Mas Bagas menyiapkan segala keperluan pernikahan. Termasuk yang mengatur make up Anita. Tak ketinggalan mas kawin juga sudah siap. Meskipun Anita di make up secara sederhana tapi dia terlihat begitu cantik.Entah karena profesionalnya penata make up atau karna pancaran bahagia dari dirinya, atau karna aku begitu iri melihatnya. Anita memakai pakaian biasa karena untuk memudahkan alat-alat medis tetap terpasang.Di ruangan ini ada sepasang calon pengantin, penghulu, Ardi sebagai saksi mas Bagas, Pak Hidayat yang katanya masih sodara jauh Anita sebagai saksi dari pihaknya, aku, Adit, Nisa, dan dua orang art Anita. Awalnya aku pikir aku akan biasa saja menyaksikan semua ini, karena aku berniat meminta mas Bagas menceraikan Anita setelah semuanya membaik. Tapi ketika mas Bagas hendak mengucp ijab qabul air mataku luluh tak terbendung lagi, akupun keluar ruangan. "Mamah sabar ya Mah," ucap Adit seraya memelukku dari samping. "Kenapa kamu ikut ke luar Dit," tanyaku lemah menahan tangi
Ke Sinta lagi. "Bay, kamu gak kangen sama aku," ucapku manja di ruang kerja salah satu toko milik Bayu. Pakaianku yang sengaja ku buat hampir hanya menutupi bagian intinya saja, sudah jelas membuatnya tertarik ingin mencoba milikku. Aku sangat tau keinginannya, meskipun dia takkan menunjukannya secara langsung. Tapi ekspresinya jelas memperlihatkan kalau dia mulai tergoda. "Apa yang bisa membuatku kangen dari kamu, aku bisa menemukan orang sepertimu di manapun," ucap Bayu cuek. "masa? yang bisa seperti ini ada?" ucapku seraya menyentuh area sensitifnya. Aku mulai membuka ikat pinggang dan celananya kemudian memainkan batang keperkasaan miliknya dengan mulutku. Bayu terlihat sangat menikmatinya, dan aku takkan menyia-nyiakan hal seperti ini untuk mendapatkan simpatinya lagi. Untuk kali ini Bayu tak melakukan apa-apa dia cukup hanya menikmatinya sampai puncak. Bahkan dia tidak melakukan apapun untukku merasakan kenikmatan. "Gimana? masih mau nolak enaknya aku?" ucapku dengan
Seharian aku terus bersama Bayu entah berapa kali kami bercinta, Bayu memang punya stamina yang berbeda dengan laki-laki pada umumnya."Udah sore kamu gak pulang Bay?" tanyaku seraya merapikan meja kerjanya yang begitu berantakan karena menjadi tempat bermain kita tadi. "Kamu sendiri kenapa masih di sini," ucapnya balik tanya. "Aku malas pulang, aku mau ikut kamu aja, aku pulang ke rumahmu ya," pintakku dengan bergelayut manja. "Tapi Rehan kan kenal kamu," ucapnya mencoba menolakku."Justru karna kenal kan, jadi gak perlu cari alesan macem-macem," ucapku meyakinkan. "Trus kamu di rumah mau ngapain?" tanyanya cuek. "Aku mau layanin kamu kalau kamu lagi pengen," jawabku menggoda. "Lagian semua orang juga sudah taukan jadi gak ada lagi yang perlu di tutupi," ucapku merayu. "Aku tau kamu selalu bangun menjelang subuh dan butuh di servis saat itu juga," ucapku seraya mengelus area sensitifnya. "Ok baiklah, kali ini kamu ikut pulang," jawabnya tegas. "Oke ayu," jawabku antusias ser
"Aku pulang dulu ya Mas," ucapku berpamitan pada Mas Bagas. "Iya Sar, aku anterin pulang ya, kamu terlihat sangat capek Sar," ucap mas Bagas seraya bangkit dari duduknya. "Iya Mas," jawabku dengan mengangguk. "Aku tinggal dulu ya An, besok pagi aku datang lagi," ucap mas Bagas seraya mengambil kunci mobil di meja. "Aduh... sakit Mas," rintih Ani seraya memegangi perutnya. "Kamu kenapa An?" tanya mas Bagas panik. "Mulai sakit lagi di sini Mas, tolong usap-usap sebelah sini," ucap Ani seraya mengarahkan tangan mas Bagas ke perut bagian sampingnya. "Ah iyah, kamu sabar ya," ucap mas Bagas seraya duduk di kursi samping ranjang seraya mengusap-usap perut Ani. "Panggilin Dokternya Mas," ucapku memberi perintah pada mas Bagas. "Gak usah Sar, aku cuma butuh di usap sebentar nanti juga mendingan, udah biasa kok," ucap Ani meyakinkan. "Kalo gitu bentar ya Sar, nanti kalau Ani udah mendingan aku antar kamu pulang," ucap mas Bagas. "Sakitnya si kadang-kadang aja, tapi kalau pas lagi sa
