Share

Suami Tukang Parkirku Ternyata Tajir Melintir
Suami Tukang Parkirku Ternyata Tajir Melintir
Penulis: Cleo Voltra

Obrolan di Telepon dan Uang Parkir Pemberian Suamiku

"Cantik-cantik, kok, suaminya tukang parkir. Kasihan sekali ya Zoya."

"Mungkin takdirnya memang begitu, Bu. Mau bagaimana lagi?"

Aku berhenti sejenak, mataku menyipit ke arah tiga ibu-ibu yang tengah berdiri di depan rumah besar, salah satunya ada Bu Ida, si pemilik rumah yang gemar bergosip. Mereka berbicara tanpa berusaha merendahkan suara, seolah ingin aku mendengar.

"Capek-capek berjualan, hanya dapat untung sekadarnya. Mana suaminya hanya tukang parkir."

"Jujur saja, suaminya memang tampan, tapi pekerjaannya sangat tidak level, iyyuuh," kata Bu Ida dengan nada jijik, lalu setelahnya diikuti oleh suara tawa ibu-ibu yang lain.

Aku yang sudah terbiasa dengan hinaan ini awalnya mencoba bersikap tenang. Namun, ketika Bu Ida mulai menyeret suamiku dalam hinaannya, aku tidak bisa lagi menahan diri.

Akhirnya terjadi adu mulut singkat di antara kami, tetapi kali ini aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lebih jauh. Aku sadar bahwa setiap perdebatan hanya akan membuat diriku lelah.

Aku mengakhiri percakapan dengan dingin dan meninggalkan Bu Ida yang kesal.

Aku menelan ludah, rasa perih muncul di dadaku. Dengan diam, aku mempererat pegangan pada kontainer plastik berukuran sedang yang aku gunakan untuk berjualan gorengan keliling. Lalu melanjutkan langkah tanpa mempedulikan tatapan sinis mereka.

Bukan hanya sekali dua kali aku dihina seperti ini, bahkan hinaan dan cemoohan sudah menjadi makanan sehari-hariku. Sudah ribuan kali juga aku membela diri, bahkan pernah juga aku memilih untuk diam, tetapi hasilnya tetap sama, mereka masih gencar menghinaku dan suamiku.

Aku menundukkan kepala, mataku menyapu jalanan. Aku tahu, hinaan seperti ini bukan hal baru, tetapi kali ini entah kenapa terasa lebih menusuk.

"Kenapa mereka memandang rendah pekerjaan suamiku?" pikirku geram, sementara dada terasa sesak oleh kemarahan yang coba kutahan.

Agar emosiku tidak meledak, aku segera mempercepat langkah menuju ke rumah. Di sepanjang jalan, aku berusaha menyingkirkan emosi yang membuncah di dalam diri dengan menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.

Sesampainya di rumah, aku meletakkan kontainer plastik di lantai dekat pintu dengan napas panjang yang tertahan. Rumah mungil ini tampak sunyi, hanya ada suara dedaunan pohon yang bergemericik terkena embusan angin sore.

Aku melepaskan sandal, kemudian melangkah ke ruang tamu, di mana Abiyan anakku, dan Mas Dewangga suamiku, sedang duduk bersama di karpet. Wajah suamiku tenang, tetapi terlihat lelah, sedangkan Abiyan tengah sibuk mengerjakan soal di buku.

Hatiku menghangat melihat kebersamaan mereka.

“Kamu sudah pulang, Mas?” tanyaku sambil menyeka keringat di dahi dengan lengan baju.

Mas Dewangga menoleh, tersenyum tipis. “Iya, baru saja.”

Abiyan juga ikut menoleh padaku. Aku pun melemparkan senyum manis pada anakku satu-satunya.

Kini tatapanku kembali beralih pada Mas Dewangga. Meskipun suamiku tersenyum, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada beban yang disimpan rapat-rapat di balik senyuman itu.

Mas Dewangga mengambil ponsel bututnya dari saku celana, mengetik pesan cepat, lalu diletakkan di dekatnya. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan saksama, tetapi tidak mengucapkan apa pun.

Tak lama, ponsel Mas Dewangga bergetar. Suamiku mengangkatnya, menjauh sedikit dariku dan Abiyan sambil berbicara dengan suara rendah.

"Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman."

