“Saya buka perban di mata kamu sekarang ya, Nggun? Kamu siap?”
Ucapan dari pria muda yang mengaku sebagai dokternya itu membuat Anggun gugup. Sempat dia menelan ludahnya bulat-bulat, seraya masih menutup kedua kelopak matanya. Hal yang sebenarnya tidak terlalu berpengaruh olehnya, mengingat walau kelopak matanya terbuka pun dia tetap tidak bisa melihat apapun sebagai seorang gadis buta sejak lahir.
“Jangan tegang dong. Rileks. Percaya saja… kalau ini akan berhasil. Kamu pasti akan bisa melihat setelah ini.”
Dokter William, orang yang dinilai Anggun tampan walau hanya dari mendengar suaranya itu terdengar berkata lagi. Seperti biasanya, ia memang selalu mencoba berkelakar untuk meredakan kegugupan yang gadis itu rasakan dalam rangkaian proses operasi pencangkokan mata ini.
Ya, itulah yang tengah terjadi padanya. Detailnya akan dijelaskan nanti, namun kini Anggun dalam keadaan yang sangat was-was untuk melihat hasil dari operasi mata yang dijalaninya beberapa hari yang lalu. Untuk pertama kalinya setelah hidup dalam kegelapan, dia dibiarkan untuk memiliki harapan agar bisa melihat seperti manusia normal lainnya. Berpegangan pada angka keberhasilan 70% yang disebutkan oleh Dokter Wiliiam sebelum-sebelumnya.
Persentase yang cukup besar, bukan? Namun walau begitu tetap saja perkiraan angka kegagalan sebesar 30% tidak bisa diabaikan begitu saja. Segalanya masih bisa terjadi. Apalagi bagi orang seperti Anggun yang hampir pesimis akan bisa menjalani hidup normal seperti manusia lainnya.
“Bagaimana, Ngun? Kamu siap? Bisa kita mulai sekarang?”
Pertanyaan Dokter William kembali meleburkan lamunan barusan. Sekali lagi Anggun menelan ludahnya bulat-bulat, menghela napas panjang, sebelum kemudian menganggukkan kepalanya.
“Y-Ya, dok. S-Saya siap.”
“Oke. Saya akan segera mulai kalau begitu. Santai saja ya. Terus berdoa.”
Tak lama setelahnya, Anggun merasakan seseorang mulai melepas perban yang mengikat matanya. Dimana lagi-lagi dia mendengar dukungan dari beberapa orang kerabat dan sahabat yang hadir di sana untuk menyemangatinya.
“Sudah.” Dokter William berkata begitu setelah melepas perban serta kapas yang sebelumnya terpasang di dearah matanya. “Sekarang kamu buka mata kamu pelan-pelan ya, Nggun. Saya hitung sampai tiga. Kamu siap?”
Anggun menganggukkan kepala dengan gugup namun juga tak sabaran. “Y-Ya, Dok. Saya siap.”
“Oke. Kita mulai ya. Satu….”
Dokter William menepuk pundaknya dengan pelan. Berusaha menenangkannya lagi.
“Dua….”
Anggun merasakan jantungnya yang kian berdebar. Sampai-sampai dia mencengkeram erat pakaiannya sendiri.
“Tiga. Sekarang coba buka mata kamu, Nggun. Pelan… pelan….”
***
Sementara itu di tempat lain, seorang pria yang diperkirakan berusia sekitar tiga puluh tahunan tampak berdiri di sebuah lahan pemakaman yang lengang. Tepatnya di depan sebuah kuburan yang tanahnya terlihat masih basah dan merah, di mana tampak penuh ditaburi dengan kelopak-kelopak bunga yang berwarna warni.
Ekspresi wajah pria itu tampak datar seakan tanpa emosi melihat tanah makan itu. Namun walau begitu hal tersebut tidak bisa menutupi kesedihan yang terpancar dari kedua matanya yang tampak sedikit merah dan berkaca-kaca.
‘Kenapa kamu lakukan itu, Tiara? Kenapa kamu meninggalkanku seorang diri dengan cara seperti ini?’
Ia hanya bermonolog di dalam hati. Tentu saja agar tak ada yang bisa melihat kesedihannya. Sebab memang sepertinya begitulah dirinya. Dia adalah seseorang yang tidak bisa menunjukkan emosinya kepada siapapun.
Sekuat tenaga dia tetap memasang wajah tanpa ekspresi. Namun matanya yang tak bisa mengalihkan pandangan dari batu nisan itu, terus menunjukkan luapan duka yang sangat mendalam.
