Setelah ditinggal oleh pria misterius itu, Anggun langsung terduduk lemas di belakang pintu. Dia sempat menangis tersedu-sedu di sana selama beberapa menit karena kebingungan dengan semua ini.
Anggun tak mengerti kenapa dia diperlakukan begini ketika rasanya dia tak pernah menyakiti orang lain. Dia juga sangat bingung memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan dirinya dari tempat yang asing ini.
Namun setelah beberapa saat, dia lebih paham kalau menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Dia tak boleh menyerah begitu saja. Jadi lebih baik dia menggunakan energinya untuk menemukan jalan keluar dari semua ini.
Mencari pakaian adalah hal yang pertama dia lakukan. Walau tadi pria aneh itu bilang kalau dia tak akan bisa menemukannya dulu di rumah ini, namun Anggun tetap berharap akan mendapat sesuatu yang lebih nyaman untuk menutupi tubuh polosnya ini.
Tapi tidak ada sama sekali. Anggun tidak menemukan apapun yang bisa dipakai di sana.
Dengan lesu, sambil masih memegangi selimut tadi erat-erat, Anggun kembali mengelilingi rumah. Di ruang makan dilihatnya berbagai hidangan makanan yang menggugah selera.
‘Aku baru ingat kalau terakhir kali aku mengisi perut di sekitar jam 12 siang kemarin. Yang artinya sudah hampir 20 jam lamanya perutku ini kosong. Tapi sejujurnya aku tak lapar sama sekali. Karena bagaimana mungkin aku mikirin perut dalam keadaan ini?’
Akhirnya hidangan-hidangan lezat itu ditinggalkan begitu saja. Anggun memilih untuk tetap mencari jalan keluar dari sini.
Sebenarnya sejak tadi sebenarnya perhatiannya tertuju pada sebuah kolam berenang yang terhubung dari ruang tengah di rumah itu. Kolam berenang itu indoor, dengan dinding hingga atapnya yang terbuat dari kaca. Sempat Anggun mengetuknya, yang langsung membuatnya takjub karena kaca itu memang luar biasa kerasnya.
‘Ini sesuai dengan ucapan pria itu. Namun aku tak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri.’
Anggun memungut sebuah batu yang dijadikan ornamen hiasan di tepi kolam berenang, lalu dia pukul dan bahkan lemparkan pada kaca itu. Namun ternyata memang sangatlah keras. Batu itu jadi terpental begitu saja, sementara kaca tidak retak sama sekali bahkan walau Anggun menggunakan batu yang lebih besar dan keras.
Kembali dia merasa menyerah dan putus asa.
‘Ini di mana sih? Kenapa rasanya seperti sebuah penjara yang terbuat dari kaca saja? Bagaimana caranya untuk keluar?!’
Anggun kembali menghabiskan waktu selama beberapa saat untuk menangis di sana. Tapi di saat itu akhirnya dia mulai merasakan lapar. Lagi-lagi dia sempat ragu untuk menyantap makanan tadi, karena tak ingin terlihat menyerah di depan pria itu dengan mengikuti kata-katanya.
Namun terpikirkan oleh Anggun kalau dia tak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti. Karena untuk bertahan atau melawan dia tetap membutuhkan tenaga. Sehingga dia harus tetap makan untuk melakukannya.
Maka dia pun kembali memasuki rumah dan menuju ruang makan. Lagi-lagi sempat dia merasakan keraguan kalau saja makanan itu dibubuhkan sesuatu. Tapi kemudian pada akhirnya dia sadar tak punya banyak pilihan di dalam keadaan ini. Sehingga bahkan mungkin mati keracunan akan jauh lebih baik dibandingkan pasrah saja dengan perlakuan buruk seperti apa lagi yang akan didapatkannya nanti.
Maka Anggun pun mengisi perutnya. Awalnya karena merasa tak lapar, dia pikir akan berhenti setelah dua atau tiga suapan. Namun dia harus menjilat ludahnya sendiri untuk hal itu, karena nyatanya dia tak bisa berhenti mengunyah makanan-makanan terenak yang pernah dirasakannya itu. Sehingga ketika Anggun tersadar lagi dia telah menghabiskan begitu banyak nasi dan juga hidangan yang disediakan.
‘Sepertinya memang tak beracun. Syukurlah kalau begitu.’
Anggun meninggalkan meja makan itu begitu saja, seraya kembali menyeret selimut tadi bersamanya. Kini dia kembali ke ruang tamu. Di mana lagi-lagi foto pernikahan yang berukuran besar tadi menjadi perhatian utamanya.
‘Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa dia melakukan ini padaku, padahal dia bilang sudah punya istri? Lalu kemana istrinya sekarang? Kenapa dia malah membawaku ke sini dan… melakukan hal-hal aneh ini padaku tanpa takut ketahuan oleh istrinya?’
