Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.
Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut. "Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama." Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini." Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini. "Baiklah, Mas ... aku pulang." Akhirnya aku dan Abiyan pun melangkah keluar dari ruang kunjungan. Tepat di saat aku hampir keluar dari ruangan, seorang pria berjas hitam terlihat terburu-buru masuk. Langkahnya cepat dan tegas, seolah dia sedang mengejar waktu. Di tangannya juga terdapat map plastik yang dia genggam erat. Setiap gerakannya menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa, dan ada sesuatu yang mendesak dalam tujuannya. "Apa itu orang yang ingin menemui Mas Dewangga?" pikirku, rasa penasaran mulai tumbuh dalam diri. Tanpa sadar, aku menghentikan langkahku dan mencoba mengikuti pria itu dengan pandangan mataku. Sesuatu dalam diri ini menolak untuk langsung pulang. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, seorang petugas polisi yang berjaga menahanku dengan sopan. Dengan berat hati, aku pun mengalah dan melangkah pergi, meski perasaanku tak karuan dan pikiranku masih tertinggal di ruang kunjungan. *** Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak berjualan gorengan. Pikiranku kacau, tubuhku ikut lelah. Aku hanya mengantar Abiyan ke sekolah dan akan menjemputnya nanti. "Huh ... semuanya terlihat membingungkan, seperti potongan puzzle yang tidak bisa kusatukan." Aku menghela napas panjang saat memikirkan segala yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini. Mulai dari seseorang yang menelepon Mas Dewangga dengan suara penuh rahasia, uang parkir yang entah mengapa tiba-tiba berjumlah lebih banyak, hingga suamiku yang tiba-tiba masuk penjara. Semua terasa terlalu aneh. Lalu yang terakhir, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mas Dewangga di penjara. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku?" desahku penuh tanya. Perasaanku semakin kalut, seperti tersesat dalam labirin tanpa petunjuk. Tok tok tok! Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah lamunanku. Dengan langkah malas aku menyeret kakiku menuju pintu. Saat pintu kubuka, dunia di sekitarku terasa berhenti sejenak. Jantungku berdetak semakin kencang, dan tubuhku terpaku saking terkejutnya. "K-Kak Dirfan?" Suaraku terdengar parau dan terbata. Mataku memindai sosok pria itu dari atas hingga ke bawah, berharap semua ini hanyalah salah lihat. Namun, harapan itu menguap begitu saja saat dia tersenyum padaku. "Halo, Zoya," sapa Kak Dirfan santai, melambaikan tangannya dengan senyum terlukis di wajahnya. "Dari mana Kak Dirfan tahu rumahku?" batinku penasaran. Rasa panik mulai merayap, tetapi aku tetap berusaha terlihat tenang meskipun perasaan was-was mulai menyelimutiku. Bagaimana mungkin dia bisa berdiri di sini, di depan rumahku, tanpa peringatan apa pun? "Kenapa Kakak ada di sini? Dan dari mana Kakak tahu rumahku?" tanyaku bertubi-tubi tanpa membalas sapaannya. "Aku hanya ingin mampir. Apa tidak boleh?" Kak Dirfan masih mempertahankan senyum di wajahnya. Namun, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan senyumnya. Seperti ada niat terselubung di dalamnya. "Tidak boleh! Suamiku sedang di luar. Lebih baik datang lain kali saat suamiku di rumah. Aku tidak ingin tetangga berpikiran aneh-aneh saat mereka melihatku dan Kakak," jawabku panjang lebar. Harapanku sederhana—pria di depanku ini mengerti dan segera pergi. "Zoya?" Sebuah suara yang sangat familiar tiba-tiba menyusup ke dalam percakapan. Aku menoleh, dan di sana berdiri Ibuku, berjalan menuju arah kami. Sekilas rasa lega menyelimutiku—Ibuku datang di saat yang tepat. Dengan bantuannya, aku yakin Kak Dirfan akan pergi. Namun, harapan itu seketika hilang, seolah tertelan bumi, ketika ibu tiba-tiba berkata dengan nada yang tak kuduga. "Zoya, persilakan Dirfan masuk," ucap Ibu dengan senyum yang membuat jantungku merosot ke tanah. Aku menatap Ibu, tertegun. Apa yang ibu pikirkan? Dengan cepat aku menghalangi pintu dengan tubuhku. "Ibu, aku tidak mau menerima tamu pria saat Mas Dewangga tidak di rumah." "Minggir, Zoya! Ibu tidak pernah mengajarimu untuk bersikap kurang ajar pada tamu!" bentak Ibu sambil mendorong tubuhku dengan kasar, membuatku mundur beberapa langkah. Setelah sukses membuatku mundur, Ibu langsung mengajak Kak Dirfan masuk, seolah-olah dia yang punya kuasa penuh atas rumah ini. "Ayo, Dirfan, duduklah. Anggap saja ini rumah sendiri." "Zoya, cepat buatkan teh dan siapkan camilan untuk Dirfan. Jangan sampai tamu merasa tidak dihormati di rumah ini!" perintah Ibu dengan nada tajam. Dengan enggan, aku menyeret kakiku ke dapur, tak punya pilihan. Dari dapur, aku bisa mendengar mereka bercakap-cakap dengan akrab, suara tawa Ibu terdengar begitu lepas. Aneh, padahal seingatku mereka tak pernah saling kenal saat aku sekolah dulu. Ketika teh dan camilan siap, aku membawa semuanya ke ruang tamu. Aku bisa merasakan tatapan Kak Dirfan yang terarah padaku, dan itu membuatku tidak nyaman. "Zoya, kalau saja kamu lebih pintar memilih pria yang mapan seperti Dirfan ini, hidupmu pasti jauh lebih baik daripada bergantung pada lelaki tak berguna seperti Dewangga," kata Ibu dengan nada mengejek. "Ah, Ibu terlalu memuji," balas Kak