‘Kalau memang kamu begitu marah padaku, seharusnya bukan dengan cara seperti ini kamu menghukumku. Kini bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku ini… dengan siksaan rasa penyesalan yang kamu tinggalkan untukku? Jawab aku, Tiara. Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan untuk melanjutkan hidup tanpa ada kamu di sisiku?’
Pria itu tinggal di sana selama beberapa menit. Hingga kemudian setelah merasa cukup, dia pun menaburkan lagi sisa-sisa kembang yang sejak tadi dia pegang. Diusapnya batu nisan yang masih baru itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya mulai melenggang pergi dari tempat itu.
Meninggalkan deretan makam tadi, langkah kini membawanya pada jejeran mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Langkahnya lantas tertuju pada sebuah mobil sedan berharga miliaran yang terparkir paling sudut, yang terlihat dijaga oleh seorang pria berjas rapi yang berdiri di sampingnya. Pria yang tampak berusia di pertengahan dua puluh tahunan itu dengan sigap membukakan pintu untuknya.
“Bawa saya ke Gardenia Hotel saja. Saya masih… belum ingin pulang,” kata sang atasan begitu mendudukkan tubuhnya di deratan bangku belakang.
“Baik, Tuan. Tapi… sebelum itu ada yang ingin saya sampaikan dulu pada Anda.”
“Soal apa?”
Pria itu ternyata telah menyiapkan sebuah tablet PC yang diletakkan di atas dasbor mobil. Lalu benda itu diulurkan kepadanya.
“Barusan saja saya dikabari oleh informan yang berada di rumah sakit untuk mengawasi proses transplantasi mata yang sempat dilakukan oleh Nyonya Tiara dulu, Tuan. Katanya perban mata dari penerima donor telah dibuka hari ini.”
Terlihat sedikit perubahan ekspresi di wajah pria yang dipanggil ‘Tuan’ itu. Di mana sekilas dia tampak lebih tegang dari sebelumnya.
“Jadi bagaimana hasilnya?” tanyanya tak lama kemudian.
“Katanya operasi berjalan dengan berhasil, Tuan. Wanita itu menerima donor mata dari mendiang Nyonya Tiara dengan baik, sehingga dia sekarang akhirnya bisa melihat setelah mengalami buta sejak lahir.” Sang anak buah semakin mengulurkan tablet PC yang ada di tangannya tadi pada sang atasan. “Ini ada video singkat yang dikirimkan informan pada saya, Tuan.”
Walau sempat tampak enggan, namun pria itu akhir mengambil gawai yang diulurkan padanya. Ternyata anak buahnya telah mengatur agar video yang dimaksud sudah terpampang di layar. Sehingga sang atasan hanya perlu sekali tekan untuk memutar rekaman tersebut.
Suasana penuh suka cita langsung disuguhkan saat video dimainkan. Dilihatnya semua orang yang berada di ruangan itu tengah tertawa dan bercengkerama riang. Kebahagiaan terpancar dengan begitu kentara.
‘Bisa-bisanya mereka malah bersenang-senang? Tidak tahu diri sekali mereka karena merayakan keberuntungan yang datang dari kemalangan orang lain. Saat bahkan kuburan Tiara belum mongering....'
Mata tajam itu lalu berfokus sepenuhnya pada satu sosok yang menjadi pusat perhatian di video itu. Di mana gadis yang masih duduk di atas ranjang itu tampak dikerubungi oleh semua orang yang mengucapkan selamat padanya. Beberapa bahkan memeluknya yang terlihat menangis dengan penuh haru.
‘Tapi… benarkah itu merupakan mata dari istri yang begitu kurindukan? Sulit dipercaya. Saat bagian raganya yang lain telah terkubur jauh di dalam tanah, namun… ternyata masih ada satu yang masih hidup dan bernyawa di bumi ini bersamaku.'
Kedua mata pria itu kembali berkaca-kaca saat memandang sosok Anggun. Bahkan tak lama kemudian jemarinya menyentuh wajah gadis itu, terutama berfokus untuk mengagumi matanya.
'Tiaraku tersayang... benarkah ini kedua bola matamu yang indah itu?'
