Malam itu seharusnya menjadi hari yang normal bagi Anggun.
Sepertinya biasanya dia menutup toko bunganya tepat di jam delapan malam. Lalu setelah memastikan semua dalam kondisi aman dan terkunci, dia pun berniat untuk segera pulang ke kontrakannya yang berjarak tak terlalu jauh dari sana.
Saat utu Anggun baru hendak mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Namun tiba-tiba dia merasakan seseorang menghampirinya dari belakang. Lalu setelah itu… setelah itu….
Gelap.
“Astaga.”
Anggun bergumam seraya tersentak membuka mata. Dengan cepat dialihkannya pandangan ke sekitar, yang langsung menimbulkan kepanikan di dalam dirinya. Sebab ini bukan tempat yang dikenalnya sama sekali. Ini bukan rumahnya.
Perempuan itu langsung mendesis sambil memegangi kepala bagian kirinya yang terasa sedikit ngilu. Sejenak diingatnya lagi hal yang terjadi sebelumnya, di mana dia merasa dihampiri oleh seseorang saat baru saja mengunci toko bunganya. Anggun bahkan tak sempat melihat wajah mereka, karena setelah itu mulutnya langsung dibekap menggunakan sebuah kain yang terasa basah dan berbau yang menyengat.
‘A-Apa… apa aku tengah diculik?’
Anggun berniat untuk segera bangun, namun kemudian dia lebih tersadar lagi dengan keadaannya sekarang. Saat dia melihat tubuhnya ke bawah, dia sedikit memekik karena menemukan dirinya dalam keadaan yang polos tanpa sehelai pun benang. Hanya sebuah selimut nan tampak sangat bagus dan tebal ini saja yang menutupinya.
‘A-Apa yang terjadi padaku?’
Kepanikan dan kebingungan muncul di kepalanya. Dalam beberapa saat dia memeriksa sekujur tubuhnya untuk melihat apakah ada yang lecet atau kurang apapun. Namun rasanya wajar-wajar saja. Tak ada yang sakit sama sekali.
‘Tapi kenapa mereka melucuti pakaianku? Yang lebih utama, kenapa mereka membawaku ke sini? Siapa orang yang melakukannya?’
Walau masih bingung dan bertanya-tanya, Anggun menepis pemikiran itu dulu. Menurutnya dia harus bergerak untuk menemukan pakaiannya dulu lalu memikirkan hal selanjutnya yang akan dia lakukan.
Namun tidak ada. Walau dia telah berdiri dan memeriksa sekitar ruangan itu, pakaiannya sama sekali tak ada di sana.
Rasa panik terasa memuncak lagi, sehingga akhirnya air matanya menetes juga. Namun walau begitu perempuan itu berusaha untuk tegar. Sambil menarik selimut itu untuk menutupi tubuhnya, dia pun bangun dari tempat tidur berukuran besar itu. Berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Melupakan pakaiannya, Anggun kini mencoba untuk mencari pakaian atau apapun yang lebih layak untuk menutupi tubuhnya ini, namun dia juga tak menemukannya. Padahal ada tiga lemari yang begitu besar di kamar ini, namun seluruh pintunya dalam keadaan terkunci. Dia bahkan memasuki kamar mandi untuk mencari handuk atau jubah mandi, namun kembali semua itu juga tak terlihat sama sekali di sana.
‘Mungkin sebaiknya aku mencari jalan keluar dulu.’
Akhirnya diputuskannya begitu. Sambil memegangi selimut di tubuhnya dengan semakin erat, Anggun pun melangkah menuju pintu kamar yang tertutup rapat. Didorongnya pelan pintu itu karena takut dalam kondisi terkunci, namun ternyata dapat dibuka dengan begitu mudah.
Namun walau begitu Anggun tak langsung melangkah keluar. Dia masih berdiri di sana dengan was-was dan jaga-jaga dengan keadaan sekitar.
‘Mereka pasti ada di suatu tempat di sekitar sini. Karena tak mungkin aku ditinggalkan begitu saja.. terlebih di rumah semewah ini.’
Ditelannya ludah bulat-bulat, sambil masih memegangi kain penutup tubuh polosnya itu. Lalu setelah merasa cukup mengumpulkan tekad dan keberanian, dibukanya sedikit daun pintu itu untuk mengintip ke luar. Berusaha menahan gejolak tubuhnya yang bergetar hebat serta napas yang tersengal-sengal.
Sepi. Tak ada siapapun.
