Pagi itu aku terbangun dengan perasaan gelisah yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Mataku terasa berat, pertanda bahwa tidurku tidak benar-benar nyenyak. Saat melihat jam di dinding, jantungku berdegup kencang.
"Ya ampun, sudah hampir pukul tujuh!" seruku panik. Aku teringat betapa lama diriku terjaga semalam, memikirkan percakapan suamiku di telepon dan juga uang yang diberikan Mas Dewangga. Pikiran itu membayangi tidurku hingga aku terlambat bangun pagi ini. Dengan cepat, aku bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke luar. Suara lembut Mas Dewangga terdengar dari pintu depan. Suamiku sudah rapi dengan seragam tukang parkirnya, sementara Abiyan berdiri di sampingnya, siap untuk berangkat sekolah. "Maaf, Mas ... aku terlambat bangun," ucapku terburu-buru, merasa bersalah karena tidak menyiapkan sarapan seperti biasanya. Mas Dewangga tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa. Aku sudah siapkan bekal untuk Abiyan. Sekarang, kami harus berangkat. Jangan khawatir, istirahat saja." Aku memandang suamiku dengan perasaan campur aduk—ada syukur, tetapi juga kegelisahan yang belum sepenuhnya hilang. Uang yang diberikan Mas Dewangga kemarin masih membebani pikiranku, seolah ada sesuatu yang belum terungkap. Mas Dewangga menepuk bahuku dengan lembut. "Aku akan pulang agak larut malam ini, ada urusan di tempat parkir. Jangan terlalu dipikirkan, ya?" Aku hanya bisa mengangguk. "Hati-hati, Mas," ucapku perlahan. Setelah Mas Dewangga dan Abiyan berangkat, aku segera bersiap-siap untuk menggoreng gorengan yang akan dijual. Aku mulai mempersiapkan bahan-bahan, mengaduk adonan, dan menyalakan kompor. Suara minyak mendesis ketika gorengan-gorengan mulai masuk ke dalam wajan, sementara pikiranku masih melayang-layang memikirkan uang yang diberikan Dewangga. Setelah gorengan selesai dan semuanya sudah siap, aku mandi dengan cepat. Pikiran tentang urusan jualan mengusir semua kecemasan, meski hanya untuk sementara. Aku mengangkat kontainer plastik berukuran sedang yang biasa aku gunakan untuk berjualan gorengan keliling, lalu mulai berjalan ke tempat biasa. Langkahku membawa ke kawasan pemukiman yang sudah tak asing lagi. Aku mulai menawarkan daganganku dari rumah ke rumah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Tidak butuh waktu lama, beberapa tetangga keluar untuk membeli. "Gorengannya masih hangat, Bu!" seruku sambil tersenyum ramah. Seorang ibu dengan cepat mengambil beberapa gorengan, membayar dengan uang yang sudah disiapkan. Dari satu tempat ke tempat lain, daganganku laris terjual. Gorengan yang kubawa mulai berkurang seiring langkahku menjelajahi jalan-jalan sempit di lingkungan ini. Perasaan lega menyelimutiku. Setidaknya, hari ini aku bisa membawa pulang uang yang cukup untuk kebutuhan kami. Namun, tetap saja, pikiran tentang percakapan di telepon dan uang dari Mas Dewangga terus muncul di sela-sela kesibukanku. Di tengah perjalanan, sebuah mobil mewah berwarna hitam tiba-tiba berhenti di sampingku. Mobil itu terlalu mencolok untuk lingkungan sederhana seperti ini. Kaca mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah seorang pria yang tersenyum lebar ke arahku dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Aku tidak mengenalnya, tetapi entah mengapa wajahnya terlihat familiar di mataku. "Maaf, Anda kenal saya?" tanyaku sedikit bingung. "Kamu tidak mengenaliku?" tanyanya sembari melepas kacamatanya, senyumnya masih dia pertahankan. Melihatku terus diam, pria itu akhirnya memperkenalkan dirinya. "Aku Dirfan. Sekarang kamu ingat?" Aku terdiam sejenak, lalu wajahnya mulai teringat dalam benakku—Dirfan, kakak pembimbingku saat MOS dulu di SMA. Dulu dia pernah menyatakan perasaannya padaku, tetapi aku menolaknya dengan alasan ingin fokus sekolah. Bukannya berhenti, Kak Dirfan semakin mengejarku. Hingga aku menjadi sasaran julid kakak kelas perempuan yang menyukai Kak Dirfan dan itu membuatku cukup kesulitan selama berada di