Karena merasa tidak nyaman, aku segera menyelesaikan transaksi dan cepat-cepat pulang ke rumah.
Namun, ketika kami hampir tiba di rumah, beberapa tetangga sudah menunggu dengan tatapan tajam. Aku juga bisa mendengar ucapan mereka. "Ekhem, ada yang baru pulang shopping, nih." Suara seorang wanita memecah keheningan. Aku langsung mendongak dan menoleh ke arah suara itu. Aku menghentikan langkah, mengangguk dan tersenyum pada mereka. "Iya, Bu. Belanja bahan-bahan untuk jualan gorengan besok." Namun, ekspresi mereka yang sinis membuatku bingung. Apa yang salah dengan belanjaanku? "Belanja dari uang hasil mencuri ternyata beda, ya. Belanjanya lebih banyak dari biasanya," cibir salah satu dari mereka. Aku mengerutkan dahi mendengar tuduhan itu. Mereka bilang aku belanja dari uang hasil mencuri? Yang benar saja! "Mama tidak pernah mencuri!" Teriakan Abiyan membuatku tersentak. Aku hampir lupa jika anakku ada di sebelahku, mendengar semua ini. "Hei, Abiyan. Ibumu memang tidak mencuri, tapi ayahmu yang mencuri. Sekarang ayahmu sedang di kantor polisi, masuk penjara." Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat mendengar kata-kata itu. Mas Dewangga masuk penjara? "Tidak mungkin Mas Dewangga masuk penjara," kataku sambil menggelengkan kepala dengan keras, seolah dengan itu aku bisa menghapuskan semua tuduhan tersebut. "Kalau tidak percaya, pergi saja ke kantor polisi," sahut salah satu ibu-ibu dengan nada mengejek. Dengan cepat aku berbalik dan melangkah menuju rumah dengan langkah tergesa-gesa. Abiyan yang berada di belakangku memanggilku dengan nada khawatir dan meminta agar aku berjalan lebih pelan. Namun, aku hanya mendengar desah napasnya dan tetap melanjutkan langkahku yang cepat. Sesampainya di rumah, aku meletakkan barang belanjaan yang berat dari tanganku dan Abiyan. Namun, aku terkejut melihat Ibuku duduk di ruang tamu dengan wajah yang tampak tidak senang. "Kenapa Ibu di sini?" tanyaku, mencoba menyembunyikan kekhawatiran. Ibuku berdiri dengan tangan bersilang, menatapku dengan tajam. "Jadi, kamu belanja banyak sekali hari ini. Dari mana uangnya, hah?" Aku merasa kaget dengan interogasi mendadak itu. "Ibu, Ibu tahu sendiri kan, aku baru saja jualan. Uangnya dari hasil dagangan." Ibuku mengerutkan dahi. "Hasil dagangan? Kamu belum mendengar gosip terbaru? Katanya Dewangga masuk penjara karena mencuri." "Itu tidak benar! Pasti ada kesalahpahaman." "Kalau tidak benar, lalu kenapa kamu belanja banyak? Dari mana uangnya?" Ibu menatapku dengan skeptis. "Ibu, aku sudah bilang, itu dari hasil dagangan. Ada yang memborong daganganku. Kenapa Ibu tidak percaya?" Suasana menjadi tegang, aku masih berdiri dengan napas tak beraturan, sementara Ibu terus menatapku dengan penuh kecurigaan. "Bu, kita akhiri saja pembicaraan ini. Aku ingin pergi ke kantor polisi untuk menemui Mas Dewangga," ucapku yang tak tahan karena terus dipojokkan. "Ya sudah, pergi saja!" ketus Ibu sembari melenggang ke luar rumah. Aku mengembuskan napas panjang. Pikiranku sekarang semrawut. Banyak hal yang membuatku cukup frustrasi hari ini maupun kemarin. Namun, di detik berikutnya aku terkejut karena ada sesuatu yang menyentuh tanganku. Dengan cepat aku menoleh. Ternyata itu anakku. Aku sampai lupa bahwa Abiyan sedari tadi berdiri di sampingku sepanjang pertengkaran tadi. "Maaf, Nak. Mama terlalu terbawa emosi. Jangan pikirkan kata-kata nenek tadi, ya.” Abiyan mengangguk, meski tampak masih sedikit khawatir. “Iya, Ma.” Aku tersenyum lembut. “Sekarang, ayo kita pergi ke kantor polisi.” Kami pun keluar dari rumah, melangkah menuju angkutan umum. Aku berusaha menenangkan pikiran dan fokus pada urusan penting yang harus dihadapi. Ketika kami tiba di kantor polisi, suasana di sana tampak sibuk. Aku memegang tangan Abiyan dengan erat, siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi selanjutnya. Setelah menjalani serangkaian prosedur yang cukup