***
Setahun kemudian.Diberi kesempatan untuk melihat seperti manusia normal lainnya, Anggun benar-benar merasa seperti terlahir kembali. Banyak hal yang berubah di hidupnya sejak saat itu.Hari-harinya nyaris tidak pernah lagi diliputi kesedihan. Ini sangat berbanding terbalik di mana dulu dia sering merasa berkecil hati hingga bahkan terpuruk. Puncaknya saat dia mengalami duka terbesar di hidupnya. Anggun ingat bagaimana dia hampir mengakhiri hidupnya sendiri selama beberapa kali.Dan bicara soal kehidupan, sejak sekitar enam bulan yang lalu Anggun mulai mengelola kembali toko bunga yang dulu dimiliki oleh mendiang orang tuanya. Toko itu telah mereka miliki sejak dirinya kecil, namun sempat jadi tidak terurus saat keduanya meninggal karena sebuah kecelakaan. Semenjak hidupnya lebih terbenahi maka dia pun bertekad untuk menghidupkan kembali usaha kecil-kecilan tersebut.Balik mengingat ke belakang membuat Anggun kembali mengenang masa-masa terkelam di hidupnya ini. Baginya lahir buta sej
Malam itu seharusnya menjadi hari yang normal bagi Anggun. Sepertinya biasanya dia menutup toko bunganya tepat di jam delapan malam. Lalu setelah memastikan semua dalam kondisi aman dan terkunci, dia pun berniat untuk segera pulang ke kontrakannya yang berjarak tak terlalu jauh dari sana. Saat utu Anggun baru hendak mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Namun tiba-tiba dia merasakan seseorang menghampirinya dari belakang. Lalu setelah itu… setelah itu…. Gelap. “Astaga.” Anggun bergumam seraya tersentak membuka mata. Dengan cepat dialihkannya pandangan ke sekitar, yang langsung menimbulkan kepanikan di dalam dirinya. Sebab ini bukan tempat yang dikenalnya sama sekali. Ini bukan rumahnya. Perempuan itu langsung mendesis sambil memegangi kepala bagian kirinya yang terasa sedikit ngilu. Sejenak diingatnya lagi hal yang terjadi sebelumnya, di mana dia merasa dihampiri oleh seseorang saat baru saja mengunci toko bunganya. Anggun bahkan tak sempat melihat wajah mereka, karen
“Kita bahas nanti. Sekarang aku harus pergi kerja dulu.”Dengan suaranya yang berat dan angkuh itu, sang pria akhirnya lebih dewasa. Hal itu saja entah kenapa langsung cukup mampu untuk mengintimidasi Anggun. Sehingga membuatnya langsung tergagap dan tak tahu harus bilang apa.Apalagi ketika pria itu lantas berjalan ke arahnya. Anggun langsung merasa terancam, sehingga membuatnya mundur secara naluriah. Tentu saja masih sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat agar tidak merosot dan mempertontonkan tubuh polosnya.Namun….Pria itu ternyata tidak menghampirinya, melainkan melewatinya begitu saja. Anggun malah panik lagi karena menyadari ia mungkin akan pergi begitu saja dan meninggalkannya. Sehingga dengan cepat diraihnya lengan pria itu.“B-Biarkan saya pergi.” Anggun berkata dengan menggigil. “S-Saya nggak tahu apa yang telah terjadi semalam, serta… saya tidak akan mencari tahu soal Anda atau melaporkan polisi. Tapi… tapi… biarkan saya perg—““Semalam? Memangnya apa yang terjad
Setelah ditinggal oleh pria misterius itu, Anggun langsung terduduk lemas di belakang pintu. Dia sempat menangis tersedu-sedu di sana selama beberapa menit karena kebingungan dengan semua ini.Anggun tak mengerti kenapa dia diperlakukan begini ketika rasanya dia tak pernah menyakiti orang lain. Dia juga sangat bingung memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan dirinya dari tempat yang asing ini.Namun setelah beberapa saat, dia lebih paham kalau menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Dia tak boleh menyerah begitu saja. Jadi lebih baik dia menggunakan energinya untuk menemukan jalan keluar dari semua ini.Mencari pakaian adalah hal yang pertama dia lakukan. Walau tadi pria aneh itu bilang kalau dia tak akan bisa menemukannya dulu di rumah ini, namun Anggun tetap berharap akan mendapat sesuatu yang lebih nyaman untuk menutupi tubuh polosnya ini.Tapi tidak ada sama sekali. Anggun tidak menemukan apapun yang bisa dipakai di sana.Dengan lesu, sambil masih memegangi selimut
