"Cantik-cantik, kok, suaminya tukang parkir. Kasihan sekali ya Zoya."
"Mungkin takdirnya memang begitu, Bu. Mau bagaimana lagi?" Aku berhenti sejenak, mataku menyipit ke arah tiga ibu-ibu yang tengah berdiri di depan rumah besar, salah satunya ada Bu Ida, si pemilik rumah yang gemar bergosip. Mereka berbicara tanpa berusaha merendahkan suara, seolah ingin aku mendengar. "Capek-capek berjualan, hanya dapat untung sekadarnya. Mana suaminya hanya tukang parkir." "Jujur saja, suaminya memang tampan, tapi pekerjaannya sangat tidak level, iyyuuh," kata Bu Ida dengan nada jijik, lalu setelahnya diikuti oleh suara tawa ibu-ibu yang lain. Aku yang sudah terbiasa dengan hinaan ini awalnya mencoba bersikap tenang. Namun, ketika Bu Ida mulai menyeret suamiku dalam hinaannya, aku tidak bisa lagi menahan diri. Akhirnya terjadi adu mulut singkat di antara kami, tetapi kali ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lebih jauh. Aku sadar bahwa setiap perdebatan hanya akan membuat diriku lelah. Aku mengakhiri percakapan dengan dingin dan meninggalkan Bu Ida yang kesal. Aku menelan ludah, rasa perih muncul di dadaku. Dengan diam, aku mempererat pegangan pada kontainer plastik berukuran sedang yang aku gunakan untuk berjualan gorengan keliling. Lalu melanjutkan langkah tanpa mempedulikan tatapan sinis mereka. Bukan hanya sekali dua kali aku dihina seperti ini, bahkan hinaan dan cemoohan sudah menjadi makanan sehari-hariku. Sudah ribuan kali juga aku membela diri, bahkan pernah juga aku memilih untuk diam, tetapi hasilnya tetap sama, mereka masih gencar menghinaku dan suamiku. Aku menundukkan kepala, mataku menyapu jalanan. Aku tahu, hinaan seperti ini bukan hal baru, tetapi kali ini entah kenapa terasa lebih menusuk. "Kenapa mereka memandang rendah pekerjaan suamiku?" pikirku geram, sementara dada terasa sesak oleh kemarahan yang coba kutahan. Agar emosiku tidak meledak, aku segera mempercepat langkah menuju ke rumah. Di sepanjang jalan, aku berusaha menyingkirkan emosi yang membuncah di dalam diri dengan menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. Sesampainya di rumah, aku meletakkan kontainer plastik di lantai dekat pintu dengan napas panjang yang tertahan. Rumah mungil ini tampak sunyi, hanya ada suara dedaunan pohon yang bergemericik terkena embusan angin sore. Aku melepaskan sandal, kemudian melangkah ke ruang tamu, di mana Abiyan anakku, dan Mas Dewangga suamiku, sedang duduk bersama di karpet. Wajah suamiku tenang, tetapi terlihat lelah, sedangkan Abiyan tengah sibuk mengerjakan soal di buku. Hatiku menghangat melihat kebersamaan mereka. “Kamu sudah pulang, Mas?” tanyaku sambil menyeka keringat di dahi dengan lengan baju. Mas Dewangga menoleh, tersenyum tipis. “Iya, baru saja.” Abiyan juga ikut menoleh padaku. Aku pun melemparkan senyum manis pada anakku satu-satunya. Kini tatapanku kembali beralih pada Mas Dewangga. Meskipun suamiku tersenyum, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada beban yang disimpan rapat-rapat di balik senyuman itu. Mas Dewangga mengambil ponsel bututnya dari saku celana, mengetik pesan cepat, lalu diletakkan di dekatnya. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan saksama, tetapi tidak mengucapkan apa pun. Tak lama, ponsel Mas Dewangga bergetar. Suamiku mengangkatnya, menjauh sedikit dariku dan Abiyan sambil berbicara dengan suara rendah. "Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman." Aku tidak mendengar semua percakapan itu, tetapi perasaanku menjadi gelisah. Suara Mas Dewangga terdengar begitu formal, seperti berbicara dengan orang penting. Padahal, suamiku hanya seorang tukang parkir. Aku mengerutkan kening, tetapi memilih untuk tidak bertanya langsung. Setelah telepon selesai, aku mencoba menatap mata suamiku, berharap ada jawaban yang bisa aku temukan. “Itu tadi siapa, Mas?” Aku bertanya dengan nada hati-hati. Mas Dewangga tersenyum samar, melangkah ke arahku. “Bukan siapa-siapa. Kamu tidak perlu khawatir.” Aku hanya diam, menatap suamiku yang kini berjalan ke kamar. Jawaban itu tidak memuaskan. Ada sesuatu yang Mas Dewangga sembunyikan, dan aku bisa merasakannya. Aku memutuskan untuk duduk di samping Abiyan, menemaninya belajar sembari mencoba menghilangkan rasa overthinking-ku. "Sayang, bisa ke sini sebentar?" panggil Mas Dewangga dari dalam kamar. "Iya, Mas." Aku yang mendengarnya segera bangkit dan berjalan menuju kamar, sesuai permintaan Mas Dewangga. Di dalam kamar, aku bisa melihat Mas Dewangga berdiri menghadapku, lalu suamiku mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya. "Ini untukmu, Sayang," ucap Mas Dewangga lembut, menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah itu kepadaku dengan senyum