Sebulan kemudian. "Mbak Sari saya titip Ani ya, saya mau pulang ke kalimantan, minta tolong barangkali Ani butuh apa-apa," ucap Pak Ustadz ketika datang mengunjungi Ani di rumah sakit. "Oh iya Ustadz inshaAllah, maaf Ustadz kok mendadak sekali keluarga baik-baik saja kan di sana?" tanyaku khawatir. "Alhamdulillah baik, sebenarnya gak mendadak, waktu itu kami sudah merencanakan ingin berziarah ke Bapak, sekalian minta ridhonya Bapak untuk pernikahanku dengan Ani," jawab Pak Ustadz. "Ooh, nggak nunggu Ani sehat biar bisa ikut sekalian?" tanyaku berbasa-basi. "Iya tadinya mau bareng Ani sekalian, tapi kemudian Ani sakit jadi kami menundanya, tapi Ibu katanya ingin berziarah sekarang jadi kami pergi berdua dulu, nanti kalau Ani sudah bisa pergi kami pergi bersama," jawab Pak Ustadz menjelaskan. "Oh Iyah, kapan Ustadz mau berangkat?" tanyaku sopan. "Dari sini saya mau langsung menuju bandara, masih ada waktu 45 menit jadi saya sempatkan jenguk Ani dulu, kalau Ibu sudah berangkat dul
"Assalamu'alaikum... " ucap mas Bagas masuk rumah. "Wa'alaikumussalam," jawabku dengan tetap meneruskan aktifitasku. "Kopi ya Dek," pinta mas Bagas. "Sejak kapan manggilnya Dek lagi," ucapku acuh. "Kok kamu ngomongnya gitu si Dek," ucap mas Bagas seraya mendekat dan memelukku dari belakang. "Awas Mas ah, aku lagi masak susah kalo kamu deket-deket gini," ucapku seraya menyingkirkan tangannya. "Kamu kok pelit amat dipeluk aja, disingkirkan gini," keluh mas Bagas seraya merangkulkan tangannya di pundakku. "Aku lagi masak Mas, susah jadinya, kamu tidur aja sana, kamu udah gak tidur semalaman kan?" usirku dengan halus. Entah kenapa aku masih kesal. Aku merasa jengkel dan gak mau dekat-dekat sama mas Bagas. Mas Bagas baru bangun tidur dan langsung menghampiriku di ruang tengah. "Kamu keliatan capek banget Dek," ucap mas Bagas seraya memijatku.Aku yang sedang melipat pakaian hanya diam menikmati pijatannya. Pijatannya terasa begitu nyaman di pundakku. Akupun merubah posisi duduk
"Jadi maksud dan tujuannya adalah kamu menikahinya lagi?" tanyaku dingin. "Dia itu tidak punya siapa-siapa Dek, aku gak tega membiarkannya Dek," ucap mas Bagas seraya merubah posisi duduknya menghadap ku. "Kenapa harus kamu? dia bisa menikah dengan siapapun kan, gak harus kamu," ucapku dingin seraya membuang muka. “Tentu saja tidak harus denganku jika memang ada orang lain, tapi sekarang orang lain itu sudah tidak ada,” ucapnya tegas. “Tinggal nunggu ada orang lain lagi, laki-laki bukan hanya kamu Mas, gak harus kamu!” jawabku keras. "Karena anak yang dikandungnya adalah anakku, aku masih wajib bertanggung jawab atas anak itu kan?" ucap mas Bagas seraya menggenggam tanganku erat. "Bertanggungjawab gak harus menikahinya kan? kalau memang mau merawat anaknya maka rawatlah tak perlu menikahinya," ucapku kesal seraya melepas genggaman tangannya. "Mana mungkin dia mau menyerahkan anak itu begitu saja, dia orang tua yang tanggung jawab dia pasti akan berusaha merawat dan melindungi a
Kami langsung menuju ruang ICU dan menunggu di depan pintu ruangan. Mas Bagas terus saja mondar-mandir tak tenang. Begitupun aku yang duduk dengan rasa cemas yang tak jelas. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya mas Bagas panik kepada Dokter yang baru ke luar ruang ICU. "Alhamdulillah, sepertinya semangat hidup Bu Anita memang sangat besar, sehingga keadaanya cepat membaik," ucap Dokter lega. "Alhamdulillah, apa kami boleh menjenguknya Dok?" tanya mas Bagas tak sabar. "Kami akan segera memindahkannya ke ruang rawat, Anda boleh menemuinya, nanti setelah di ruang rawat," jawab Dokter menjelaskan. "Baiklah Dok, terimakasih" ucap mas Bagas terlihat lega. "Setelah ini jagalah perasaannya agar tetap tenang dan senang, jauhkan dari berita-berita buruk," ucap dokter berpesan. "Oh iya baik Dok," jawab mas Bagas dengan penuh keyakinan. "Batasi semua informasi yang bisa membuatnya sedih atau cemas, dan sebaliknya berilah berita yang sekiranya membuatnya bahagia dan semangat," ucap Dokter ser
