Ana keluar dari restoran pempek miliknya. Semula tujuannya adalah hendak memanggil Bahri, yang masih saja asyik bermain, padahal matahari tengah beranjak tenggelam.Akan tetapi, sesosok pria tidak terlalu jauh dari pintu butik menarik perhatian Ana. Ia pun datang menghampiri.“Permisi,” panggilnya ramah nan sopan. Sesungguhnya sikap pria itu yang celingak-celinguk tidak jelas sangatlah mengganggu, namun Ana masih bersabar.Pria itu menoleh. Tampaklah buket bunga mawar berada dalam pelukan lengan kanannya.“Cari siapa, ya?” tanya Ana tanpa berbasa-basi. Lebih ke ketus. Tante sama keponakan ngga beda jauh perangainya. Malah, Ana lebih ke tomboi.“Nisha. Ada?”Ana memerhatikan pria itu dari atas hingga bawah. Tidak ada yang minus, semuanya berada di atas rata-rata. Baik wajah tampan, gaya berpakaian yang fashionable, juga posturnya yang tegap. “Oh, Kak Nisha.”Andreas mengangguk mantap. Tersirat kelegaan di raut wajahnya, yang sumringah hanya mendengar nama itu disebut. “Ada?”“Kak Nisha
Dari seluruh restoran atau tempat makan yang ada di muka bumi Bogor tercinta ini, haruskah mantan rekan-rekan kerjanya itu memilih restoran ini? Al Attar Restaurant and Cafe adalah milik suami Queen —yang masih berhubungan darah kental dengan Muhammad Firdaus Al-Attar.Dulu —kala masih menjadi Nyonya Firdaus— restoran yang dipenuhi dengan menu dan dekor ala arabian ini adalah tempat yang dihindari oleh Nisha.Setiap kali dia makan di sini, entah hanya dengan anak-anak atau teman-temannya selalu tidak diperbolehkan membayar oleh Queen. Malah, sering kali ditambahin bungkusan untuk Ana dan Emak. Nisha jadi segan kalau keseringan, makanya mulai jarang datang, padahal menu di sini enak-enak buat disantap.“Nisha! Sini!” suara Ade membahana. Setelah tidak jadi rekan kerja Nisha, dia jadi ramah banget. Mungkin karena ada sejumput kerinduan akan ketidakhadiran Nisha di kantor.Fadli dan teman-temannya menoleh cepat. Tidak menyangka akan kehadiran seseorang yang ternyata sangat terasa jika ia
“Pak Akbar, ikut, yuk,” ajak Bu Fauziah dari dalam mobilnya.Akbar mendekat seraya mengendarai motornya. Kaca helmnya terangkat. “Ke mana, Bu?”“Makan-makan,” jawab Bu Hidayati yang ada di kursi samping Bu Fauziah.“Anak bujang juga ngapain di rumah. Ayoklah. Itu Si Feri juga ikut.”Sesuai informasi Bu Fauziah, Akbar melihat ke arah Feri yang sedang bersiap di atas motornya. Guru olahraga yang masih berstatus honor itu memang penurut kalau sudah disuruh atau diajak oleh tetua di sekolah ini. Untuk apa lagi kalau bukan digunakan sebagai seksi dokumentasi.Karena merasa sedikit kasihan juga sama Feri, yang nantinya hanya seorang diri di antara perempuan-perempuan hebat ini, Akbar pun memutuskan ikut. Toh, ia sedang tidak ada jadwal lain hari ini. Bosan juga hanya di rumah seorang diri.Ternyata ibu-ibu yang sebagian besar hampir mendekati umur pensiun ini memilih tempat makan yang digandrungi anak muda, malah kian hits setiap tahunnya. Al-Attar Restaurant Cafe.Saat mereka tiba belum te
“Pak Akbar?!” seru Nisha seraya terperangah kaget. Ini benar-benar suatu kebetulan bertemu dengan Akbar di tempat ini, juga pada moment yang kurang baik ini.Nisha sempat memalingkan wajahnya sesaat. ‘Kenapa dia harus melihat kejadian memalukan ini, sih?’“He?” Akbar menatap balik Nisha, ia pun tersenyum tipis. Lantas, menatap tangannya yang menggenggam lengan Firdaus. ‘Subhanallah, kenapa tanganku terlalu ringan sampai selugas itu menangkap tangan orang ini?’Bola mata Firdaus yang semula membulat menatap Akbar, lalu beralih ke arah Nisha. “Kau mengenalnya?” Tersirat kesinisan dibalut kecemburuan yang muncul dalam kalimat itu.Nisha hendak menjawab setelah terdiam beberapa detik. Dia bingung bagaimana menjelaskan tentang Akbar pada Firdaus. Kalau dibilang guru Efa, tapi kenapa sikapnya seperti ini. Kecurigaan mantan suaminya itu pasti kian menjadi.“Oh, pacarmu?” tebak Firdaus seraya menyeringai. Dihempasnya pergelangan tangannya hingga terbebas dari cengkraman Akbar, yang memang ber
