“Ternyata Aruna berbohong!” gumam Karin.
“Memang Mami Karin adalah ibu tiriku dan aku memang yatim piatu karena kedua orang tuaku sudah meninggal. Maaf jika tidak memberitahu hal ini sebelumnya,” jelas Aruna.“Iya, Ma. Kami berencana memberitahu setelah pernikahan selesai agar tidak ada masalah,” timpal Valda.“Aduuhh, aku tidak di persilahkan duduk. Tidak sopan sekali,” celetuk Karin.Defria mendelik kesal, sikap Karin membuatnya semakin tidak suka pada Aruna.“Silahkan duduk, Mami ...” pinta Aruna.Valda tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya antara Karin dan Aruna pada Defria.“Pantas saja mas Chand tidak puas dengan istrinya sendiri, ternyata modelan seperti ini! Wajar saja jika mencari kepuasan di luaran sana. Aku yakin kalau Chand bukan hanya bermain denganku saja,” batin Karin.“Mami ada apa kemari?” tanya Aruna.“Memangnya aku tidak boleh mengunjungi putriku sendiri? Apalagi aku sebagai keluargamu belum di kenalkan dengan besaChand kesal dengan kedatangan Karin ke rumahnya. Ia khawatir kalau Karin bicara macam-macam pada keluarganya. Ia menghampiri Defria yang sedang berada di meja makan fokus pada laptopnya.“Papa sudah pulang?” tanya Defria.“Apa yang terjadi? Kau terlihat tidak baik-baik saja,” ujarnya seraya duduk di samping Defria.Ia harus tahu apa yang Karin lakukan di rumah ini. Dengan respon Defria seperti itu, berarti dia tidak mengatakan masa lalu.“Aruna ... dia ternyata punya ibu tiri! Itu menyebalkan sekali, bagaimana kalau semua orang tahu? Habislah kita jadi gunjingan orang lain dan di cap pembohong!” jelas Defria.Chand sedikit bersyukur karena Karin tidaklah mengatakan perihal masa lalu itu.“Kenapa kau tidak terkejut?” tanya Defria menatapnya heran.“Ibu tiri? Dia mengatakan kalau yatim piatu, berarti Valda dan Aruna membohongi kita,” ujar chand pura-pura terkejut.Ia sudah lebih dulu terkejut tahu dari Karin sendiri.“Aku tidak ingin memik
Aruna bersiap dengan tergesa-gesa. Mengeringkan rambutnya dengan cepat seraya terus menggerutu karena Valda tidak membangunkannya. Keluar dari kamar menuruni anak tangga dengan cepat. Ia melihat ibu mertuanya itu tengah duduk di sofa menunggu kedatangannya. “Ada apa, Ma?” tanya Aruna hati-hati. Defria mendongak dengan wajah datar. Kemudian Aruna duduk di sofa di hadapannya. “Kau tidak bekerja, bukan?” tanya Defria. Aruna mengangguk. “Hmm ... sebenarnya aku malas bicara denganmu. Buang-buang waktuku yang berharga saja, tapi aku terpaksa harus bicara!” jelas Defria. Aruna sedikit menegang. Ia tidak tahu apa yang akan mertuanya itu katakan. “Kau tidak bekerja, tidak punya bisnis, setidaknya kau sadar diri. Bangun lebih pagi, membuatkan sarapan untuk suamimu, siapkan keperluan suamimu. Ini malah leha-leha bangun terlambat, tidak ada gunanya. Lihatlah diriku, wanita karir mengurusi bisnis salon dan di
Sontak Karin terkejut dan sedikit was-was. “Ada apa?” tanya Haris. Kemudian ia mengambil berkas yang hendak Aruna tanda tangani dan sedikit membukanya. Belum sempat memahami apa isi berkas itu, Karin dengan sigap mengambilnya dengan kasar. “Kau jangan mau tahu, ikut campur saja!” cetusnya seraya melengos pergi. “Mami ... mau kemana?” panggil Aruna. Tapi Karin mengabaikannya. “Berkas apa itu?” tanya Haris pada Aruna. “Berkas pemindahan aset menjadi atas nama ibu tiriku,” jawab Aruna. “Kau serius? Itu sepertinya asetmu banyak. Lagi pula kenapa pemindahan aset sesimple itu, dimana pengacara ayahmu? Dimana notarisnya?” tanya Haris. Aruna hanya menggelengkan kepala, ia tidak mengerti akan semua itu. “Sudahlah! Aku mau mengambil berkas yang tertinggal. Aku sarankan kau jangan tanda tangan sembarangan, takutnya nanti malah di salah gunakan,” ucap Haris. “Iya,” angguk Aruna.