sekolah. Hingga saat dimana Kak Dirfan lulus, barulah aku bisa bernapas dengan lega dan menjalani sekolahku dengan tenang. Lalu sekarang Kak Dirfan tiba-tiba muncul di depanku dengan sosok yang tampak sangat berbeda. Terlihat jauh lebih mewah dan percaya diri. "Zoya?" panggil Kak Dirfan. Seketika lamunan masa laluku buyar saat pria itu memanggilku. "Ah, iya, aku ingat, Kak," jawabku buru-buru setelah ingatan tentang pria di depanku kembali. Kak Dirfan tersenyum puas mendengar jawabanku. Melihatnya tersenyum, entah mengapa aku jadi bergidik. Kak Dirfan keluar dari mobil dan berjalan mendekat, tatapannya turun ke kontainer gorengan yang kubawa. "Kamu jualan gorengan?" Aku mengangguk. "Iya, untuk tambahan sehari-hari." Kak Dirfan tersenyum tipis, lalu tanpa basa-basi mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan sejumlah uang. "Aku borong semuanya. Kamu tidak perlu keliling jualan hari ini." Aku memandang uang itu dengan terkejut. Jumlahnya terlalu banyak untuk gorengan yang kubawa. "Kak, ini terlalu banyak. Gorengan ini tidak seharga itu." Dia tertawa kecil dan mendorong uang itu ke tanganku. "Sudahlah, ambil saja. Tidak masalah buatku. Lagi pula, aku cuma ingin membantu." Aku merasa tidak nyaman, tetapi terpaksa menerima uang itu. Kemudian dengan cepat aku membungkus semua gorengan itu. "Jadi bagaimana kabarmu sekarang? Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Kak Dirfan tiba-tiba. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman dan risih dengan pertanyaannya itu. Namun, sepertinya ini kesempatan yang bagus untuk menunjukkan padanya bahwa aku sudah memiliki pasangan dalam ikatan pernikahan. "Kabarku baik dan aku tidak punya pacar," jawabku yang membuat wajah Kak Dirfan sumringah. "Tapi aku punya suami dan satu anak," lanjutku cepat. Seketika saja ekspresi wajah pria di depanku berubah murung. "Ah, begitu," katanya sembari menggaruk kepalanya. Setelah semua gorengannya terbungkus, aku segera menyerahkannya pada Kak Dirfan. "Karena daganganku sudah habis, aku mau menjemput anakku. Terima kasih sudah memborong daganganku, Kak." Buru-buru aku menyambar kontainer di sebelahku dan pergi dari hadapan pria itu. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. "Zoya, tunggu!" Aku menulikan telinga, mengabaikan panggilan pria menyebalkan itu. Aku bahkan berlari agar pria itu tidak mengejar. Bahkan aku juga percaya diri bahwa Kak Dirfan tidak akan mengejarku, karena dia membawa mobil. Tidak mungkin dia mengejarku dan meninggalkan mobilnya begitu saja. Agar sampai lebih cepat ke sekolah Abiyan, aku memutuskan naik angkutan umum. Meski sebenarnya masih ada satu jam sebelum jam pulangnya, aku lebih memilih menunggu di sana daripada berlama-lama dengan Kak Dirfan. Setibanya di sekolah, halaman masih sepi. Anak-anak belum ada yang keluar, bahkan gerbang sekolah masih tertutup sebagian. Aku berdiri di depan kelas, bergabung dengan beberapa ibu-ibu yang juga menunggu anaknya pulang. Waktu berlalu dengan lambat, dan saat akhirnya Abiyan keluar bersama anak-anak lain, aku melambai ke arahnya. Wajahnya berseri melihatku, seperti biasa. "Ma, kok cepat sekali?" tanya anakku penasaran. Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Mama hanya tidak ingin telat menjemput kamu, Nak. Yuk, kita ke pasar belanja bahan untuk besok." Abiyan mengangguk, menggenggam tanganku, dan kami berjalan menuju pasar. Suasana sedikit lebih tenang dibandingkan pagi tadi. Setibanya di pasar, aku berusaha fokus memilih bahan-bahan, sementara Abiyan sibuk memperhatikan kios-kios di sekitarnya. Namun, seiring kami berjalan di tengah pasar, perasaan aneh kembali menghampiriku. Seperti ada yang mengawasi. Aku menoleh. Namun, tak ada siapa pun yang tampak mencurigakan di antara kerumunan. Meski begitu, perasaan diawasi itu tak kunjung hilang.Karena merasa tidak nyaman, aku segera menyelesaikan transaksi dan cepat-cepat pulang ke rumah.Namun, ketika kami hampir tiba di rumah, beberapa tetangga