“Tentu saja karena hidupmu sekarang adalah hakku. Kamu mendapatkan kehidupan yang direnggut dariku, sehingga tentu aku bisa melakukan apapun yang kumau padamu.” Tak bisa dijelaskan betapa terkejutnya Anggun saat mendengar ucapan selanjutnya dari pria asing itu. Apalagi dengan nada sinis serta ekspresi yang kelewat dingin itu di wajahnya. Seperti ekspresi kebencian saja, padahal rasa-rasanya Anggun tak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. “A-Apa… maksudmu berkata begitu?” Dikuatkannya bertanya lagi, walau seluruh tubuh Anggun terasa lebih bergetar saat ini. Tatapan pria itu semakin tajam, lalu dia melangkah mendekati Anggun. Lagi-lagi berhasil membuat wanita itu gentar dan malah mundur ketakutan tanpa sadar. “Matamu ini, kamu—“ Bip! Baru saja ia membuka mulutnya lagi, namun tiba-tiba malah terdengar suara deringan bel. Pandangan kedua orang itu beralih menuju sebuah interkom yang terpasang di samping pintu. Menampakkan keadaan di luar sana di mana ada beberapa orang pria ya
Anggun tak beranjak dari belakang pintu sama sekali. Walaupun tubuh nyaris telanjangnya terasa menggigil di lantai keramik itu, walaupun dia menangis dengan cukup lama di awal-awal. Namun dia merasa harus tetap waspada kalau saja pintu ini ada yang akan membuka atau bahkan mendobraknya.Hingga setelah sekitar dua jam, hiruk pikuk mulai mereda. Anggun menempelkan telinganya pada daun pintu untuk menguping ke luar sana, kalau saja suara tawa dan canda pria-pria tadi masih terdengar. Namun kini sudah terkesan sepi. Dia sudah tak bisa mendengar mereka lagi, sehingga mungkin bisa dipastikan kalau orang-orang itu mungkin telah pergi.Anggun mendesah berat lagi di saat itu. Sekilas dia jadi teringat akan pembicaraannya dengan si pria asing yang terakhir kali. Anggun tak yakin apa maksud pria itu menantangnya seperti itu, seakan memang ingin mengolok-olok keinginan Anggun yang minta dibebaskan dari tempat ini. Namun yang jelas Anggun merasa sangat kalah dan dicurangi.‘Tadi pagi dia juga begi
Anggun tak melupakan perintah dari Sean tadi. Dia sangat mengingatnya, walaupun dia mencoba untuk tidak peduli. Apalagi ketika mendengar suara dentingan dari jam berbentuk menara yang berada di ruang tengah.Namun dia tak mau menurutinya.Setelah semua yang terjadi seharian ini, setelah merasa begitu dipermainkan dan dikontrol oleh orang asing ini, Anggun merasa harus kembali berpegangan pada komitmen dan keberanian di dalam dirinya. Di mana walaupun semua itu sulit dengan keadaannya sekarang, dia harus memastikan untuk tidak semudah itu tunduk terhadap perintahnya.Itu sebabnya dia tak melakukan apa-apa.Sedangkan untuk berjalan menemui pria itu di meja makan, dia bahkan enggan untuk mengikuti perintahnya untuk mandi. Walaupun sebenarnya tubuhnya merasa gerah dan bahkan masih gatal karena sentuhan pria itu tadi, namun dia memilih untuk menahannya. Anggun percaya ini adalah cara untuk membangkang. Untuk menunjukkan pada orang itu kalau dia tak menakuti Anggun, sehingga dia tak bisa me
Sean memandang datar sosok Anggun yang kini tengah terbaring di depannya. Di mana tubuh perempuan itu masih sedikit basah, dengan adanya sisa-sisa air mandi yang tadi mengguyurnya.Perempuan itu pingsan di tengah kegiatan mereka tadi. Hal itu tidak mengejutkan sebenarnya, mengingat dia adalah seorang perawan yang tak pernah mengalaminya sebelumnya. Belum lagi karena dia juga berbeda dengan perempuan seumur dirinya yang seharusnya sudah cukup ‘melek’ dengan hal-hal seperti ini, namun nyatanya dia mengalami 23 tahun hidupnya sebagai perempuan buta. Sehingga tidak mengherankan kalau dia sama sekali tidak tahu.Apalagi Sean mengakui kalau tadi ia lakukan dengan begitu kasar dan bahkan tak manusiawi sama sekali Tanpa peringatan dan persiapan, pria itu memaksakan dirinya kepada wanita itu. ‘Miliknya’ menembus sebuah liang yang sebelumnya tak pernah tersentuh, di kala Anggun tengah panik dan ketakutan karena perlakuannya. Sehingga itu sebabnya serangan itu terkesan terlalu besar dan dahsyat