"Mas, Rina bilang sudah ada beberapa pelanggan menunggu di depan toko, mau buka jam berapa?" tanyaku pada mas Bagas melalui sambungan telepon. "Aku belum tau nih, aku baru bangun, masih capek banget, kok Rina gak langsung telepon aku ya," jawab mas Bagas di seberang telepon. Terdengar jelas kalau mas Bagas kelelahan, ada rasa sakit di ulu hati, mengingat mereka baru saja resmi menikah kemarin. "Dek, kamu masih di situ?" tanya mas Bagas mengagetkanku. "Oh iya Mas, katanya Rina tadi udah coba telepon beberapa kali tapi gak bisa, makanya telepon ke nomorku," jawabku gelagapan. "Oh gitu, kalau kamu aja yang datang ke toko gimana Dek, mungkin aku nanti nyusul ke toko siangan," ucapnya ngasal. "Kalau mau begitu harusnya kamu bilang dari semalam Mas, atau paling tidak dari subuh tadi kamu udah bilang,” jawabku kesal. “Sekarang aku udah masak banyak mana mungkin aku tinggalin warung," lanjutku emosi. "Ya maaf Dek, akukan udah bilang aku baru bangun, badanku agak gak enak nih," jawab m
Sesampainya di toko. "Maaf Bu membuat lama menunggu," ucapku sopan pada pelanggan. "Iya gak papa Mbak,mas Bagas ke mana Mbak tumben biasanya gak pernah libur," tanya si Ibu. "Mas Bagas lagi gak enak badan Bu, jadi saya yang datang ke toko," jawabku sopan. "Mbak Sari juga kelihatannya kurang sehat agak pucat kayaknya," ujar si Ibu. "Oh apa iya, sepertinya saya cuma capek aja Bu, lagi banyak kerjaan ini," jawabku beralasan. Memang beberapa hari ini aku susah tidur, mungkin karna berbagai masalah yang ku hadapi ahir-ahir ini. "Mas Bagas udah kasih tau kamu mau datang jam berapa belum Rin?" tanyaku pada Rina setelah semua pembeli selesai di layani. "Ooh mas Bagas mau datang ke toko ya Mbak? saya kira gak datang, katanya lagi sakit," jawab Rina bingung. "Siapa bilang mau gak datang, yah dia lagi gak enak badan si, tapi tadi pagi dia bilang kalo udah mendingan mau berangkat, hpku mati jadi gak bisa telepon mas Bagas," jawabku beralasan. "Oh begitu, tadi saya sudah WA mas Bagas kal
"Gimana ceritanya Mbak bisa cerai, ada masalah apa?" tanyaku tak sabar begitu duduk di kafe. "Katanya perempuan itu diuji dengan kemiskinan dan laki-laki itu di uji dengan kekayaan,” jawabnya santai. “Yah begitu, mas Halim gak kuat jadi orang kaya," jawab mbak Niar seraya tersenyum lebar. "Tapi Mbak Niar kok kelihatan happy happy aja sih," tanyaku heran. "Ngapain kita mesti sedih nangis-nangis buat laki-laki model begituan Sar," jawabnya semangat. "Tapi aku masih penasaran deh gimana ceritanya, trus Nurin gak protes Mbak cerai?" tanyaku penasaran. "Malah Nurin yang minta awalnya, dan Nurin bahagia tuh, jadi ya udah aku juga gak mau berlarut-larut," jawabnya mantab. "Kok aku semakin bingung ya, kenapa Nurin bisa minta orang tuanya buat cerai," ucapku benar-benar bingung. "Jadi yang nikah sama mas Halim itu teman sekolahnya Nurin," ucap mbak Niar cuek. "Hah! teman Nurin, masih kuliah?" ucapku kaget. "Iya jadi beberapa semester terahir sampai wisuda tuh biayanya dari mas Halim,
"Tapi aku masih bingung Mbak, apa keputusan berpisah itu benar, takutnya aku salah ambil keputusan kayak dulu lagi," ucapku bingung. "Keadaanya sekarang lain Sar, Bagas sudah beneran cinta sama perempuan itu, dia pasti bakal nurutin apa aja maunya, dan kamu akan terus sakit hati melihat hal itu kan," ucap mbak Niar meyakinkan. "Kalau mas Halim minta balikan lagi, Mbak bakal mau balik gak?" tanyaku serius. "Dia sangat setia ketika miskin tapi begitu kaya dia gak bisa jaga diri, mungkin saja ketika dia nanti bersujud mohon-mohon minta balikan itu karena dia miskin, tobatnya itu karna miskin, ketika kaya lagi bisa aja gak kuat lagi kan," jawab mbak Niar dengan penuh keyakinan. "Bisa jadi karena mas Halim benar-benar menyesal dan pengin memperbaiki semuanya Mbak," ucapku coba membela. "Iya dia akan tobat, karena miskin, kalo udah kaya bakal lupa lagi, padahal aku juga gak mau terus-terusan miskin, dan aku gak mau pusing mikirin pengin miskin tapi suami setia atau kaya suami mendua, p