Anggun tak tahu apa dia harus lega atau sedih dengan fakta itu. Namun dalam sekilas dia kembali harus dibuat kagum oleh kemewahan di tempat itu. Karena bahkan walau dia baru saja dapat meliaht dan belum terlalu tahu jenis kehidupan yang dianggap mewah oleh orang-orang, namun dia berpikir kalau yang dilihatnya dari rumah ini pastilah memang sesuatu yang diimpikan oleh orang-orang. Karena semua terlihat begitu luas, mewah, dan bahkan berkilauan.
‘Apa jangan-jangan ini yang mereka sebut dengan surga? Mungkinkah semalam orang itu telah membunuhku lalu sekarang aku sudah tak lagi di dunia nyata?’
Tapi masalahnya saat dia mencubit lengannya masih saja terasa sakit. Lagipula masih terlalu dini untuk menyimpulkan semua itu dalam keadaan sekarang.
‘Ah, sudahlah.’
Menepis seluruh dugaan tadi, Anggun pun membuka daun pintu tadi dengan lebih lebar. Perlahan-lahan dan sangat berhati-hati, dia pun melangkah ke luar kamar . Kewaspadaan terlihat dari bagaimana dia terus melihat ke sekitarnya untuk jaga-jaga ada yang akan muncul. Seraya terus memegangi selimut yang menutupi tubuhnya itu dengan erat.
Sempat Anggun menyusuri tempat itu beberapa langkah. Sambil jaga-jaga dia tetap masih tak berhenti mengagumi kemewahannya. Namun kemudian langkahnya terhenti begitu saja saat matanya menangkap sesuatu yang menarik perhatian. Tepatnya pada sebuah pigura dengan ukuran sangat besar yang menggantung di ruang utama. Memperlihatkan potret sepasang anak manusia dengan pakaian ala pernikahan yang tersenyum berbinar ke arah kamera.
‘Apa mereka yang membawaku ke sini?’
Dipandangnya dengan lebih seksama kedua wajah itu. Dia tak punya kesan sama sekali dengan yang perempuan, namun yang pria menarik perhatiannya. Karena langsung terasa ada ganjalan di kepala Anggun sebab rasa-rasanya dia mengenal orang itu. Rasa-rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Tapi di mana ya? Kapan?
Krek!
Di saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara pintu terbuka dari arah kanan. Anggun sedikit terkesiap sambil menoleh ke sana, menemukan salah satu pintu kamar yang terbuka. Lalu tak lama menampakkan seorang pria yang keluar dari dalamnya. Anggun tampak langsung membelalakkan matanya seketika.
Sulit sekali dipercaya. Kenapa dia bertemu dengan pria itu di sini? Dia kan pria angkuh yang membeli bunga anggrek putihnya kemarin?
“A-Anda?”
Anggun melayangkan pandangannya lagi ke pigura tadi. Dibandingkannya potret wajah yang laki-laki dengan orang ini, di mana memang terlihat sangat mirip. Mereka adalah orang yang sama. dan menemukan wajah yang familier itu lagi di sana. Lalu membandingkannya dengan pria berwajah dingin dan tanpa ekspresi di wajahnya.
“A-Anda yang kemarin, bukan? Anda yang membeli anggrek putih kemarin, kan?” tanya Anggun dengan suara sangat menggigil. Karena memang bulu kuduknya langsung merinding karena semua ini.
Namun pria itu tak menyahuti ucapannya. Masih dengan ekspresi datar, ia melirik jam di pergelangan tangannya sejenak. Lantas kembali melirik wanita yang kebingungan itu.
“Masih sangat pagi, tapi kenapa kamu sudah terbangun? Apa pengaruh obat biusnya habis lebih cepat dari yang mereka katakan?” ucapnya sangat pelan sampai terdengar bak menggumam.
“O-Obat… obat bius?” Anggun mengernyitkan dahinya. “M-Mereka… siapa?”
Itu membuat Anggun lebih tersadar. Setelah sejak tadi sempat sangat kaget dan bahkan terpana segala oleh pesona pria itu lagi, akhirnya dia kembali ingat dengan keadaannya sekarang.
“A-Apa yang Anda lakukan? K-Kenapa… kenapa Anda membawa saya ke sini? A-Apa yang Anda lakukan padaku!” teriaknya lebih emosi dan mulai kembali hendak menangis.
Hening.
Pria itu kembali tak menyahutinya. Ia hanya berdiri di sana dengan ekspresi wajah yang datar. Sedangkan rasa bersalah, rasa sungkan pun tak terlihat di sana sama sekali.
“Kita bahas nanti. Sekarang aku harus pergi kerja dulu.”