sudah menunggu dengan tatapan tajam. Aku juga bisa mendengar ucapan mereka. "Ekhem, ada yang baru pulang shopping, nih." Suara seorang wanita memecah keheningan. Aku langsung mendongak dan menoleh ke arah suara itu.Aku menghentikan langkah, mengangguk dan tersenyum pada mereka. "Iya, Bu. Belanja bahan-bahan untuk jualan gorengan besok."Namun, ekspresi mereka yang sinis membuatku bingung. Apa yang salah dengan belanjaanku?"Belanja dari uang hasil mencuri ternyata beda, ya. Belanjanya lebih banyak dari biasanya," cibir salah satu dari mereka.Aku mengerutkan dahi mendengar tuduhan itu. Mereka bilang aku belanja dari uang hasil mencuri? Yang benar saja!"Mama tidak pernah mencuri!" Teriakan Abiyan membuatku tersentak. Aku hampir lupa jika anakku ada di sebelahku, mendengar semua ini."Hei, Abiyan. Ibumu memang tidak mencuri, tapi a
Setelah mendengar ada yang ingin bertemu dengan suamiku dan raut wajah suamiku terlihat terkejut, aku punya firasat kuat bahwa orang itu adalah seseorang yang kemarin menelepon Mas Dewangga.Mas Dewangga meraih tanganku dengan lembut, matanya menatapku penuh dengan kasih sayang. "Zoya, sayang ... pulanglah. Aku tidak mau kamu khawatir di sini," bisiknya pelan, suaranya begitu lembut."Aku tidak bisa, Mas," balasku pelan. "Aku ingin tetap di sini menemanimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Suamiku tersenyum tipis, meski aku bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia membelai pipiku dengan penuh kehangatan. "Aku tahu, Zoya. Tapi tolong kali ini pulanglah dulu, ya? Aku janji semua akan baik-baik saja. Aku tidak mau kamu dan Abiyan lelah karena terlalu lama di sini."Hati kecilku menolak, tetapi sentuhannya membuatku ragu. Mas Dewangga jarang memohon seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati aku mengangguk, meski sebenarnya aku ingin tetap di sini."Baiklah, Mas ... aku pulang.
"Ibu memang sudah mempersiapkan calon suami barumu," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Kamu bisa melihatnya di depanmu."Jari Ibu mengarah lurus ke Kak Dirfan yang duduk dengan santai, tersenyum penuh kemenangan."A-apa maksud, Ibu?" seruku tak percaya. Mataku terbelalak, dan jantungku berdegup kencang, terpacu oleh keterkejutan yang begitu mendadak."Kamu ini cantik dan masih muda. Akan lebih cocok jika kamu—""Tidak mau! Sampai kapan pun aku tidak akan mau bercerai dengan Mas Dewangga!" potongku cepat, suaraku bergetar. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru berjalan keluar dari rumah.Langkahku terasa berat dan terburu-buru, sementara suara Ibu dan Kak Dirfan terus memanggilku dari belakang. Namun, aku menulikan telinga. Semua yang mereka katakan membuat hatiku semakin kacau. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh tanpa bisa kucegah."Bagaimana bisa Ibu memintaku menceraikan Mas Dewangga dan menyuruhku menikah dengan Kak Dirfan?" gumamku geram.Aku menghela napas panjan
Benar saja, waktu yang kuhabiskan di ruang kunjungan terasa jauh lebih lama, terutama setelah Dewangga menyuruh pria berjas hitam itu untuk meminta perpanjangan waktu. Hingga menjelang jam pulang sekolah Abiyan, belum ada tanda-tanda petugas yang datang untuk memberitahukan bahwa waktu kunjungan sudah habis.Akhirnya aku harus berpamitan. “Mas, aku harus menjemput Abiyan,” ucapku pelan, tak ingin mengganggu suasana. Namun, saat aku berdiri, Mas Dewangga tiba-tiba menarikku dalam pelukan erat, seakan tak rela aku pergi.“Janji besok datang lagi dengan Abiyan. Bawa makanan enak untukku,” pintanya sambil mengecup pucuk kepalaku.Aku tersenyum lembut dan mengangguk. “Pasti, Mas. Aku akan datang lagi.”“Hati-hati di jalan. Kalau pria itu muncul lagi, tonjok pipinya sampai ungu,” tambahnya dengan nada bercanda, berusaha meringankan suasana.Aku tertawa kecil sebelum akhirnya benar-benar melangkah pergi. Suasana hangat tadi masih menempel di hati, tetapi pikiranku kini kembali dipenuhi oleh
