"Mas, Rina bilang sudah ada beberapa pelanggan menunggu di depan toko, mau buka jam berapa?" tanyaku pada mas Bagas melalui sambungan telepon. "Aku belum tau nih, aku baru bangun, masih capek banget, kok Rina gak langsung telepon aku ya," jawab mas Bagas di seberang telepon. Terdengar jelas kalau mas Bagas kelelahan, ada rasa sakit di ulu hati, mengingat mereka baru saja resmi menikah kemarin. "Dek, kamu masih di situ?" tanya mas Bagas mengagetkanku. "Oh iya Mas, katanya Rina tadi udah coba telepon beberapa kali tapi gak bisa, makanya telepon ke nomorku," jawabku gelagapan. "Oh gitu, kalau kamu aja yang datang ke toko gimana Dek, mungkin aku nanti nyusul ke toko siangan," ucapnya ngasal. "Kalau mau begitu harusnya kamu bilang dari semalam Mas, atau paling tidak dari subuh tadi kamu udah bilang,” jawabku kesal. “Sekarang aku udah masak banyak mana mungkin aku tinggalin warung," lanjutku emosi. "Ya maaf Dek, akukan udah bilang aku baru bangun, badanku agak gak enak nih," jawab m
Sesampainya di toko. "Maaf Bu membuat lama menunggu," ucapku sopan pada pelanggan. "Iya gak papa Mbak,mas Bagas ke mana Mbak tumben biasanya gak pernah libur," tanya si Ibu. "Mas Bagas lagi gak enak badan Bu, jadi saya yang datang ke toko," jawabku sopan. "Mbak Sari juga kelihatannya kurang sehat agak pucat kayaknya," ujar si Ibu. "Oh apa iya, sepertinya saya cuma capek aja Bu, lagi banyak kerjaan ini," jawabku beralasan. Memang beberapa hari ini aku susah tidur, mungkin karna berbagai masalah yang ku hadapi ahir-ahir ini. "Mas Bagas udah kasih tau kamu mau datang jam berapa belum Rin?" tanyaku pada Rina setelah semua pembeli selesai di layani. "Ooh mas Bagas mau datang ke toko ya Mbak? saya kira gak datang, katanya lagi sakit," jawab Rina bingung. "Siapa bilang mau gak datang, yah dia lagi gak enak badan si, tapi tadi pagi dia bilang kalo udah mendingan mau berangkat, hpku mati jadi gak bisa telepon mas Bagas," jawabku beralasan. "Oh begitu, tadi saya sudah WA mas Bagas kal
"Gimana ceritanya Mbak bisa cerai, ada masalah apa?" tanyaku tak sabar begitu duduk di kafe. "Katanya perempuan itu diuji dengan kemiskinan dan laki-laki itu di uji dengan kekayaan,” jawabnya santai. “Yah begitu, mas Halim gak kuat jadi orang kaya," jawab mbak Niar seraya tersenyum lebar. "Tapi Mbak Niar kok kelihatan happy happy aja sih," tanyaku heran. "Ngapain kita mesti sedih nangis-nangis buat laki-laki model begituan Sar," jawabnya semangat. "Tapi aku masih penasaran deh gimana ceritanya, trus Nurin gak protes Mbak cerai?" tanyaku penasaran. "Malah Nurin yang minta awalnya, dan Nurin bahagia tuh, jadi ya udah aku juga gak mau berlarut-larut," jawabnya mantab. "Kok aku semakin bingung ya, kenapa Nurin bisa minta orang tuanya buat cerai," ucapku benar-benar bingung. "Jadi yang nikah sama mas Halim itu teman sekolahnya Nurin," ucap mbak Niar cuek. "Hah! teman Nurin, masih kuliah?" ucapku kaget. "Iya jadi beberapa semester terahir sampai wisuda tuh biayanya dari mas Halim,
"Tapi aku masih bingung Mbak, apa keputusan berpisah itu benar, takutnya aku salah ambil keputusan kayak dulu lagi," ucapku bingung. "Keadaanya sekarang lain Sar, Bagas sudah beneran cinta sama perempuan itu, dia pasti bakal nurutin apa aja maunya, dan kamu akan terus sakit hati melihat hal itu kan," ucap mbak Niar meyakinkan. "Kalau mas Halim minta balikan lagi, Mbak bakal mau balik gak?" tanyaku serius. "Dia sangat setia ketika miskin tapi begitu kaya dia gak bisa jaga diri, mungkin saja ketika dia nanti bersujud mohon-mohon minta balikan itu karena dia miskin, tobatnya itu karna miskin, ketika kaya lagi bisa aja gak kuat lagi kan," jawab mbak Niar dengan penuh keyakinan. "Bisa jadi karena mas Halim benar-benar menyesal dan pengin memperbaiki semuanya Mbak," ucapku coba membela. "Iya dia akan tobat, karena miskin, kalo udah kaya bakal lupa lagi, padahal aku juga gak mau terus-terusan miskin, dan aku gak mau pusing mikirin pengin miskin tapi suami setia atau kaya suami mendua, p
"Kamu udah enakan Sar?" tanya mbak Niar khawatir. "Alhamdulillah baik kok Mbak, cuma kadang-kadang mual aja," jawabku lemes. "Istirahat aja dulu deh, besok-besok kalo udah baikan kita jalan lagi ya, besok jangan cuma ngopi tapi makan ya, biar gak pingsan lagi," ucap mbak Niar seraya tertawa. "Apa aja okelah pokonya," jawabku dengan menunjukan dua jempol. "Bagas mana? istri sakit malah nungguin istri muda?" tanya mbak Niar sangar. "Mas Bagas lagi di toko kok Mbak," ucapku membela. "Beneran dia di toko, bisa jadi pamitnya ke toko malah perginya ke rumah sakit," ucap mbak Niar emosi. "Gak usah marah-marah terus Mbak, ntar cepet tua lho, beneran kok, barusan kita vidio call mas Bagas beneran di toko," ucapku meyakinkan. "Eh, ngapain coba dia vidio call, kalaupun cuma telepon atau ngirim pesan aja juga kamu percaya, ini tuh malah mencurigakan tau gak," ucapnya masik kekeh. "Jadi maksudnya mas Bagas sengaja vidio call karena setelah itu dia mau ke rumah sakit?" tanyaku memastikan.