Dirfan tersenyum penuh kesombongan. "Bisnis saya memang baru berkembang, tapi saya yakin, dalam waktu dekat usaha ini akan meroket." Ibu tertawa kecil, menepuk bahunya. "Ibu yakin itu, Dirfan. Setidaknya kamu punya masa depan yang cerah. Tidak seperti Dewangga, pria miskin yang sekarang mendekam di penjara." "Zoya, kamu bercerai saja dengan Dewangga," kata Ibu dengan nada enteng. Aku tertegun, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Apa maksud Ibu? Aku tidak mau! Ibu bicara seperti itu seolah-olah sudah ada calon lain saja!" jawabku dengan nada tinggi. Dadaku terasa mendidih, amarah dan kekecewaan bercampur aduk mendengar ucapan Ibu yang begitu santainya menyuruhku bercerai dari Mas Dewangga. Namun, yang Ibu katakan selanjutnya membuat tubuhku lemas, seolah seluruh energiku terhisap ke Bumi."Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan."A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak."Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—""Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah.Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah."Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram.Aku menghela napas panjan
Benar saja, waktu yang kuhabiskan di ruang kunjungan terasa jauh lebih lama, terutama setelah Dewangga menyuruh pria berjas hitam itu untuk meminta perpanjangan waktu. Hingga menjelang jam pulang sekolah Abiyan, belum ada tanda-tanda petugas yang datang untuk memberitahukan bahwa waktu kunjungan sudah habis.Akhirnya aku harus berpamitan. “Mas, aku harus menjemput Abiyan,” ucapku pelan, tak ingin mengganggu suasana. Namun, saat aku berdiri, Mas Dewangga tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat, seakan tak rela aku pergi.“Janji besok datang lagi dengan Abiyan. Bawa makanan enak untukku,” pintanya sambil mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum lembut dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aku akan datang lagi.”“Hati-hati di jalan. Kalau pria itu muncul lagi, tonjok pipinya sampai ungu,” tambahnya dengan nada bercanda, berusaha meringankan suasana.Aku tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Suasana hangat tadi masih menempel di hati, tetapi pikiranku kini kembali dipenuhi oleh
Aku menoleh ke belakang, takut jika ternyata sopir itu tengah menyapa seseorang di belakangku. Namun, di belakangku tidak ada siapa pun. Di tempat parkir ini hanya ada aku, suamiku, dan anakku.Aku melirik ke arah Mas Dewangga, berharap mendapat penjelasan, tetapi dia hanya tersenyum tipis, seolah tidak terkejut sama sekali. Dia menggenggam tanganku, tenang dan kuat, lalu menuntun kami menuju mobil mewah itu.“Mas ....” Aku menghentikan langkah, membuat Mas Dewangga juga ikut berhenti.“Mas, ada apa ini? Kenapa—”Suara nyaring dari belakang memotong ucapanku. Ibu bersama Kak Dirfan, berjalan cepat menghampiri kami.Aku mempererat genggaman tanganku pada Mas Dewangga, sengaja ingin memperlihatkan pada Kak Dirfan bahwa aku berada di sisi suamiku."Lho, Dewangga? Kamu sudah keluar dari penjara?" tanya Ibu sembari menaikkan sebelah alis dengan pandangan sinis.“Iya, Bu. Aku baru saja keluar,” jawab suamiku dengan sopan dan tenang."Halo, semua," sapa Kak Dirfan yang kini berdiri di sampin
Saat mobil berhenti tepat di depan rumah, kami bergegas turun. Aku bisa melihat para warga menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik."Yah, wajar saja. Mobil ini terlalu mencolok di pemukiman sederhana seperti ini," batinku sambil menarik napas panjang."Ma, aku ingin bermain, ya. Mama pernah bilang kalau Abiyan boleh bermain jika Papa sudah pulang," pinta Abiyan dengan mendongak ke arahku, matanya berbinar penuh harap."Iya, tapi ganti dulu bajumu," jawabku lembut.Abiyan mengangguk dengan penuh semangat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Mas Dewangga yang masih mematung di luar rumah. "Sayang, ayo kita masuk juga," kata Mas Dewangga lembut sembari menggenggam tanganku, sedangkan mobil mewah yang tadi kami tumpangi mulai pergi menjauh.Saat Abiyan sudah asyik bermain di luar, tanpa berbasa-basi aku menagih janji pada Mas Dewangga. Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan, dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."Mas, kamu berutang penjelasan padaku," ucapku,
Seseorang yang kini berdiri di hadapanku ternyata Mas Dewangga, suamiku."Total belanjaan istriku jadi berapa, Bu?" tanya suamiku, matanya menatap ibu warung dengan tenang."Eh, itu ... jadi enam puluh lima ribu," jawab ibu warung sedikit terbata-bata, seolah gugup dengan kehadiran Mas Dewangga.Setelah mendengar nominal yang disebut, Mas Dewangga beralih menatapku dan bertanya, "Ada yang ingin kamu beli lagi? Aku akan membayar semuanya.""Tidak. Sudah cukup, Mas."Mendengar jawabanku, Mas Dewangga mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari saku dan menyerahkan uang pecahan seratus ribu pada ibu warung. Sekilas, aku melihat ada beberapa lembar uang di dompet Mas Dewangga, cukup banyak."Mas, uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku berbisik sembari menunggu kembalian. Jujur, ada rasa penasaran yang mengganggu."Ini uang kompensasi karena aku dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga menekankan kata 'dituduh' dengan suara yang agak keras, seakan sengaja agar orang-orang di sekitar mendengarnya.
