"Apa-apaan ini, Bara. Kenapa kamu melakukan seperti ini, apa salahku?" tanya Sam minta penjelasan.Bara tersenyum sinis dan balik bertanya, "Seharusnya aku yang bertanya, Sam. Kenapa kau mengkhianati keluarga Sadewa?""Aku tidak bersalah Lucy adalah dalang semuanya. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku!" ujar Sam membela diri. "Aku tahu, tapi kau tetap bersalah Sam karena turut andil. Gara-gara perbuatan kalian, nyawa Faisal harus melayang. Ibuku menderita amnesia permanen dan aku harus terpisah dengan istriku! Kau masih merasa benar?" sahut Bara dengan lantang.Sam terus berkelit, "Kau tidak punya bukti, kalau aku terlihat Bara!" Soal pembunuhan Faisal tidak akan terungkap karena Sam tidak pernah menyewa detektif swasta sungguhan untuk mengusutnya. Begitupun dengan kecelakaan yang dialami Bara. Sudah direncanakan olehnya dengan matang. Sam adalah mantan tentara ahli strategi yang dipecat karena mengkhianati kesatuannya. Jadi tidak heran rencana Sam selalu berjalan mulus, meskip
Sidang kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Sam berjalan dengan tegang dan panas selama beberapa bulan. Masing-masing pengacara baik dari pihak tersangka maupun korban sama-sama kuat dalam beradu argumen. Sam mendapat bebas dari tuduhan lainnya karena mempunyai alibi yang kuat yaitu menjalankan perintah Lucy saja. Namun, pihak Sam kalah dalam kasus yang terakhir. Di mana Sadewa dan Lucy telah menjadi korbannya yang sampai saat ini masih koma. Belum lagi Robin yang tidak ditemukan. Sehingga hakim memvonis Sam hukuman seumur hidup. "Tidak!" pekik Sam dengan penuh penyesalan, tetapi semua telah terlambat."Aku rasa itu adalah hukuman yang setimpal buat Sam," ujar Bara ketika menghadiri sidang vonis bersama Mom Sandra, Hans dan Bryan. Mom Sandra memberikan pendapatnya, "Seorang pria bisa dikatakan sukses jika sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya, terutama emosi. Bara, Bryan jadikan apa yang telah terjadi sebagai pelajaran hidup kalian!""Iya Mom, terima kasih atas nasehatn
Malam mulai merambat jauh, terdengar suara tangis anak kecil yang memecah keheningan. Tiba-tiba lampu menyala dan seorang pria datang menghampirinya. "Papi," panggil anak itu sambil terisak. "Cup, cup, tenanglah ada Papi di sini!" seru Sadewa sambil menggendong anak itu dengan penuh kasih sayang. Tidak lama kemudian tangis anak itu mereda dan tampak anteng dalam gendongan ayahnya. "Bara sekarang tidur lagi ya!" seru Sadewa sambil merebahkan tubuh mungil putranya di atas kasur.Dengan manja anak itu meminta, "Aku mau tidur sama Papi!" "Ya sudah ayo kita tidur!" ajak Sadewa sambil naik ke atas ranjang. Ia mulai bercerita apa saja agar anaknya cepat mengantuk. "Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" tanyanya sambil menepuk-nepuk paha Bara."Mau jagain Papi," jawab Bara dengan polos. Sadewa tampak tersenyum dan menegaskan, "Bener kamu mau jagain Papi, kalau sudah besar nanti?" Bara tampak mengangguk kecil. "Ayo janji dulu!" serunya sambil mengulurkan jari kelingking. "Aku janji mau
Keesokan paginya setelah pamitan kepada Pak Jamal, dengan diantar oleh Tigor Bara langsung berangkat ke Bandara. Setelah empat belas jam lebih perjalanan, Bara akhirnya sampai di Inggris. Di mana Bryan sudah menunggu untuk menjemputnya di bandara."Keren sekali Kak Bara, tambah macho," puji Bryan yang melihat penampilan Kakaknya sekilas mirip Cah Yaman. Tinggi besar, brewokan dan memakai mantel. "Bisa saja, kamu tuh yang tambah ganteng dan kaya raya lagi. Pasti cewek-cewek pada nemplok kaya koala. Bagaimana kabarmu?" sahut Bara sambil bertanya. Bryan menjawab apa adanya, "Masa sih, aku baik-baik saja Kak, tapi harus minum obat terus.""Ya sudah ayo kita pulang, aku sudah tidak sabar mau bertemu papi!" ajak Bara dengan antusias sekali. Sementara itu di mansion mewah, Sadewa terlihat sedang terbaring di atas kasur. Ia menatap nanar ke arah luar jendela. Sorot netranya memancarkan kesedihan, penyesalan dan kesepian. Hanya suster yang menemaninya setiap hari. Andai bisa memilih Sad