"Apa benar Sarinya gak papa, Jangan-jangan itu cuma spekulasi mu saja," cibir mbak Niar. "Kasih tau Mbak Niar Dek, kalau kamu gak papa aku tinggal dulu sekarang, kamu juga tau aku harus ke rumah sakit sekarang kan," ucap mas Bagas terlihat kesal. "Tuh liat Sari gak jawab apa-apa kan, itu karena Sari gak berani bilang kalau dia penginnya ditemani terus sama kamu," cibir mbak Niar. "Nggak kok Mbak, mas Bagas benar dia harus ke rumah sakit sekarang," jawabku datar. "Tuh kan Mbak, Sari aja gak papa kok kenapa Mbak Niar jadi repot begini si," ucap mas Bagas seraya tertawa. "Aku pergi sekarang ya Sar, kamu baik-baik di rumah, kalau ada apa-apa langsung telepon ya," ucap mas Bagas seraya mencium keningku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. "Aku udah pesenin makanan ya Dek, ntar kalo makanan datang langsung makan ya," ucapnya seraya mengusap perutku lembut. "Aku tinggal dulu ya Mbak, ntar ajak Sari makan yang banyak ya Mbak," ucap mas Bagas seraya terseyum ramah pada mbak N
"Kok baru pulang si Mas, apa kamu mau nginep di rumah sakit setiap hari," ucapku kesal pada mas Bagas yang baru saja masuk rumah. "Semalam aku mau pulang tapi Ani mengeluh sakit lagi, ya gak mungkin aku tinggalkan kalau kondisinya begitu," ucap mas Bagas membela diri. "Setiap hari juga akan begitu Mas, bukankah dia tinggal di rumah sakit karena hal itu," ucapku sewot. "Ya karena itu kamu harus maklum kalau aku sering lama di sana memang kondisinya begitu," jawab mas Bagas. "Tapi aku juga butuh kamu Mas, aku juga istrimu dan aku juga sedang hamil," ucapku tegas."Iya Dek, kamu memang istriku dan juga sedang hamil, karena itu aku buru-buru pulang sepagi ini untuk memastikan keadaanmu baik-baik saja," ucap mas Bagas dengan penekanan di setiap katanya."Tapi kamu baru pulang setelah semalaman meninggalkanku Mas," ucapku kesal. "Harusnya kamu menyambut kedatanganku dengan hangat, bukannya dengan muka di tekuk dan kata-kata tak menyenangkan begini Dek," ucap mas Bagas mulai terlihat ke
Sekarang ke Bayu"Tante masih di sini tante nginep di sini," tanya Rehan padaku di pagi hari. "Iya tante kan harus di sini buat melayani Ayah," ucapku genit. "Kan ada Bunda, kenapa harus tante yang melayani Ayah?" tanya Rehan polos. "Yang tante layani beda sama Bundamu," jawabku dengan menyeringai. "Tante habis mandi? kenapa masih pakai handuk begitu cepat pakai baju nanti masuk angin," ucap Rehan serius. "Ini karena tante mau melayani Ayah Re, nanti kamu ke kamar tamu ya, tante kasih liat cara tante melayani Ayah biar kamu tau," rayuku lembut. Rehan masih diam tapi aku cukup tau kalau ada rasa penasaran di fikirannya. Aku segera masuk kamar di mana Bayu berada dan tidak menguncinya justru sengaja ku buka sedikit. Aku masuk dan mulai membuka handukku, kemudian langsung menuju titik sensitif Bayu, meski dia masih tidur tidak akan mungkin dia menolak ku. Dan benar saja ketika kami sudah memulai permainan aku melihat Rehan sedang ada di depan pintu yang sedikit terbuka itu.Sial