Aku menoleh ke belakang, takut jika ternyata sopir itu tengah menyapa seseorang di belakangku. Namun, di belakangku tidak ada siapa pun. Di tempat parkir ini hanya ada aku, suamiku, dan anakku.Aku melirik ke arah Mas Dewangga, berharap mendapat penjelasan, tetapi dia hanya tersenyum tipis, seolah tidak terkejut sama sekali. Dia menggenggam tanganku, tenang dan kuat, lalu menuntun kami menuju mobil mewah itu.“Mas ....” Aku menghentikan langkah, membuat Mas Dewangga juga ikut berhenti.“Mas, ada apa ini? Kenapa—”Suara nyaring dari belakang memotong ucapanku. Ibu bersama Kak Dirfan, berjalan cepat menghampiri kami.Aku mempererat genggaman tanganku pada Mas Dewangga, sengaja ingin memperlihatkan pada Kak Dirfan bahwa aku berada di sisi suamiku."Lho, Dewangga? Kamu sudah keluar dari penjara?" tanya Ibu sembari menaikkan sebelah alis dengan pandangan sinis.“Iya, Bu. Aku baru saja keluar,” jawab suamiku dengan sopan dan tenang."Halo, semua," sapa Kak Dirfan yang kini berdiri di sampin
Saat mobil berhenti tepat di depan rumah, kami bergegas turun. Aku bisa melihat para warga menatap ke arah kami sambil berbisik-bisik."Yah, wajar saja. Mobil ini terlalu mencolok di pemukiman sederhana seperti ini," batinku sambil menarik napas panjang."Ma, aku ingin bermain, ya. Mama pernah bilang kalau Abiyan boleh bermain jika Papa sudah pulang," pinta Abiyan dengan mendongak ke arahku, matanya berbinar penuh harap."Iya, tapi ganti dulu bajumu," jawabku lembut.Abiyan mengangguk dengan penuh semangat, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Kini hanya aku dan Mas Dewangga yang masih mematung di luar rumah. "Sayang, ayo kita masuk juga," kata Mas Dewangga lembut sembari menggenggam tanganku, sedangkan mobil mewah yang tadi kami tumpangi mulai pergi menjauh.Saat Abiyan sudah asyik bermain di luar, tanpa berbasa-basi aku menagih janji pada Mas Dewangga. Ada sesuatu yang perlu dia jelaskan, dan aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi."Mas, kamu berutang penjelasan padaku," ucapku,
Seseorang yang kini berdiri di hadapanku ternyata Mas Dewangga, suamiku."Total belanjaan istriku jadi berapa, Bu?" tanya suamiku, matanya menatap ibu warung dengan tenang."Eh, itu ... jadi enam puluh lima ribu," jawab ibu warung sedikit terbata-bata, seolah gugup dengan kehadiran Mas Dewangga.Setelah mendengar nominal yang disebut, Mas Dewangga beralih menatapku dan bertanya, "Ada yang ingin kamu beli lagi? Aku akan membayar semuanya.""Tidak. Sudah cukup, Mas."Mendengar jawabanku, Mas Dewangga mengangguk. Dia mengeluarkan dompet dari saku dan menyerahkan uang pecahan seratus ribu pada ibu warung. Sekilas, aku melihat ada beberapa lembar uang di dompet Mas Dewangga, cukup banyak."Mas, uang sebanyak itu dari mana?" tanyaku berbisik sembari menunggu kembalian. Jujur, ada rasa penasaran yang mengganggu."Ini uang kompensasi karena aku dituduh mencuri," jawab Mas Dewangga menekankan kata 'dituduh' dengan suara yang agak keras, seakan sengaja agar orang-orang di sekitar mendengarnya.
Saat suara langkah kaki mulai mendekat, aku berpura-pura berjalan ke dapur seolah tujuanku ke sana.Aku berpapasan dengan Mas Dewangga. Dia berbasa-basi menanyakan apakah aku sudah mengantar pisang keju ke rumah Ibu atau belum. Setelah itu, suamiku memintaku membantu Abiyan di dapur, dan berlalu begitu saja.Saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati suamiku tengah mengecek ponselnya."Besok aku akan menagih janjinya saat Abiyan berangkat sekolah. Dia masih berutang penjelasan padaku," batinku sembari berjalan ke dapur.Hari itu, kami menghabiskan waktu dengan damai, dan meski rasa penasaran terus menghantui, aku berusaha menikmati kebersamaan kami sebagai keluarga. Pagi datang dengan cepat. Meskipun aku tak sabar untuk mencari tahu, aku terlebih dahulu fokus menjalankan rutinitasku. Setelah aku mengantar Abiyan ke sekolah dan di rumah hanya ada aku dan suamiku, aku segera menjalankan rencanaku. Beruntung hari ini dia tidak pergi ke mana-mana, aku juga sudah selesai bersih-bersih r