidak ada yang menahannya?!” sergah Akbar setelah bosan sendiri mengusap rambutnya dan mulai mengusut. Kepalanya pusing karena keponakan satu-satunya kembali berhasil melarikan diri.Susah payah dia menemukannya, tapi kini harus menjauh lagi dari jangkauannya. “Kenapa kalian ngga ada yang menghargai jerih payahku membawanya kembali ke sini?!”Putri-ibu kandung Fia memejamkan matanya sesaat ketika Akbar meneriakinya. Berbanding terbalik dengan Anita-ibu dari keduanya yang tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap duduk dengan punggung tegak juga raut wajah angkuh itu.Suara Akbar itu menggelegar di ruang tengah yang bisa langsung terlihat dari lantai dua itu. Bahkan, dua orang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan lantai dua bisa mendengar jelas teriakan penuh amarah itu.“Aku sama sekali ngga menyangka kalau dia berencana kabur lagi. Beberapa hari ini dia terlihat baik-baik saja,” sahut Putri tidak terima dirinya disalahkan. “Bahkan aku meluangkan waktu supaya bis
“Lihat, tuh.” Ana menunjuk sesuatu di luar butik dengan dagunya.“Apa, Bun?” tanya Efa dari balik gadgetnya.“Itu ... anak-anak punk.”Efa melihat ke arah luar. Empat orang anak remaja tanggung berpakaian lusuh, agak nge-rock metal khas anak punk tengah mengamen di depan Cuko. Salah seorangnya tampak berambut panjang, postur tubuhnya yang lebih mungil dari ketiga teman cowoknya menegaskan kalau ia adalah seorang cewek remaja.“Kenapa memangnya mereka?” tanya Efa antara peduli dan tidak.“Kalau kamu ngga belajar yang bener, jadi begitu, tuh.”“Bunda ngutuk Efa?” Muka Efa berubah masam. “Kapan aku belajar ngga bener, Bun?”“Itu ... kemarin sampai Mama dipanggil guru ke sekolah,” ungkit Ana.Efa menghembus napas cukup kentara. “Kalau itu mah cuma sama guru satu itu aja, males.”“Emang segitu nyebelinnya?”“Banget, Bun,” jawab Efa agak bersemangat. Gadgetnya mulai agak diturunkan.“Tapi, kata Mama ganteng, lho,” celetuk Ana berusaha mengingat hari itu ketika Nisha mempertanyakan kenapa Ef
Berbeda dengan kemarin yang teramat terik, hari ini tidak terlalu cerah, tidak pula terlalu mendung. Cuaca yang sempurna untuk menghabiskan sore di rooftop. Bibir mungil dibingkai kumis tipis itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah berada di tepi rooftop. Terlebih lagi dipelukan wanita berambut lurus sepanjang pinggang itu berdiri gadis kecil —buah cinta mereka— yang kini berumur empat tahun.Senyum gadis kecil itu serupa dengan milik Hendra. “Papa,” panggilnya manja.Senyum Hendra kian lebar, bahkan deretan giginya terlihat jelas. Dikecupnya dalam kedua pipi gadis kecil itu bergantian, lalu beralih mengecup samar ubun-ubun istrinya.‘Sungguh hari yang sempurna,’ komentar benaknya bahagia. Ia beralih melihat ke arah lain. Sebuah motor asal Wisconsin menarik perhatiannya. Sangat asing di antara perumahan sederhana ini. Manik matanya berusaha mencari sang pemilik. Dan, berhenti pada sosok laki-laki bersender di depan pagar tepat seberang rumah ini. Keningnya mengernyit jelas kar
“Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.
Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em
Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t
“Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s
Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P
Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka
Tidak seramai dulu. Semenjak Mak berpulang, keadaan rumah sudah tidak seceria dulu. Mahmud jarang tersenyum dan bercanda seperti biasa. Ana dan Nisha merasa tidak enak hati kalau harus terlihat bahagia di depan ayah mereka itu. Karena Mahmud pernah menuding mereka tidak sedih akan kepergian Mariya.Ana dan Nisha tidak mampu berkata-kata. Tentu saja mereka sangat sedih juga kehilangan sosok Mariya. Tapi, tidak mungkin harus bersedih setiap hari.Hampir sebulan setelah kepergian Mariya, Nisha mendapatkan telepon yang tidak disangka-sangka. Salma meminta suatu hal darinya.Dengan wajah serius dan mengintip mood Mahmud, yang belakangan ini sulit ditebak, Nisha pun menyampaikan maksud Salma pada ayahnya itu.Wajah Mahmud mulai mengkerut. Nisha menghela napas panjang, sudah siap dengan resikonya. Namun tidak lama kemudian, Mahmud tampak mengangguk dalam sebelum pergi masuk ke kamar.Nisha tersenyum lega. Duduknya pun tidak setegang tadi. Syukurlah kalau Mahmud tidak emosi. Iya, belakangan
Elza tidak ikut sampai ke pemakaman. Dia menunggu di rumah, menunggu Vika yang datang agak telat karena masih menanti sang suami pulang dari sepedaan dengan bapak Walikota.Bukan hanya Elza yang tinggal, Firdaus juga tidak ikut. Iya, ada Firdaus, lho dari tadi. Duduk di bawah pohon mangga bersama beberapa sepupu Nisha juga beberapa keluarganya yang datang melayat, seperti suaminya Queensha.Sedari dia duduk di sana dan beberapa rombongan anak sekolah itu tiba, ada yang menarik perhatian Firdaus. Siapa lagi kalau bukan sosok Akbar, yang duduk di teras. Tergelitik benaknya untuk datang ke sana, tapi seketika sadar kalau dirinya hanyalah mantan suami Nisha.Entah apa yang membuat Akbar melakukannya, yang pasti dia menoleh. Tatapannya pun bertemu dengan Firdaus.Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna siapa pemilik wajah yang cukup familiar itu. Dia tersentak sedikit ketika mengenali Firdaus. Hanya anggukan pelan dan senyuman tipis yang Akbar suguhkan sebelum membuang muka.Andreas me
Lain daripada biasanya, Vespa matic menemani Aksara pergi ke sekolah pagi ini. Warna pink fantanya sungguh kontraksi dengan tato di pergelangan tangan Andreas, yang memboncengi keponakannya itu.“Om, jangan bawa moge,” larang Aksa pagi tadi, pas sekali ketika Andreas baru sehabis memanasi motor dan mengelapnya selembut mungkin. Bagi Andreas, motornya juga harus sempurna karena mau ikut dengannya bertemu Nisha. Lubuk hatinya sangat yakin kalau hari ini mereka berjodoh untuk ketemu.“Lho, kenapa?”“Nanti susah parkirnya, terus, berisik juga,” jawab Aksa. Dan pergi begitu saja menuju kamarnya, tanpa peduli kalau sudah menyisakan tanya di benak Andreas.Namun ketika mendengar penjelasan Aksa selama perjalanan mereka, lenyap sudah rasa kesal Andreas. Yang ada hanyalah keinginan untuk sampai cepat di tujuan.Kertas minyak kuning tiga lapis yang dilekatkan di sebuah kayu yang tampak lembab karena embun pagi, tercagak pasrah di sisi kiri rumah berpagar besi dengan nuansa biru itu.Ada bebera