lama, akhirnya kami diizinkan masuk. Seorang petugas polisi mengantarkan kami ke ruang kunjungan. "Silakan tunggu di sini. Suami Anda akan segera datang," ucapnya sebelum meninggalkan kami di ruangan yang terasa dingin dan sunyi. Aku mengajak anakku untuk duduk di salah satu bangku yang disediakan untuk menunggu kehadiran Mas Dewangga. Aku menahan napas saat suara langkah berat terdengar mendekat. Tak sampai lima menit, petugas polisi itu kembali bersama Mas Dewangga yang berjalan di belakangnya. Saat sosoknya terlihat, aku tak mampu menahan diri lagi. Kakiku bergerak sendiri, berlari dan memeluk erat tubuhnya. "Mas," panggilku dengan suara gemetar. "Papa!" Suara Abiyan menyusul. "Kalian datang," sahut Mas Dewangga dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya. Aku heran, di situasi seperti ini, suamiku masih bisa bersikap tenang seolah semua baik-baik saja. Namun, aku tahu bahwa di dalam hatinya ada badai yang berkecamuk. "Ayo kita duduk dulu." Mas Dewangga menuntunku dan Abiyan menuju bangku yang tersedia. Ruang kunjungan ini terbuka, memungkinkan kami untuk duduk bersama. Mas Dewangga duduk di tengah, sedangkan aku dan Abiyan masing-masing duduk di sisi kanan dan kirinya. Tangan kananku menggenggam tangannya yang terasa lebih dingin dari biasanya. "Mas, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu bisa masuk penjara?" tanyaku dengan suara rendah, tetapi ada getaran cemas di dalamnya. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Saat aku pergi ke toilet sebentar, tiba-tiba saja di parkiran sudah heboh," jawab suamiku, suaranya terdengar tenang, tapi aku bisa mendengar sedikit getaran di baliknya. Aku mendengarkan penjelasannya dengan saksama, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Aku yang baru kembali dari toilet tiba-tiba dituduh mencuri oleh orang-orang. Tentu aku membantah. Lalu, saat mereka menggeledah tempatku duduk, mereka menemukan barang yang hilang di sana. Tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan, aku langsung diseret ke kantor polisi." "Sudah mengecek CCTV?" tanyaku penuh harap, menggenggam tangannya lebih erat. "Itulah masalahnya," jawab Mas Dewangga, matanya terarah ke lantai. "CCTV tidak berfungsi sejak kemarin." Jawaban yang terlontar dari mulut Mas Dewangga membuat harapanku menguap ke udara dan hilang ditiup angin. "Papa." Suara lembut Abiyan mengalihkan perhatian kami. Sontak aku dan Mas Dewangga kompak menoleh ke arah kiri, tempat di mana Abiyan duduk. "Abiyan percaya Papa tidak mencuri. Papa selalu bilang berkali-kali pada Abiyan bahwa mencuri itu tidak baik, dan Abiyan tahu Papa adalah orang baik," ucap Abiyan dengan penuh keyakinan, matanya yang bulat menatap langsung ke arah ayahnya, seolah memberikan dukungan yang tulus. Aku bisa melihat mata Mas Dewangga berkaca-kaca, dan senyum bangga perlahan menghiasi wajahnya setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut mungil Abiyan. "Iya, Mas. Kita percaya bahwa kamu tidak mencuri," sahutku dengan lembut, sembari menyenderkan kepalaku ke bahu suamiku, mencoba memberikan kekuatan yang sama. "Terima kasih sudah percaya," jawab Mas Dewangga dengan suara yang sedikit bergetar, lalu mendekap kami berdua dalam pelukannya yang hangat. Aku bisa merasakan ketulusan dan cinta yang begitu dalam di pelukan itu, seolah tak ada yang bisa memisahkan kami. "Tenang saja, sebentar lagi aku akan segera keluar dari sini," ucap Mas Dewangga dengan penuh percaya diri. Namun, tiba-tiba suara berat terdengar. "Dewangga, waktumu sudah habis. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." Mas Dewangga menoleh dengan cepat, matanya melebar karena terkejut. Aku bisa melihat keterkejutan sekilas di wajahnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut."Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini."Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini."Baiklah, Mas ... aku pulang.
"Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan."A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak."Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—""Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah.Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah."Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram.Aku menghela napas panjan
Benar saja, waktu yang kuhabiskan di ruang kunjungan terasa jauh lebih lama, terutama setelah Dewangga menyuruh pria berjas hitam itu untuk meminta perpanjangan waktu. Hingga menjelang jam pulang sekolah Abiyan, belum ada tanda-tanda petugas yang datang untuk memberitahukan bahwa waktu kunjungan sudah habis.Akhirnya aku harus berpamitan. “Mas, aku harus menjemput Abiyan,” ucapku pelan, tak ingin mengganggu suasana. Namun, saat aku berdiri, Mas Dewangga tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat, seakan tak rela aku pergi.“Janji besok datang lagi dengan Abiyan. Bawa makanan enak untukku,” pintanya sambil mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum lembut dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aku akan datang lagi.”“Hati-hati di jalan. Kalau pria itu muncul lagi, tonjok pipinya sampai ungu,” tambahnya dengan nada bercanda, berusaha meringankan suasana.Aku tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Suasana hangat tadi masih menempel di hati, tetapi pikiranku kini kembali dipenuhi oleh
Aku menoleh ke belakang, takut jika ternyata sopir itu tengah menyapa seseorang di belakangku. Namun, di belakangku tidak ada siapa pun. Di tempat parkir ini hanya ada aku, suamiku, dan anakku.Aku melirik ke arah Mas Dewangga, berharap mendapat penjelasan, tetapi dia hanya tersenyum tipis, seolah tidak terkejut sama sekali. Dia menggenggam tanganku, tenang dan kuat, lalu menuntun kami menuju mobil mewah itu.“Mas ....” Aku menghentikan langkah, membuat Mas Dewangga juga ikut berhenti.“Mas, ada apa ini? Kenapa—”Suara nyaring dari belakang memotong ucapanku. Ibu bersama Kak Dirfan, berjalan cepat menghampiri kami.Aku mempererat genggaman tanganku pada Mas Dewangga, sengaja ingin memperlihatkan pada Kak Dirfan bahwa aku berada di sisi suamiku."Lho, Dewangga? Kamu sudah keluar dari penjara?" tanya Ibu sembari menaikkan sebelah alis dengan pandangan sinis.“Iya, Bu. Aku baru saja keluar,” jawab suamiku dengan sopan dan tenang."Halo, semua," sapa Kak Dirfan yang kini berdiri di sampin
Saat mobil berhenti tepat di depan rumah, kami bergegas turun. Aku bisa melihat para warga menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik."Yah, wajar saja. Mobil ini terlalu mencolok di pemukiman sederhana seperti ini," batinku sambil menarik napas panjang."Ma, aku ingin bermain, ya. Mama pernah bilang kalau Abiyan boleh bermain jika Papa sudah pulang," pinta Abiyan dengan mendongak ke arahku, matanya berbinar penuh harap."Iya, tapi ganti dulu bajumu," jawabku lembut.Abiyan mengangguk dengan penuh semangat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Mas Dewangga yang masih mematung di luar rumah. "Sayang, ayo kita masuk juga," kata Mas Dewangga lembut sembari menggenggam tanganku, sedangkan mobil mewah yang tadi kami tumpangi mulai pergi menjauh.Saat Abiyan sudah asyik bermain di luar, tanpa berbasa-basi aku menagih janji pada Mas Dewangga. Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan, dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."Mas, kamu berutang penjelasan padaku," ucapku,