“Shareefa! Cepat! Mama ada acara launching ini!” Teriakan melengking Nisha dari pintu depan itu terdengar hingga kamar Efa yang ada di bagian belakang. Jemari gadis tanggung itu sempat terhenti saat memasukkan jilbab ke kepala. Perlahan, ia menurunkan jilbab hingga wajahnya terlihat.“Hah?! Kok Mama udah siap? Bukannya tadi masih pakai daster doang sambil tiduran natap dinding?” tanya Efa pada dirinya sendiri. Nisha memang sudah bilang dari semalam kalau jam setengah tujuh kurang harus siap berangkat. Tapi, tadi jam enam kurang sepuluh menit, Efa sempat mengintip ke dalam kamar Nisha. Penasaran juga, emangnya Mama lagi apa, pikirnya. Pas dilihat, ternyata lagi tiduran sambil mainin rambut ngeliat langit-langit kamar.‘Oh, berarti Mama ngga buru-buru banget, dong,’ simpul Efa seraya memutuskan tidak akan terlalu cepat mempersiapkan diri. Santai aja. Tapi, sekarang jam enam lewat dua puluh menit, malahan Nisha sudah siap duluan. Mencengangkan buat Efa. Kapan mama-nya itu siap-siapnya
“Ini, Om helmnya,” ucap Aksa sambil menyodorkan helm yang tadi dikenakannya. Jam tujuh pas dia sudah sampai di sekolah. Berkat Andreas juga yang siap sedia mengantarnya.Padahal, dia sudah menolak untuk diantarkan. Ya, daripada Andreas bertemu lagi sama Efa.Andreas menerima helm itu. Namun tatapannya tidak fokus. Manik matanya menjelajah ke seluruh tempat di luar gerbang sekolah itu. “Cari siapa, Om?” tanya Aksa bingung.“Efa. Kok belum kelihatan?”Aksa mengernyitkan keningnya, tangannya berlipat di dada. Persis seperti Efa kalau juteknya mulai kambuh. “Ngapain Om nyariin Efa?”Andreas menghentikan tatapannya pada Aksara, lantas tertawa kecil melihat tingkah polah keponakannya. “Kenapa? Kamu cemburu?”Lantas, Aksa menurunkan tangannya. “Ngga! Siapa yang cemburu?!” kilahnya tapi terlalu kentara bohongnya.“Ngga gitu, Sa. Biasanya kalau kamu nyampe, barengan sama dia. Mungkin karena Om sudah terbiasa dengan kehadirannya, jadi aneh aja kalau ngga ngeliat Efa di sini.”Aksa menghela nap
Mata Almira turun naik berulang kali. Bola mata kecoklatan itu terus mengikuti tangan Efa yang sedang menyendok sambal ke dalam mangkuk bakso. “Stop!” pinta Almira sambil menghentikan tangan Efa yang hendak menyendok sambal untuk ketiga kalinya.Efa memelototinya namun menuruti kemauan Almira itu. Lantas, sibuk mengaduk sambal menyatu dengan bakso di mangkuk.“Kenapa elo makan yang pedes-pedes? Bukannya ngga suka, ya?” tanya Bianca heran.“Gue lagi pengen aja. Supaya hilang ini perasaan kesal gue.” Almira dan Bianca saling pandang. Memang sepanjang pelajaran sebelum keluar main pertama ini, Efa sangat ketus, pertanda kalau hatinya dalam suasana yang kurang baik.Efa mencicipi kuah bakso, hendak memeriksa setajam apa rasa pedasnya. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Dalam sekejap ia terbatuk karena rasa pedas itu menyerang sampai ke hidungnya.“Efa!” teriak Almira dan Bianca hampir bersamaan. Panik melihat wajah Efa yang mendadak kemerahan dan matanya mulai berair.Tiba-tiba ada segelas es teh dile
“Kenapa? Kenapa tidak ada yang menahannya?!” sergah Akbar setelah bosan sendiri mengusap rambutnya dan mulai mengusut. Kepalanya pusing karena keponakan satu-satunya kembali berhasil melarikan diri.Susah payah dia menemukannya, tapi kini harus menjauh lagi dari jangkauannya. “Kenapa kalian ngga ada yang menghargai jerih payahku membawanya kembali ke sini?!”Putri-ibu kandung Fia memejamkan matanya sesaat ketika Akbar meneriakinya. Berbanding terbalik dengan Anita-ibu dari keduanya yang tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap duduk dengan punggung tegak juga raut wajah angkuh itu.Suara Akbar itu menggelegar di ruang tengah yang bisa langsung terlihat dari lantai dua itu. Bahkan, dua orang asisten rumah tangga yang tengah membersihkan lantai dua bisa mendengar jelas teriakan penuh amarah itu.“Aku sama sekali ngga menyangka kalau dia berencana kabur lagi. Beberapa hari ini dia terlihat baik-baik saja,” sahut Putri tidak terima dirinya disalahkan. “Bahkan aku meluangkan waktu supaya bis