Aruna mengangguk.“Memangnya apa saja aset yang Papimu tinggalkan?” tanya Valda serius.Aruna hanya menggelengkan kepala karena memang ia tidak tahu menahu soal itu.“Ya Tuhan ... selama ini apa yang kau tahu?” tanya Valda.Aruna kembali menggelengkan kepala menatapnya.“Bicaralah!” sentak Valda.“Aku tidak tahu. Aku mau bicara apa?” balas Aruna.“Selama dua puluh tahun ini apa yang kau lakukan?” tanya Valda.“Ya seperti orang pada umumnya. Sekolah, main, nongkrong, liburan– ya masih banyak lagi ...” jawabnya polos.“Kau kuliah jurusan apa?”“Seni music,” jawabnya. “Aku tidak mengerti bisnis, tapi aku mengerti alat-alat music dan suaraku juga bagus!” sambungnya.“Aku tak mudah untuk mencintai, aku tak mudah mengakuku cinta, aku tak mudah mengatakan, aku jatuh cinta ....”Aruna melantunkan sebait lagu. Itu membuat Valda tersenyum tipis, memang suaranya merdu dan enak di dengar.“Eh maaf.” Kemudian Aruna menutup mulutnya
Hari berikutnya sama dengan hari sebelumnya, Defria memperlakukan Aruna selayaknya pelayan. Ia semakin menjadi agar Aruna tidak betah berada di rumah itu. Hari ke enam dan Aruna masih melakukan hal seperti sebelum-sebelumnya. Ia sudah mulai terbiasa dengan ibu mertuanya itu. “Bereskan pakaian-pakaian kita yang akan di bawa besok. Aku lelah ingin istirahat,” ujar Valda sembari berbaring di tempat tidur. “Bantu aku dong! Aku juga lelah, seharian melakukan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya di tambah mamamu hari ini tidak pergi. Aku di suruh ini, di suruh itu. Menyebalkan! Jangan sampai di masa depan aku mempunyai mertua seperti itu,” keluhnya kesal. “Ya itung-itung belajar, jika suatu saat kau mendapatkan mertua seperti itu kau sudah bisa mengatasinya!” cetus Valda. “Jangan mendoakanku seperti itu,” jawab Aruna. Kemudian ia berlalu ke ruangan pakaian, ia mendongak melihat jejeran koper di atas lemari. “Itu koper-kopernya.” Aruna tidak bisa menggapai koper itu karen
Setelah hampir dua jam di pesawat, mereka sampai. Dari bandara pergi ke villa yang sudah di siapkan. Villa mewah miliknya pribadi yang terletak di pinggir pantai dengan pemandangan indah. Aruna berdiri di balkon kamarnya menikmati pemandangan yang selalu ia rindukan. Dulu, dirinya sering berlibur bersama keluarga ke tempat-tempat seperti ini di dalam maupun luar negeri. “Kau suka?” tanya Valda. Aruna melirik pada Valda mengangguk seraya tersenyum lebar. Tanpa bicara, Valda sudah tahu jawabannya. “Nikmatilah liburannya. Kau bisa berjalan-jalan dengan bebas disini dan kau bebas menggunakan kartuku! Belilah apa yang kau mau,” ujar Valda. “Kau serius?” tatap Aruna. “Ya, tapi kau jalan-jalan sendiri karena aku ada pekerjaan disini. Aku akan bertemu beberapa client dan membahas bisnis baru,” jawab Valda. Aruna mengacungkan jempolnya setuju. Tidak masalah bagi dirinya berjalan-jalan sendirian. “Tunggu, bagaimana kalau Mamamu sama Delova bertanya-tanya?” cetus Aruna.
Aruna menyalakan flash di ponselnya dan memberanikan diri membuka mata. Kemudian ia mendengar barang jatuh dari luar kamar. Itu semakin membuatnya takut.“Apa itu? Apa pak penjaga?” gumamnya.Aruna berjalan perlahan ke dekat pintu, ingin membukanya, tetapi ia ragu dan takut. “Valda juga kemana sih?”Karena penasaran, Aruna memberanikan diri membuka pintu kamar dan berjalan perlahan-lahan. Membuka setiap pintu yang ada di lantai dua itu dan tidak menemukan apa pun.“Tidak ada apa-apa!” gumamnya.Ia berjalan menuruni anak tangga, pergi ke dapur dan tidak menemukan penjaga Villa.“Dimana pak penjaga?” gumamnya.Bayangan hitam melewati jendela membuat Aruna terkejut. Ia melangkah mundur kemudian berlari dengan cepat lalu menabrak seseorang yang membuatnya semakin takut.“Aaaaghhhh ... jangan ganggu aku, jangan ... pergi ... pergi ...” Teriak Aruna.“Aruna ... Aruna ... kau kenapa? Aku Valda.” Ia menggoyahkan tubuh Aruna yang terduduk dengan k
Aruna tersadar jika pernikahan mereka adalah kontrak. Ia benar-benar melupakannya. Menatap Valda begitu dalam ada rasa sedih karena akhirnya pernikahan akan berakhir dan dirinya tidak perawaan lagi.“Kau ingin tambah berapa?” cetus Valda.Aruna bangkit dari tidurnya seraya berkata tanpa melihat Valda, “Aku bukan Pela*cur!” cetusnya lalu berlalu ke kamar mandi dengan tubuh terbalut selimut.Valda menatap kepergian Aruna, jawabannya membuat dirinya merasa tertampar dan tidak enak padanya.Ia bangkit dari tidurnya dan kembali mengenakan celana menunggu Aruna selesai.Bersandar pada sofa sembari merentangkan tangannya dengan mata terpejam. Senyuman tersungging di bibirnya, kenikmatan yang Aruna berikan tidak bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia menginginkannya lagi.“Aruna ... Aruna ... kepalaku isinya jadi kau!” gumamnya.Tidak lama kemudian Aruna keluar dari kamar mandi. Hanya dengan menggunakan bathrobe dan rambut basahnya. Valda tidak melepaskan