Aku tidak mendengar semua percakapan itu, tetapi perasaanku menjadi gelisah. Suara Mas Dewangga terdengar begitu formal, seperti berbicara dengan orang penting. Padahal, suamiku hanya seorang tukang parkir. Aku mengerutkan kening, tetapi memilih untuk tidak bertanya langsung.

Setelah telepon selesai, aku mencoba menatap mata suamiku, berharap ada jawaban yang bisa aku temukan.

“Itu tadi siapa, Mas?” Aku bertanya dengan nada hati-hati.

Mas Dewangga tersenyum samar, melangkah ke arahku. “Bukan siapa-siapa. Kamu tidak perlu khawatir.”

Aku hanya diam, menatap suamiku yang kini berjalan ke kamar. Jawaban itu tidak memuaskan. Ada sesuatu yang Mas Dewangga sembunyikan, dan aku bisa merasakannya.

Aku memutuskan untuk duduk di samping Abiyan, menemaninya belajar sembari mencoba menghilangkan rasa overthinking-ku.

"Sayang, bisa ke sini sebentar?" panggil Mas Dewangga dari dalam kamar.

"Iya, Mas." Aku yang mendengarnya segera bangkit dan berjalan menuju kamar, sesuai permintaan Mas Dewangga.

Di dalam kamar, aku bisa melihat Mas Dewangga berdiri menghadapku, lalu suamiku mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya.

"Ini untukmu, Sayang," ucap Mas Dewangga lembut, menyerahkan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah itu kepadaku dengan senyum tipis.

Aku menerima uang itu dengan tatapan penuh tanya dan memperhatikan lembaran uang di tangan, lalu menatap suamiku dengan dahi berkerut.

"Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini, Mas?" tanyaku ragu.

Mas Dewangga mengusap lembut bahuku, berusaha menenangkan.

"Ini dari hasil aku bekerja sebagai tukang parkir hari ini, Sayang. Beberapa pedagang menitipkan uang receh untuk ditukar dengan uang yang lebih besar. Mereka memerlukannya untuk kembalian."

Aku menatap uang itu lagi, kemudian mendongak dengan raut sedikit khawatir. "Sebanyak ini hanya dari parkir, Mas? Benarkah?"

Alih-alih tersinggung dengan ucapanku yang terkesan tidak mempercayainya, Mas Dewangga malah tersenyum lembut dan menatapku dengan penuh kasih sayang.

"Iya, Sayang. Tidak usah khawatir. Hari ini kebetulan ramai, dan pedagang-pedagang itu senang menitipkan uang receh kepadaku. Ini semua adalah hasil dari kerja keras yang halal."

Aku masih merasa ada yang janggal, tetapi ketika aku melihat ketulusan di mata suamiku, keraguan itu perlahan mereda. "Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan, Mas?"

Mas Dewangga menggeleng dengan lembut, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Tidak, Sayang. Apa pun yang aku lakukan adalah demi kita."

Meskipun masih ada sedikit keraguan di hati, aku memutuskan untuk mempercayai suamiku. "Baiklah, Mas. Terima kasih."

"Sama-sama, Sayang. Yang penting, kamu dan Abiyan selalu sehat. Itu lebih berharga dari apa pun." Suamiku tersenyum hangat dan menatapku dengan penuh cinta.

***

Saat malam semakin larut, aku terduduk di tempat tidur, pikiranku penuh oleh percakapan Mas Dewangga ketika menelepon. Aku memandang suamiku yang sudah tertidur di samping, napasnya tenang dan teratur, seolah tidak ada beban yang mengganggu.

Aku sudah mencoba memejamkan mata, tetapi pikiranku terus saja memutar ulang percakapan telepon Mas Dewangga.

'Ya, saya mengerti. Semua dokumen sudah siap ... tenang saja, semua aman.' Kata-kata itu bergema di kepalaku, membuat kegelisahan perlahan menyebar dalam diriku. Aku penasaran dengan dokumen yang disebut Mas Dewangga di telepon.

Belum lagi uang yang Mas Dewangga berikan sore tadi. Setelah kuhitung, totalnya ada tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah itu terasa sangat besar dibandingkan hari-hari sebelumnya, di mana biasanya Mas Dewangga hanya memberiku seratus hingga dua ratus ribu saja.

Ada sesuatu yang suamiku sembunyikan. Aku bisa merasakannya, tetapi apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status