Mas Bagas menyiapkan segala keperluan pernikahan. Termasuk yang mengatur make up Anita. Tak ketinggalan mas kawin juga sudah siap. Meskipun Anita di make up secara sederhana tapi dia terlihat begitu cantik.Entah karena profesionalnya penata make up atau karna pancaran bahagia dari dirinya, atau karna aku begitu iri melihatnya. Anita memakai pakaian biasa karena untuk memudahkan alat-alat medis tetap terpasang.Di ruangan ini ada sepasang calon pengantin, penghulu, Ardi sebagai saksi mas Bagas, Pak Hidayat yang katanya masih sodara jauh Anita sebagai saksi dari pihaknya, aku, Adit, Nisa, dan dua orang art Anita. Awalnya aku pikir aku akan biasa saja menyaksikan semua ini, karena aku berniat meminta mas Bagas menceraikan Anita setelah semuanya membaik. Tapi ketika mas Bagas hendak mengucp ijab qabul air mataku luluh tak terbendung lagi, akupun keluar ruangan. "Mamah sabar ya Mah," ucap Adit seraya memelukku dari samping. "Kenapa kamu ikut ke luar Dit," tanyaku lemah menahan tangi
Ke Sinta lagi. "Bay, kamu gak kangen sama aku," ucapku manja di ruang kerja salah satu toko milik Bayu. Pakaianku yang sengaja ku buat hampir hanya menutupi bagian intinya saja, sudah jelas membuatnya tertarik ingin mencoba milikku. Aku sangat tau keinginannya, meskipun dia takkan menunjukannya secara langsung. Tapi ekspresinya jelas memperlihatkan kalau dia mulai tergoda. "Apa yang bisa membuatku kangen dari kamu, aku bisa menemukan orang sepertimu di manapun," ucap Bayu cuek. "masa? yang bisa seperti ini ada?" ucapku seraya menyentuh area sensitifnya. Aku mulai membuka ikat pinggang dan celananya kemudian memainkan batang keperkasaan miliknya dengan mulutku. Bayu terlihat sangat menikmatinya, dan aku takkan menyia-nyiakan hal seperti ini untuk mendapatkan simpatinya lagi. Untuk kali ini Bayu tak melakukan apa-apa dia cukup hanya menikmatinya sampai puncak. Bahkan dia tidak melakukan apapun untukku merasakan kenikmatan. "Gimana? masih mau nolak enaknya aku?" ucapku dengan
Seharian aku terus bersama Bayu entah berapa kali kami bercinta, Bayu memang punya stamina yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya."Udah sore kamu gak pulang Bay?" tanyaku seraya merapikan meja kerjanya yang begitu berantakan karena menjadi tempat bermain kita tadi. "Kamu sendiri kenapa masih di sini," ucapnya balik tanya. "Aku malas pulang, aku mau ikut kamu aja, aku pulang ke rumahmu ya," pintakku dengan bergelayut manja. "Tapi Rehan kan kenal kamu," ucapnya mencoba menolakku."Justru karna kenal kan, jadi gak perlu cari alesan macem-macem," ucapku meyakinkan. "Trus kamu di rumah mau ngapain?" tanyanya cuek. "Aku mau layanin kamu kalau kamu lagi pengen," jawabku menggoda. "Lagian semua orang juga sudah taukan jadi gak ada lagi yang perlu di tutupi," ucapku merayu. "Aku tau kamu selalu bangun menjelang subuh dan butuh di servis saat itu juga," ucapku seraya mengelus area sensitifnya. "Ok baiklah, kali ini kamu ikut pulang," jawabnya tegas. "Oke ayu," jawabku antusias ser
"Aku pulang dulu ya Mas," ucapku berpamitan pada Mas Bagas. "Iya Sar, aku anterin pulang ya, kamu terlihat sangat capek Sar," ucap mas Bagas seraya bangkit dari duduknya. "Iya Mas," jawabku dengan mengangguk. "Aku tinggal dulu ya An, besok pagi aku datang lagi," ucap mas Bagas seraya mengambil kunci mobil di meja. "Aduh... sakit Mas," rintih Ani seraya memegangi perutnya. "Kamu kenapa An?" tanya mas Bagas panik. "Mulai sakit lagi di sini Mas, tolong usap-usap sebelah sini," ucap Ani seraya mengarahkan tangan mas Bagas ke perut bagian sampingnya. "Ah iyah, kamu sabar ya," ucap mas Bagas seraya duduk di kursi samping ranjang seraya mengusap-usap perut Ani. "Panggilin Dokternya Mas," ucapku memberi perintah pada mas Bagas. "Gak usah Sar, aku cuma butuh di usap sebentar nanti juga mendingan, udah biasa kok," ucap Ani meyakinkan. "Kalo gitu bentar ya Sar, nanti kalau Ani udah mendingan aku antar kamu pulang," ucap mas Bagas. "Sakitnya si kadang-kadang aja, tapi kalau pas lagi sa