***
“Kita bahas nanti. Sekarang aku harus pergi kerja dulu.”Dengan suaranya yang berat dan angkuh itu, sang pria akhirnya lebih dewasa. Hal itu saja entah kenapa langsung cukup mampu untuk mengintimidasi Anggun. Sehingga membuatnya langsung tergagap dan tak tahu harus bilang apa.Apalagi ketika pria itu lantas berjalan ke arahnya. Anggun langsung merasa terancam, sehingga membuatnya mundur secara naluriah. Tentu saja masih sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat agar tidak merosot dan mempertontonkan tubuh polosnya.Namun….Pria itu ternyata tidak menghampirinya, melainkan melewatinya begitu saja. Anggun malah panik lagi karena menyadari ia mungkin akan pergi begitu saja dan meninggalkannya. Sehingga dengan cepat diraihnya lengan pria itu.“B-Biarkan saya pergi.” Anggun berkata dengan menggigil. “S-Saya nggak tahu apa yang telah terjadi semalam, serta… saya tidak akan mencari tahu soal Anda atau melaporkan polisi. Tapi… tapi… biarkan saya perg—““Semalam? Memangnya apa yang terjad
Setelah ditinggal oleh pria misterius itu, Anggun langsung terduduk lemas di belakang pintu. Dia sempat menangis tersedu-sedu di sana selama beberapa menit karena kebingungan dengan semua ini.Anggun tak mengerti kenapa dia diperlakukan begini ketika rasanya dia tak pernah menyakiti orang lain. Dia juga sangat bingung memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan dirinya dari tempat yang asing ini.Namun setelah beberapa saat, dia lebih paham kalau menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Dia tak boleh menyerah begitu saja. Jadi lebih baik dia menggunakan energinya untuk menemukan jalan keluar dari semua ini.Mencari pakaian adalah hal yang pertama dia lakukan. Walau tadi pria aneh itu bilang kalau dia tak akan bisa menemukannya dulu di rumah ini, namun Anggun tetap berharap akan mendapat sesuatu yang lebih nyaman untuk menutupi tubuh polosnya ini.Tapi tidak ada sama sekali. Anggun tidak menemukan apapun yang bisa dipakai di sana.Dengan lesu, sambil masih memegangi selimut
“Tentu saja karena hidupmu sekarang adalah hakku. Kamu mendapatkan kehidupan yang direnggut dariku, sehingga tentu aku bisa melakukan apapun yang kumau padamu.” Tak bisa dijelaskan betapa terkejutnya Anggun saat mendengar ucapan selanjutnya dari pria asing itu. Apalagi dengan nada sinis serta ekspresi yang kelewat dingin itu di wajahnya. Seperti ekspresi kebencian saja, padahal rasa-rasanya Anggun tak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. “A-Apa… maksudmu berkata begitu?” Dikuatkannya bertanya lagi, walau seluruh tubuh Anggun terasa lebih bergetar saat ini. Tatapan pria itu semakin tajam, lalu dia melangkah mendekati Anggun. Lagi-lagi berhasil membuat wanita itu gentar dan malah mundur ketakutan tanpa sadar. “Matamu ini, kamu—“ Bip! Baru saja ia membuka mulutnya lagi, namun tiba-tiba malah terdengar suara deringan bel. Pandangan kedua orang itu beralih menuju sebuah interkom yang terpasang di samping pintu. Menampakkan keadaan di luar sana di mana ada beberapa orang pria ya
Anggun tak beranjak dari belakang pintu sama sekali. Walaupun tubuh nyaris telanjangnya terasa menggigil di lantai keramik itu, walaupun dia menangis dengan cukup lama di awal-awal. Namun dia merasa harus tetap waspada kalau saja pintu ini ada yang akan membuka atau bahkan mendobraknya.Hingga setelah sekitar dua jam, hiruk pikuk mulai mereda. Anggun menempelkan telinganya pada daun pintu untuk menguping ke luar sana, kalau saja suara tawa dan canda pria-pria tadi masih terdengar. Namun kini sudah terkesan sepi. Dia sudah tak bisa mendengar mereka lagi, sehingga mungkin bisa dipastikan kalau orang-orang itu mungkin telah pergi.Anggun mendesah berat lagi di saat itu. Sekilas dia jadi teringat akan pembicaraannya dengan si pria asing yang terakhir kali. Anggun tak yakin apa maksud pria itu menantangnya seperti itu, seakan memang ingin mengolok-olok keinginan Anggun yang minta dibebaskan dari tempat ini. Namun yang jelas Anggun merasa sangat kalah dan dicurangi.‘Tadi pagi dia juga begi
