"Jangan senyum, jangan senyum. Muka jutek. Muka angkuh. Angkat dagu. Inget, Non. Dia itu pengkhianat. Kita harus hancurkan sampai berkeping-keping," bisik Marlina yang berada di samping kanan Sassi.Ruang meeting berukuran besar itu hanya diisi oleh satu buah meja pertemuan berbentuk bundar. Ganendra hanya membawa tiga orang yang mendampinginya. Kini, semua mata tertuju pada Sassi.Tanpa menoleh ke arah Marlina, Sassi mengikuti ucapan itu. Dengan pasti, mereka melangkah ke arah Ganendra.Ganendra menyambut Sassi dengan tersenyum hangat. Hari ini yang ia tahu, wanita di depannya adalah Emily Shander. "Hello, Miss Emily," sapa Ganendra sambil mengulurkan tangan kepada Sassi."Hai. Emily. Just Emily," balas Sassi menyambut tangan Ganendra. Tanpa senyuman.Ganendra menatap wajah Sassi dengan seksama, membuat perut Sassi terasa mual.'Masa' baru mulai, sudah ketauan?' batin Sassi. "Nice to meet you. Akhirnya kita bisa bertemu, Emily," ucap Ganendra lagi.Sassi hanya menaikkan kedua alis
Sassi kembali ke rumah. Rumah milik orang tuanya. Rumah tempat ia dilahirkan dan juga dibesarkan. Rumah yang telah direbut oleh suami dan juga sepupu yang telah mengkhianatinya.Mobil Ganendra diikuti oleh mobil Sassi telah memasuki halaman rumah. Sassi menolak saat Ganendra mengajak dirinya ikut bersama dalam satu mobil.Kedua mobil itu berhenti di depan teras rumah. Ganendra turun dari mobil, kemudian berdiri di anak tangga, menunggu Sassi keluar dari dalam mobil.Di dalam mobil, perasaan Sassi membuncah. Ia memandang ke arah halaman. Di sebelah kiri ada kebun bunga kecil, di mana dulu dirinya dan Darma sering menghabiskan waktu untuk menanam bunga.Marlina menggenggam tangan Sassi."Kita sudah sampai, Non. Non, sudah pulang ke rumah sendiri. Non Sassi, pasti bisa menghajar mereka yang sudah jahat sama keluarga Darma, Non," ucap Marlina memberi semangat pada Sassi.Sassi tersenyum mendengar ucapan Marlina.Kemudian, Malik membukakan pintu mobil, Sassi segera keluar didampingi oleh M
Sassi dan Marlina masuk ke kamar tamu yang berada di lantai dua. Untuk memastikan bahwa kamar ini aman, Marlina segera menyalakan alat pendeteksi kamera tersembunyi."Aman, Non," ucap Marlina.Sassi berjalan menuju balkon kamar dan berdiri di tepi pagar pembatas. Dulu ia sangat suka melakukan hal ini di sore hari. Rasa rindu akan rumah ini tak mampu menahannya untuk menunda melakukannya esok sore."Non, hampir tengah malam. Nanti Mbak Kunti menyapa, saya nggak bisa bantuin lho, Non," ucap Marlina.Sassi tersenyum mendengar ucapan Marlina."Kamu nggak capek, Mar?" tanya Sassi."Nggak. Saya biasa on setiap saat, Non," jawab Marlina."Non, mau mandi sekarang? Saya bisa siapkan airnya," ujar Marlina."Nggak usah, saya sudah terbiasa melakukannya sendiri dari kecil," jawab Sassi."Masa' sih? Padahal kan Non anak horang kayyak. Asisten rumah tangganya aja banyak banget. Yakin nggak perlu bisa menyiapkan sendiri?" tanya Marlina lagi."Nggak ada hubungannya antara kekayaan dan kemandirian," j
Sassi segera menunduk, sembunyi dengan berjongkok di balik meja kerja Darma. Terdengar suara langkah kaki dan pintu ditutup kembali."Non. Non Sassi."Sassi menekan bluethooth di telinga dan juga bibirnya secara bersamaan. Ia tak bisa membalas panggilan Marlina karena takut terdengar oleh orang yang masuk ke dalam ruangan."Astaga, Non. Di sini?" ucap Marlina membuat Sassi jatuh terduduk, terkejut karena ia tiba-tiba muncul di depan Sassi.Marlina ikut berjongkok di hadapan Sassi."Ada Alleta di koridor, jadi saya masuk ke sini. Mudah-mudah kita nggak ketauan," ujar Marlina sambil membantu Sassi berdiri."Astaga, Marlina. Aku pikir Alleta yang masuk," ujar Sassi sambil menarik napas lega."Kita harus cepat cari tempat sembunyi yang aman, Non. Jaga-jaga kalau tiba-tiba Alleta masuk juga."Sassi kemudian berdiri dan melangkah menuju jam lemari tua yang berada di sebelah cermin besar di ruangan itu. Marlina masih mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, fokus mencari tempat bersembunyi.
