Keluarga Sadewa terlihat bersiap-siap untuk menghadiri rapat tahunan komisaris di Singapura. Ia akan berangkat bersama Robin dan Lucy. Seharusnya mereka pergi berempat, tetapi karena Bryan harus cek up kesehatan dulu jadi akan menyusul. "Bagaimana keadaan di sana, apakah Bara masih mencariku?" tanya Sadewa kepada bodyguardnya. "Menurut laporan sudah tidak lagi, sejak detektif swasta yang disewanya gagal menemukan jejak kita!" jawab bodyguard itu memberitahu. "Bagus, pokoknya Bara jangan sampai tahu kedatangan kita dan pastikan semuanya sudah lengkap, terutama mainan dan baju Robin! Lima menit lagi kita akan berangkat!" seru Sadewa kemudian. Lucy yang juga sudah terlihat rapi segera menemui Sadewa seraya berkata, "Robin tidak mau ikut Pi, anak itu malah menangis. Pusing Mami harus bagaimana lagi membujuknya!" Sadewa tampak heran karena biasanya anak itu sangat menurut. Disuruh dan diajak ke manapun tidak pernah menolak. Entah mengapa kali ini Robin sangat rewel, ditinggal nangis,
Bryan sangat terpukul dan syok sekali ketika melihat kedua orang tuanya kritis di rumah sakit. Apalagi ketika dokter mengatakan harapan hidup keduanya sangat tipis karena luka yang dialami korban sangat parah. Sehingga membuat kesehatan langsung drop."Papi, Mami bangun. Ya Tuhan tolong selamatkan kedua orang tuaku!" lirih Bryan sambil menangis. Tiba-tiba ia tidak sadarkan diri dan langsung mendapatkan perawatan medis. Ketika sampai di rumah sakit, Bara langsung melihat kondisi Sadewa dan Lucy yang memprihatinkan. Kehidupan mereka seolah tergantung dari alat medis yang terpasang. "Ya Allah, aku serahkan semuanya kepadaMu. Aku yakin apa pun yang terjadi nanti adalah takdir terbaik yang Engkau gariskan," doa Bara sambil menitikkan air mata. Bara mulai mencari info tentang korban anak kecil yang kemungkinan adalah Robin. "Untuk korban atas nama Robin belum ditemukan baru bajunya saja di laut dan sampai sekarang polisi masih mencarinya," ujar polisi memberitahu. Bara berharap Robin
Nabilah mulai resah, meskipun Hans sudah memberitahunya kalau Bara sedang ada pekerjaan penting di luar kota. Ia sangat mengenal suaminya, sesibuk apa pun Bara tidak pernah seperti ini. Apalagi sudah seminggu ini belum menyusul juga. Nabilah masih trauma akan kepergian Bara ke Singapura yang tidak kunjung kembali. Mom Sandra juga tampak gelisah, tetapi Hans bisa menyakinkan kalau itu hanya perasaan saja dan tidak perlu dipikirkan. "Tolong beritahu Bilah, Om! Ada apa sebenarnya?" desak Nabilah yang tidak percaya begitu saja. "Kamu bicara sendiri sama Bara ya!" sahut Hans sambil mengeluarkan ponselnya dan ketika tersambung baru diberikan kepada Nabilah. "Halo Abang, katakan ada apa sebenarnya? Abang sedang menyembunyikan sesuatu kan dari Bilah?" tebak Nabilah to the point. "Bilah, Abang baik-baik saja. Tapi memang ada masalah yang sangat rumit dan tidak bisa buru-buru diselesaikan jadi butuh waktu yang tidak sebentar!" sahut Bara yang tahu Nabilah mengkhawatirkannya. Nabilah kemba
"Apa-apaan ini, Bara. Kenapa kamu melakukan seperti ini, apa salahku?" tanya Sam minta penjelasan.Bara tersenyum sinis dan balik bertanya, "Seharusnya aku yang bertanya, Sam. Kenapa kau mengkhianati keluarga Sadewa?""Aku tidak bersalah Lucy adalah dalang semuanya. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku!" ujar Sam membela diri. "Aku tahu, tapi kau tetap bersalah Sam karena turut andil. Gara-gara perbuatan kalian, nyawa Faisal harus melayang. Ibuku menderita amnesia permanen dan aku harus terpisah dengan istriku! Kau masih merasa benar?" sahut Bara dengan lantang.Sam terus berkelit, "Kau tidak punya bukti, kalau aku terlihat Bara!" Soal pembunuhan Faisal tidak akan terungkap karena Sam tidak pernah menyewa detektif swasta sungguhan untuk mengusutnya. Begitupun dengan kecelakaan yang dialami Bara. Sudah direncanakan olehnya dengan matang. Sam adalah mantan tentara ahli strategi yang dipecat karena mengkhianati kesatuannya. Jadi tidak heran rencana Sam selalu berjalan mulus, meskip