Seseorang yang kini berdiri di hadapanku ternyata Mas Dewangga, suamiku."Total belanjaan istriku jadi berapa, Bu?" tanya suamiku, matanya menatap ibu warung dengan tenang."Eh, itu ... jadi enam puluh lima ribu," jawab ibu warung sedikit terbata-bata, seolah gugup dengan kehadiran Mas Dewangga.Setelah mendengar nominal yang disebut, Mas Dewangga beralih menatapku dan bertanya, "Ada yang ingin kamu beli lagi? Aku akan membayar semuanya.""Tidak. Sudah cukup, Mas."Mendengar jawabanku, Mas Dewangga mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari saku dan menyerahkan uang pecahan seratus ribu pada ibu warung. Sekilas, aku melihat ada beberapa lembar uang di dompet Mas Dewangga, cukup banyak."Mas, uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku berbisik sembari menunggu kembalian. Jujur, ada rasa penasaran yang mengganggu."Ini uang kompensasi karena aku dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga menekankan kata 'dituduh' dengan suara yang agak keras, seakan sengaja agar orang-orang di sekitar mendengarnya.
Saat suara langkah kaki mulai mendekat, aku berpura-pura berjalan ke dapur seolah tujuanku ke sana.Aku berpapasan dengan Mas Dewangga. Dia berbasa-basi menanyakan apakah aku sudah mengantar pisang keju ke rumah Ibu atau belum. Setelah itu, suamiku memintaku membantu Abiyan di dapur, dan berlalu begitu saja.Saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati suamiku tengah mengecek ponselnya."Besok aku akan menagih janjinya saat Abiyan berangkat sekolah. Dia masih berutang penjelasan padaku," batinku sembari berjalan ke dapur.Hari itu, kami menghabiskan waktu dengan damai, dan meski rasa penasaran terus menghantui, aku berusaha menikmati kebersamaan kami sebagai keluarga. Pagi datang dengan cepat. Meskipun aku tak sabar untuk mencari tahu, aku terlebih dahulu fokus menjalankan rutinitasku. Setelah aku mengantar Abiyan ke sekolah dan di rumah hanya ada aku dan suamiku, aku segera menjalankan rencanaku. Beruntung hari ini dia tidak pergi ke mana-mana, aku juga sudah selesai bersih-bersih r
Mas Dewangga hanya tersenyum tipis, meneguk teh yang tinggal setengah. "Ya, sedikit-sedikit. Toh, sekarang semua orang bisa belajar lewat internet.""Tapi kamu terdengar seperti sudah ahli," desakku, ingin tahu lebih dalam. "Dari mana kamu belajar semua itu? Affiliate marketing, saham, cryptocurrency ... semua terdengar asing buatku.""Yah, anggap saja aku suka membaca dan mencari tahu," jawabnya santai, tetapi aku tahu ada lebih dari sekadar membaca. Aku terus menatapnya, rasa penasaran mulai tumbuh semakin kuat.Mas Dewangga tertawa kecil, mengacak lembut rambutku. "Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang. Tenang saja, suatu hari nanti kamu akan tahu segalanya."Jawabannya tak memuaskanku, tetapi rasa penasaran yang tumbuh dalam diriku tidak pernah surut. Ada misteri di balik ketenangan suamiku yang menunggu untuk diungkap."Aku mau ke kamar mandi dulu, ya," ucap Mas Dewangga, berlalu meninggalkanku yang masih dipenuhi segudang pertanyaan.Aku menghela napas panjang, merasa sedikit ke