Nabilah tampak terkejut ketika suaminya sudah pulang dari inggris, padahal baru dua hari. Namun, ia tidak berani bertanya karena Bara terlihat begitu lelah. Setelah istirahat dan makan baru mereka memulai pembicaraan."Kenapa sudah pulang, bagaimana kabar papi, Bang?" tanya Nabilah ingin tahu. "Papi baik-baik saja, Abang sudah pulang karena kita mau pindah rumah," jawab Bara yang membuat Nabilah terkejut. "Kita mau pindah ke mana Bang?" tanya Nabilah ketika mendengar keinginan Bara. Selama ini mereka menempati rumah Pak Jamal. "Ke rumah papi dan mami di Jakarta," jawab Bara yang segera menjelaskan alasannya. "Apakah Bilah siap dan bersedia membantu Abang?"Nabilah mengangguk seraya menjawab, "Insya Allah Bilah siap lahir batin mendukung dan menemani Abang untuk menjadi anak yang berbakti." Ia akan mengikuti ke mana pun Bara mengajaknya. "Ya sudah, kamu siap-siap ya, rapikan semua pakaian kita. Abang mau ngomong sama Bapak!" serunya kemudian. Bara segera menemui Pak Jamal dan men
Bara langsung menghubungi Bryan melalui vidio call untuk memberitahu kalau ayah mereka sudah tiada. Tentu saja kabar itu membuat adiknya sangat terkejut dan syok. "Papi sudah tiada, tadi habis salat subuh beliau telah pergi," ujar Bara dengan suara yang bergetar. "Inalillahi wainnalillahirojiun, ya Allah aku baru mau terbang ke Singapura untuk menghadiri rapat komisaris. Habis itu ke Jakarta, menjenguk Papi. kenapa kakak nggak bilang kalau Papi sakit. Aku pasti pergi dari kemarin?" ucap Bryan dengan suara yang parau. Bara memberikan penjelasan, "Papi tidak sakit, aku pun tidak tahu kalau beliau mau berpulang. Cuma semalaman aku menemaninya yang tidak tidur. Ternyata Papi tidur menjelang pagi untuk selamanya." Mereka kemudian membahas di mana Sadewa akan dikebumikan. Akhirnya Kakak beradik itu sepakat ayah mereka dikuburkan di salah satu pemakaman elit di Indonesia saja. "Sepertinya kami tidak mungkin menguburkan setelah zuhur, kasihan papi kalau kelamaan. Jadi kemungkinan kamu t
Setelah mendapatkan perawatan yang intensif, kondisi Bryan perlahan mulai membaik. Selama di rumah sakit, Bara selalu menemani dan mensuportnya. Agar Bryan siap menerima takdir dan semangat lagi untuk menjalani hidupnya. "Terima kasih sudah merawataku Kak!" ucap Bryan ketika baru saja masuk ke mobil dan meninggalkan rumah sakit. "Aku sudab memutuskan untuk pindah ke Singapura lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan, bisa saja besok aku akan menyusul papi bukan?" ujar Bryan yang pasrah akan takdir hidupnya."Aku yakin kamu akan melakukan yang terbaik. Sekarang papi sudah tidak ada menikahlah dengan Monica. Dia masih menunggumu sampai saat ini!" saran Bara agar Bryan tidak patang asa menjalani kehidupannya. Namun, Bryan menolak usul Bara dan memberikan alasannya, "Aku dan Monica tidak akan bersatu lagi karena keluarganya minta lima puluh persen bagian harta keluarga Sadewa."Bara cukup terkejut mendengarnya dan bertanya, "Kenapa tidak kamu berikan?" "Aku tidak akan membiarkan mere
"Aku ingin mengucapkan bela sungkawa secara langsung kepadamu dan Bara. Tapi sepertinya kehadiranku tidak tepat, maaf sudah mengganggu permisi," ucap Monica yang hendak pergi. "Tidak apa-apa Monica, terima kasih kamu sudah datang. Silahkan duduk!" cegah Bara yang menghargai kedatangan Monica sebagai seorang tamu. "Bilah, tolong buatkan minum ya!" serunya kemudian. Monica segera masuk dan menyalami semua orang yang ada di sana. "Dilanjut ya, kami mau siap-siap buat tahlilan nanti malam!" seru Mom Sandra yang segera meninggalkan tempat itu bersama Hans dan Pak Jamal. Bara juga segera menyusul dengan berkata, "Aku mau bantu Nabilah dulu, takut Robin nakalin adiknya!" Ia ingin memberikan kesempatan Bryan dan Monica bicara dari hati ke hati. Bryan kemudian mengajak Monica ke serambi rumah. Setelah mereka bicara sebentar, Monica pamitan untuk pulang."Mau ke mana Monica, kenapa buru-buru pulang?" tanya Bara yang datang bersama Nabilah sambil membawa suguhan. "Tidak apa-apa, aku turut