tipis. Aku menerima uang itu dengan tatapan penuh tanya dan memperhatikan lembaran uang di tangan, lalu menatap suamiku dengan dahi berkerut. "Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini, Mas?" tanyaku ragu. Mas Dewangga mengusap lembut bahuku, berusaha menenangkan. "Ini dari hasil aku bekerja sebagai tukang parkir hari ini, Sayang. Beberapa pedagang menitipkan uang receh untuk ditukar dengan uang yang lebih besar. Mereka memerlukannya untuk kembalian." Aku menatap uang itu lagi, kemudian mendongak dengan raut sedikit khawatir. "Sebanyak ini hanya dari parkir, Mas? Benarkah?" Alih-alih tersinggung dengan ucapanku yang terkesan tidak mempercayainya, Mas Dewangga malah tersenyum lembut dan menatapku dengan penuh kasih sayang. "Iya, Sayang. Tidak usah khawatir. Hari ini kebetulan ramai, dan pedagang-pedagang itu senang menitipkan uang receh kepadaku. Ini semua adalah hasil dari kerja keras yang halal." Aku masih merasa ada yang janggal, tetapi ketika aku melihat ketulusan di mata suamiku, keraguan itu perlahan mereda. "Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan, Mas?" Mas Dewangga menggeleng dengan lembut, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya. "Tidak, Sayang. Apa pun yang aku lakukan adalah demi kita." Meskipun masih ada sedikit keraguan di hati, aku memutuskan untuk mempercayai suamiku. "Baiklah, Mas. Terima kasih." "Sama-sama, Sayang. Yang penting, kamu dan Abiyan selalu sehat. Itu lebih berharga dari apa pun." Suamiku tersenyum hangat dan menatapku dengan penuh cinta. *** Saat malam semakin larut, aku terduduk di tempat tidur, pikiranku penuh oleh percakapan Mas Dewangga ketika menelepon. Aku memandang suamiku yang sudah tertidur di samping, napasnya tenang dan teratur, seolah tidak ada beban yang mengganggu. Aku sudah mencoba memejamkan mata, tetapi pikiranku terus saja memutar ulang percakapan telepon Mas Dewangga. 'Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman.' Kata-kata itu bergema di kepalaku, membuat kegelisahan perlahan menyebar dalam diriku. Aku penasaran dengan dokumen yang disebut Mas Dewangga di telepon. Belum lagi uang yang Mas Dewangga berikan sore tadi. Setelah kuhitung, totalnya ada tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah itu terasa sangat besar dibandingkan hari-hari sebelumnya, di mana biasanya Mas Dewangga hanya memberiku seratus hingga dua ratus ribu saja. Ada sesuatu yang suamiku sembunyikan. Aku bisa merasakannya, tetapi apa?Pagi itu aku terbangun dengan perasaan gelisah yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Mataku terasa berat, pertanda bahwa tidurku tidak benar-benar nyenyak. Saat melihat jam di dinding, jantungku berdegup kencang."Ya ampun, sudah hampir pukul tujuh!" seruku panik.Aku teringat betapa lama diriku terjaga semalam, memikirkan percakapan suamiku di telepon dan juga uang yang diberikan Mas Dewangga. Pikiran itu membayangi tidurku hingga aku terlambat bangun pagi ini. Dengan cepat, aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke luar.Suara lembut Mas Dewangga terdengar dari pintu depan. Suamiku sudah rapi dengan seragam tukang parkirnya, sementara Abiyan berdiri di sampingnya, siap untuk berangkat sekolah."Maaf, Mas ... aku terlambat bangun," ucapku terburu-buru, merasa bersalah karena tidak menyiapkan sarapan seperti biasanya.Mas Dewangga tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa. Aku sudah siapkan bekal untuk Abiyan. Sekarang, kami harus berangkat. Jangan khawatir, istirahat saja."Aku m
Karena merasa tidak nyaman, aku segera menyelesaikan transaksi dan cepat-cepat pulang ke rumah.Namun, ketika kami hampir tiba di rumah, beberapa tetangga sudah menunggu dengan tatapan tajam. Aku juga bisa mendengar ucapan mereka. "Ekhem, ada yang baru pulang shopping, nih." Suara seorang wanita memecah keheningan. Aku langsung mendongak dan menoleh ke arah suara itu.Aku menghentikan langkah, mengangguk dan tersenyum pada mereka. "Iya, Bu. Belanja bahan-bahan untuk jualan gorengan besok."Namun, ekspresi mereka yang sinis membuatku bingung. Apa yang salah dengan belanjaanku?"Belanja dari uang hasil mencuri ternyata beda, ya. Belanjanya lebih banyak dari biasanya," cibir salah satu dari mereka.Aku mengerutkan dahi mendengar tuduhan itu. Mereka bilang aku belanja dari uang hasil mencuri? Yang benar saja!"Mama tidak pernah mencuri!" Teriakan Abiyan membuatku tersentak. Aku hampir lupa jika anakku ada di sebelahku, mendengar semua ini."Hei, Abiyan. Ibumu memang tidak mencuri, tapi a
Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut."Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini."Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini."Baiklah, Mas ... aku pulang.
"Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan."A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak."Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—""Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah.Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah."Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram.Aku menghela napas panjan
Benar saja, waktu yang kuhabiskan di ruang kunjungan terasa jauh lebih lama, terutama setelah Dewangga menyuruh pria berjas hitam itu untuk meminta perpanjangan waktu. Hingga menjelang jam pulang sekolah Abiyan, belum ada tanda-tanda petugas yang datang untuk memberitahukan bahwa waktu kunjungan sudah habis.Akhirnya aku harus berpamitan. “Mas, aku harus menjemput Abiyan,” ucapku pelan, tak ingin mengganggu suasana. Namun, saat aku berdiri, Mas Dewangga tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat, seakan tak rela aku pergi.“Janji besok datang lagi dengan Abiyan. Bawa makanan enak untukku,” pintanya sambil mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum lembut dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aku akan datang lagi.”“Hati-hati di jalan. Kalau pria itu muncul lagi, tonjok pipinya sampai ungu,” tambahnya dengan nada bercanda, berusaha meringankan suasana.Aku tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Suasana hangat tadi masih menempel di hati, tetapi pikiranku kini kembali dipenuhi oleh
Aku menoleh ke belakang, takut jika ternyata sopir itu tengah menyapa seseorang di belakangku. Namun, di belakangku tidak ada siapa pun. Di tempat parkir ini hanya ada aku, suamiku, dan anakku.Aku melirik ke arah Mas Dewangga, berharap mendapat penjelasan, tetapi dia hanya tersenyum tipis, seolah tidak terkejut sama sekali. Dia menggenggam tanganku, tenang dan kuat, lalu menuntun kami menuju mobil mewah itu.“Mas ....” Aku menghentikan langkah, membuat Mas Dewangga juga ikut berhenti.“Mas, ada apa ini? Kenapa—”Suara nyaring dari belakang memotong ucapanku. Ibu bersama Kak Dirfan, berjalan cepat menghampiri kami.Aku mempererat genggaman tanganku pada Mas Dewangga, sengaja ingin memperlihatkan pada Kak Dirfan bahwa aku berada di sisi suamiku."Lho, Dewangga? Kamu sudah keluar dari penjara?" tanya Ibu sembari menaikkan sebelah alis dengan pandangan sinis.“Iya, Bu. Aku baru saja keluar,” jawab suamiku dengan sopan dan tenang."Halo, semua," sapa Kak Dirfan yang kini berdiri di sampin
Saat mobil berhenti tepat di depan rumah, kami bergegas turun. Aku bisa melihat para warga menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik."Yah, wajar saja. Mobil ini terlalu mencolok di pemukiman sederhana seperti ini," batinku sambil menarik napas panjang."Ma, aku ingin bermain, ya. Mama pernah bilang kalau Abiyan boleh bermain jika Papa sudah pulang," pinta Abiyan dengan mendongak ke arahku, matanya berbinar penuh harap."Iya, tapi ganti dulu bajumu," jawabku lembut.Abiyan mengangguk dengan penuh semangat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Mas Dewangga yang masih mematung di luar rumah. "Sayang, ayo kita masuk juga," kata Mas Dewangga lembut sembari menggenggam tanganku, sedangkan mobil mewah yang tadi kami tumpangi mulai pergi menjauh.Saat Abiyan sudah asyik bermain di luar, tanpa berbasa-basi aku menagih janji pada Mas Dewangga. Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan, dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."Mas, kamu berutang penjelasan padaku," ucapku,
Seseorang yang kini berdiri di hadapanku ternyata Mas Dewangga, suamiku."Total belanjaan istriku jadi berapa, Bu?" tanya suamiku, matanya menatap ibu warung dengan tenang."Eh, itu ... jadi enam puluh lima ribu," jawab ibu warung sedikit terbata-bata, seolah gugup dengan kehadiran Mas Dewangga.Setelah mendengar nominal yang disebut, Mas Dewangga beralih menatapku dan bertanya, "Ada yang ingin kamu beli lagi? Aku akan membayar semuanya.""Tidak. Sudah cukup, Mas."Mendengar jawabanku, Mas Dewangga mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari saku dan menyerahkan uang pecahan seratus ribu pada ibu warung. Sekilas, aku melihat ada beberapa lembar uang di dompet Mas Dewangga, cukup banyak."Mas, uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku berbisik sembari menunggu kembalian. Jujur, ada rasa penasaran yang mengganggu."Ini uang kompensasi karena aku dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga menekankan kata 'dituduh' dengan suara yang agak keras, seakan sengaja agar orang-orang di sekitar mendengarnya.
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e