Sidang kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Sam berjalan dengan tegang dan panas selama beberapa bulan. Masing-masing pengacara baik dari pihak tersangka maupun korban sama-sama kuat dalam beradu argumen. Sam mendapat bebas dari tuduhan lainnya karena mempunyai alibi yang kuat yaitu menjalankan perintah Lucy saja. Namun, pihak Sam kalah dalam kasus yang terakhir. Di mana Sadewa dan Lucy telah menjadi korbannya yang sampai saat ini masih koma. Belum lagi Robin yang tidak ditemukan. Sehingga hakim memvonis Sam hukuman seumur hidup. "Tidak!" pekik Sam dengan penuh penyesalan, tetapi semua telah terlambat."Aku rasa itu adalah hukuman yang setimpal buat Sam," ujar Bara ketika menghadiri sidang vonis bersama Mom Sandra, Hans dan Bryan. Mom Sandra memberikan pendapatnya, "Seorang pria bisa dikatakan sukses jika sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya, terutama emosi. Bara, Bryan jadikan apa yang telah terjadi sebagai pelajaran hidup kalian!""Iya Mom, terima kasih atas nasehatn
Malam mulai merambat jauh, terdengar suara tangis anak kecil yang memecah keheningan. Tiba-tiba lampu menyala dan seorang pria datang menghampirinya. "Papi," panggil anak itu sambil terisak. "Cup, cup, tenanglah ada Papi di sini!" seru Sadewa sambil menggendong anak itu dengan penuh kasih sayang. Tidak lama kemudian tangis anak itu mereda dan tampak anteng dalam gendongan ayahnya. "Bara sekarang tidur lagi ya!" seru Sadewa sambil merebahkan tubuh mungil putranya di atas kasur.Dengan manja anak itu meminta, "Aku mau tidur sama Papi!" "Ya sudah ayo kita tidur!" ajak Sadewa sambil naik ke atas ranjang. Ia mulai bercerita apa saja agar anaknya cepat mengantuk. "Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" tanyanya sambil menepuk-nepuk paha Bara."Mau jagain Papi," jawab Bara dengan polos. Sadewa tampak tersenyum dan menegaskan, "Bener kamu mau jagain Papi, kalau sudah besar nanti?" Bara tampak mengangguk kecil. "Ayo janji dulu!" serunya sambil mengulurkan jari kelingking. "Aku janji mau
Keesokan paginya setelah pamitan kepada Pak Jamal, dengan diantar oleh Tigor Bara langsung berangkat ke Bandara. Setelah empat belas jam lebih perjalanan, Bara akhirnya sampai di Inggris. Di mana Bryan sudah menunggu untuk menjemputnya di bandara."Keren sekali Kak Bara, tambah macho," puji Bryan yang melihat penampilan Kakaknya sekilas mirip Cah Yaman. Tinggi besar, brewokan dan memakai mantel. "Bisa saja, kamu tuh yang tambah ganteng dan kaya raya lagi. Pasti cewek-cewek pada nemplok kaya koala. Bagaimana kabarmu?" sahut Bara sambil bertanya. Bryan menjawab apa adanya, "Masa sih, aku baik-baik saja Kak, tapi harus minum obat terus.""Ya sudah ayo kita pulang, aku sudah tidak sabar mau bertemu papi!" ajak Bara dengan antusias sekali. Sementara itu di mansion mewah, Sadewa terlihat sedang terbaring di atas kasur. Ia menatap nanar ke arah luar jendela. Sorot netranya memancarkan kesedihan, penyesalan dan kesepian. Hanya suster yang menemaninya setiap hari. Andai bisa memilih Sad
Nabilah tampak terkejut ketika suaminya sudah pulang dari inggris, padahal baru dua hari. Namun, ia tidak berani bertanya karena Bara terlihat begitu lelah. Setelah istirahat dan makan baru mereka memulai pembicaraan."Kenapa sudah pulang, bagaimana kabar papi, Bang?" tanya Nabilah ingin tahu. "Papi baik-baik saja, Abang sudah pulang karena kita mau pindah rumah," jawab Bara yang membuat Nabilah terkejut. "Kita mau pindah ke mana Bang?" tanya Nabilah ketika mendengar keinginan Bara. Selama ini mereka menempati rumah Pak Jamal. "Ke rumah papi dan mami di Jakarta," jawab Bara yang segera menjelaskan alasannya. "Apakah Bilah siap dan bersedia membantu Abang?"Nabilah mengangguk seraya menjawab, "Insya Allah Bilah siap lahir batin mendukung dan menemani Abang untuk menjadi anak yang berbakti." Ia akan mengikuti ke mana pun Bara mengajaknya. "Ya sudah, kamu siap-siap ya, rapikan semua pakaian kita. Abang mau ngomong sama Bapak!" serunya kemudian. Bara segera menemui Pak Jamal dan men