Sassi dan Marlina segera pergi meninggalkan gazebo. Mereka tidak ingin dicurigai jika terlalu lama berada di sana. Sassi membersihkan Hermès Handbag yang ia bawa dari debu yang menempel dari ruang rahasia dan juga bajunya. Marlina pun melakukan hal yang sama. Lalu mereka mencoba berjalan dengan tenang. Tak lama berselang mereka telah tiba di teras rumah.Sassi mengambil ponselnya yang bergetar di dalam tas. Lima buah panggilan tidak terjawab berasal dari nomor ponsel Ganendra. Sassi segera mengangkat panggilan Ganendra."Morning, Ganendra" ucap Sassi saat panggilan telefon mereka terhubung."Hey, morning, Emily. Masih di dalam kamarkah?" tanya Ganendra."Tidak. Saya sudah keluar dari kamar," jawab Sassi."Kalau begitu, di mana sekarang?" tanya Ganendra."Di teras," jawab Sassi. "Sedang apa?""Just enjoying the morning air around this house," jawab Sassi."Kalau kau sudah selesai. Segeralah bergabung denganku di ruang makan. Kita sarapan. Aku sudah menunggumu," pinta Ganendra."Baikl
'Pak Taya,' batin Sassi. Ingin sekali ia memeluk laki-laki tua itu.Marlina melihat ke arah Sassi yang membeku. Lalu ke arah Taya.'Mereka saling mengenal,' ucap Marlina dalam hati.Marlina menghampiri Pak Taya kemudian memandang Pak Taya dengan wajah mengintimidasi."Oh, maaf, Non. Sepertinya saya salah mengenali orang. Duh, mata ini suka ngaco. Maklum usia saya sudah lebih dari setengah abad," ucap Taya sambil mengalihkan pandangannya dari Sassi dan juga Marlina.Sassi ikut mendekat dan menatap Taya. Laki-laki tua itu kini sibuk membersihkan gelas-gelas yang ada di meja mini bar. Sassi menarik kursi kemudian duduk sambil tetap menatap Taya."Saya nggak tau kalau ada tamu. Non, baru datang pagi ini atau dari semalam?" tanya Taya.Sassi memilih diam, matanya semakin tajam menatap Taya. Ia ingin menyelidiki apakah Taya benar-benar mengenalinya."Saya buatkan minuman ya," usul Taya."Pagi-pagi begini, enaknya minum minuman yang mengandung kafein. Suka manis atau pahit, Non?" tanya Taya
Pukul sepuluh pagi, Sassi dan Marlina sudah berada di dalam mobil mereka. Sassi masih menolak untuk berada satu mobil bersama Ganendra."Non!" panggil Marlina dengan nada kesal membuat Satria dan Malik melirik ke arah mereka melalui kaca spion.Sedangkan Sassi sama sekali tidak berani menoleh ke arah Marlina."Serius, Non. Sejauh ini perjuangan yang sudah kita lakukan, masa' harus kalah sama kue strawberi?" omel Marlina."Ngomong apa sih, Mar?" tanya Malik.Marlina pun menceritakan kejadian pagi tadi kepada Malik dan Satria dengan emosi yang meletup-letup.'Astaga. Marlina galak sekali, sih?!" batin Sassi.Malik dan Satria mencoba memahami situasi dalam diam. Berbeda dengan Marlina yang mengeluarkan semua emosinya kepada Sassi."Kalau begitu, mulai sekarang kami berdua akan mengawasi Taya," ucap Malik.Satria mengangguk setuju."Aku telah selesai meretas CCTV rumah. Jadi semoga semuanya masih berada dalam kondisi yang bisa kita kendalikan," ucap Malik sambil melihat ke layar tablet ya
Malam ini Ganendra diminta datang ke rumah orang tuanya. Dewa Adigung, ayahnya Ganendra. Dewa telah menungu di ruang kerja saat Ganendra datang. Ganendra menyapa kemudian di salah satu sofa."Mana hasil dari semua pekerjaanmu, Ganendra?" tanya Dewa. Laki-laki berusia tujuh puluh tahun itu menatap Ganendra dengan tajam."Ayah minta kau segera menyelesaikan masalah keuangan Adigung Corp. Tapi, mana hasilnya? Kau cuma senang-senang saja sama perempuan," tambah Dewa sambil menunjuk-nunjuk wajah Ganendra.Ganendra tersenyum masam akan sikap ayahnya."Bagaimana jadinya? Apa langkah yang telah kau ambil untuk mengatasi krisis ini?" tanya Dewa lagi.Ganendra menarik napas panjang. Ia memang tak pernah bisa membantah ucapan Dewa."Nggak ada??? Jadi selama ini kalian ngapain aja? Penjualan merosot, gaji karyawan harus segera dibayarkan. Belum lagi tunggakan pajak. Kau mau keluarga Adigung hancur di tanganmu?" Dewa semakin berteriak."Jangan bilang langkah yang kau pilih hanyalah menjual aset p