Saat suara langkah kaki mulai mendekat, aku berpura-pura berjalan ke dapur seolah tujuanku ke sana.Aku berpapasan dengan Mas Dewangga. Dia berbasa-basi menanyakan apakah aku sudah mengantar pisang keju ke rumah Ibu atau belum. Setelah itu, suamiku memintaku membantu Abiyan di dapur, dan berlalu begitu saja.Saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati suamiku tengah mengecek ponselnya."Besok aku akan menagih janjinya saat Abiyan berangkat sekolah. Dia masih berutang penjelasan padaku," batinku sembari berjalan ke dapur.Hari itu, kami menghabiskan waktu dengan damai, dan meski rasa penasaran terus menghantui, aku berusaha menikmati kebersamaan kami sebagai keluarga. Pagi datang dengan cepat. Meskipun aku tak sabar untuk mencari tahu, aku terlebih dahulu fokus menjalankan rutinitasku. Setelah aku mengantar Abiyan ke sekolah dan di rumah hanya ada aku dan suamiku, aku segera menjalankan rencanaku. Beruntung hari ini dia tidak pergi ke mana-mana, aku juga sudah selesai bersih-bersih r
Mas Dewangga hanya tersenyum tipis, meneguk teh yang tinggal setengah. "Ya, sedikit-sedikit. Toh, sekarang semua orang bisa belajar lewat internet.""Tapi kamu terdengar seperti sudah ahli," desakku, ingin tahu lebih dalam. "Dari mana kamu belajar semua itu? Affiliate marketing, saham, cryptocurrency ... semua terdengar asing buatku.""Yah, anggap saja aku suka membaca dan mencari tahu," jawabnya santai, tetapi aku tahu ada lebih dari sekadar membaca. Aku terus menatapnya, rasa penasaran mulai tumbuh semakin kuat.Mas Dewangga tertawa kecil, mengacak lembut rambutku. "Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang. Tenang saja, suatu hari nanti kamu akan tahu segalanya."Jawabannya tak memuaskanku, tetapi rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku tidak pernah surut. Ada misteri di balik ketenangan suamiku yang menunggu untuk diungkap."Aku mau ke kamar mandi dulu, ya," ucap Mas Dewangga, berlalu meninggalkanku yang masih dipenuhi segudang pertanyaan.Aku menghela napas panjang, merasa sedikit ke
Tepat saat aku tiba di ruang tamu, betapa terkejutnya aku melihat sesuatu yang dibawa Mas Dewangga dan Abiyan. Di tangan mereka, ada kantong-kantong belanjaan yang penuh sesak—jauh lebih banyak dari sekadar donat yang tadi kuminta."Mas, ini ... kenapa banyak sekali belanjaannya?" tanyaku, menatap kantong-kantong yang tampak berisi buah-buahan, sayuran, dan bahan makanan lainnya.Mas Dewangga tersenyum, meski ada sedikit lelah di wajahnya. "Aku pikir kita sekalian belanja untuk stok di rumah. Aku lihat tadi ada promo di toko dekat sekolah Abiyan, jadi ya sekalian saja."Abiyan yang sejak tadi mengamati percakapanku dan Mas Dewangga kini ikut bicara.“Ma, minggu depan Abiyan ada ulangan. Kalau Abiyan dapat nilai bagus, boleh minta adik tidak, Ma?” tanyanya dengan polos, membuat wajahku memanas.“Abiyan! Kamu ini tidak boleh minta adik sembarangan,” jawabku terbata-bata, menahan senyum. Sementara itu, Mas Dewangga hanya menatapku dengan tatapan menggoda.“Dengar, tuh. Kalau Abiyan dapat
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e