Anggun tak melupakan perintah dari Sean tadi. Dia sangat mengingatnya, walaupun dia mencoba untuk tidak peduli. Apalagi ketika mendengar suara dentingan dari jam berbentuk menara yang berada di ruang tengah.Namun dia tak mau menurutinya.Setelah semua yang terjadi seharian ini, setelah merasa begitu dipermainkan dan dikontrol oleh orang asing ini, Anggun merasa harus kembali berpegangan pada komitmen dan keberanian di dalam dirinya. Di mana walaupun semua itu sulit dengan keadaannya sekarang, dia harus memastikan untuk tidak semudah itu tunduk terhadap perintahnya.Itu sebabnya dia tak melakukan apa-apa.Sedangkan untuk berjalan menemui pria itu di meja makan, dia bahkan enggan untuk mengikuti perintahnya untuk mandi. Walaupun sebenarnya tubuhnya merasa gerah dan bahkan masih gatal karena sentuhan pria itu tadi, namun dia memilih untuk menahannya. Anggun percaya ini adalah cara untuk membangkang. Untuk menunjukkan pada orang itu kalau dia tak menakuti Anggun, sehingga dia tak bisa me
Sean memandang datar sosok Anggun yang kini tengah terbaring di depannya. Di mana tubuh perempuan itu masih sedikit basah, dengan adanya sisa-sisa air mandi yang tadi mengguyurnya.Perempuan itu pingsan di tengah kegiatan mereka tadi. Hal itu tidak mengejutkan sebenarnya, mengingat dia adalah seorang perawan yang tak pernah mengalaminya sebelumnya. Belum lagi karena dia juga berbeda dengan perempuan seumur dirinya yang seharusnya sudah cukup ‘melek’ dengan hal-hal seperti ini, namun nyatanya dia mengalami 23 tahun hidupnya sebagai perempuan buta. Sehingga tidak mengherankan kalau dia sama sekali tidak tahu.Apalagi Sean mengakui kalau tadi ia lakukan dengan begitu kasar dan bahkan tak manusiawi sama sekali Tanpa peringatan dan persiapan, pria itu memaksakan dirinya kepada wanita itu. ‘Miliknya’ menembus sebuah liang yang sebelumnya tak pernah tersentuh, di kala Anggun tengah panik dan ketakutan karena perlakuannya. Sehingga itu sebabnya serangan itu terkesan terlalu besar dan dahsyat
Walaupun bertentangan dengan hatinya, Anggun terpaksa harus mengikuti kata-kata Sean. Dia segera memilih beberapa pakaian yang disediakan di sana dan dengan cepat mengenakannya. Bahkan sebelum jam dinding menyentuh pukul setengah delapan, dia dengan cepat berjalan ke luar. Tak mau sampai terlambat dan kembali memancing kemarahan Sean.Sesampainya di ruang makan, lagi-lagi aneka makanan yang menggugah selera menyambutnya. Namun nyatanya Anggun tak merasa bersemangat sama sekali. Karena dia tak lapar, karena makan bukan hal yang dia inginkan sama sekali saat ini.Tubuh Anggun sedikit menegang saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Suara langkah yang mendekat pun terdengar, yang entah kenapa terkesan seperti sura horor baginya. Membuat Anggun secara tanpa sadar mengeratkan cardigan di tubuhnya seperti dia sempat terus menarik-narik selimut tadi.“Bagus kamu akhirnya mendengarnya. Seharusnya sejak tadi kamu begini, sehingga hal tadi tak perlu terjadi.” Sean berkomentar datar sambi
Sambil mengepalkan tangannya erat-erat dan suara yang bergetar, Anggun memandang tajam pria asing di depannya itu. Karena lagi-lagi dia mendapat keterkejutan dari pernyataan yang keluar dari mulut pria itu.Karena bagaimana mungkin dia tak kaget? Pria yang bahkan masih belum dia ketahui namanya itu sendirilah yang bilang kalau tadi mereka telah berhubungan badan. Hal yang menurut orang tuanya tak boleh sembarangan dilakukan kalau bukan dengan orang yang Anggun cintai. Hal yang kata orang-orang seharusnya hanya dapat dilakukan saat telah menikah nanti. Namun pria ini bilang kalau tadi dia telah melakukan ‘hal itu’ terhadap Anggun? Parahnya… tanpa kemauan ataupun persetujuan darinya sama sekali.“Itu… nggak benar, bukan?” tanyanya tak lama. Masih berusaha untuk menyangkal hal itu walau firasatnya kian terasa memburuk.Namun lagi-lagi pria itu menunjukkan reaksi yang tak menyenangkan. Ia mendesah berat bercampur muak, tanpa ada penyesalan sama sekali. Bahkan setelah ia terbukti melakukan