Namun tentu saja tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya itu. Sehingga Anggun menyerah juga untuk memikirkannya. Dia memutuskan untuk duduk di salah satu sofa yang berada dekat di pintu masuk tadi, sambil memegang vas bunga yang awalnya terletak di atas meja. Benda itu akan dia gunakan untuk membela dirinya kalau nanti terjadi hal yang tak terduga saat pria itu pulang lagi.
‘Kalau nanti pintunya terbuka, aku harus keluar apapun yang terjadi. Mungkin akan memalukan dengan kondisi begini bertemu banyak orang di luar sanaa, tapi sepertinya itu jauh lebih baik daripada terus-terusan terkurung di tempat ini. Aku juga tak tahu apa yang mungkin dia rencanakan terhadapku. Jadi lebih baik keluar dan minta bantuan kalau ada kesempatan.’
***
Rasa lelah dan kenyang tadi sepertinya malah memenangkan rasa kantuk di dalam dirinya. Belum lagi karena tubuhnya yang terasa begitu dingin akibat tiupan AC di rumah ini, yang seperti semakin menimang-nimang dirinya untuk memejamkan mata.
Anggun pun tanpa sadar tertidur di sofa itu. Masih dengan kondisi memeluk vas bunga yang dia pilih sebagai senjata, serta dengan posisi duduk yang siaga. Melewati beberapa jam tanpa disadari olehnya.
Lalu hal yang aneh membangunkannya.
Awalnya terasa samar-samar, namun semakin jelas setelahnya. Dia merasakan seseorang terus-terusan mengecup kelopak matanya sambil juga meraba-raba bagian tubuhnya yang tak seharusnya sembarangan disentuh orang lain.
Mimpikah ini? Namun masalahnya, Anggun seperti menikmatinya. Dia bahkan melenguh tanpa sadar, sebab tampaknya tubuhnya ini menyukai hal yang tengah dia rasakan.
Sampai ketika kesadarannya lebih terkumpul dan akal sehatnya kembali.
Sedikit susah payah Anggun membuka matanya, karena memang sejak tadi hanya itulah yang dikecup dari seluruh wajahnya. Saat dia membuka mata, wajah familier yang harus diakui tampan itulah yang langsung dia temukan. Di mana lagi-lagi hanya memandangnya dengan ekspresi yang datar sehingga sukar untuk dibaca.
“A-Apa yang kamu… lakukan?”
Anggun mendorong orang itu menjauh karena merasa begitu malu. Sebab kini tubuhnya terekspos begitu saja di depan pria itu, dengan tangan yang sejak tadi seenaknya meraba-raba paha bagian dalamnya. Dengan tubuh yang bergetar Anggun pun menarik selimut tadi untuk menutupi tubuhnya lagi.
“K-Kurang ajar sekali kamu! T-Tidak manusiawi!” teriaknya gugup dan ketakutan. Sehingga tak heran bagaimana kini air mata kembali menuruni pipinya.
Bukankah seharusnya orang yang normal akan langsung merasa bersalah dan menyesali perbuatannya di saat begini?
Anggun memang baru setahun ini saja dapat melihat kehidupan manusia secara langsung, namun dari apa yang dipelajarinya seharusnya ini adalah momen saat seseorang merasa malu atas perbuatannya. Dia bahkan seharusnya memohon ampun karena ini dapat menyeretnya ke meja hijau.
Namun tidak begitu dengan pria ini. Sedangkan untuk merasa menyesal, ekspresi datar di wajahnya malah terus dipertahankan. Bahkan ia dengan cuek beranjak mundur sedikit menjauhi tubuh Anggun.
‘Ada apa sih dengan orang ini?’
“S-Siapa kamu sebenarnya? K-Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Anggun mulai lebih meledak sambil kian menangis. “APA SALAHKU PADAMU?!”
Namun pria itu tidak menyahut sama sekali. Dia malah berniat bangkit begitu saja dari sofa.
“J-Jawab pertanyaanku!”
Sekali lagi Anggun memberanikan diri meraih tangannya agar tidak ditinggal begitu saja. Walau nyatanya dalam kondisi yang menggigil.
“Katakan padaku apa alasanmu? K-Kenapa kamu memperlakukanku begini, Tuan? Apa salahku?”
Pria itu akhirnya mau melirik padanya lagi. Kedua mata itu kembali terasa menggentarkan seluruh tubuhnya saat menatap Anggun dengan sangat tajam dan angkuh.
“Tentu saja karena hidupmu sekarang adalah hakku. Kamu mendapatkan kehidupan yang direnggut dariku, sehingga tentu aku bisa melakukan apapun yang kumau padamu.”
Padahal ia hanya mengatakan beberapa kalimat saja, namun mengapa begitu sulit untuk dimengerti? Anggun benar-benar tak paham sama sekali.
“A-Apa… maksudmu berkata begitu?”
***
“Tentu saja karena hidupmu sekarang adalah hakku. Kamu mendapatkan kehidupan yang direnggut dariku, sehingga tentu aku bisa melakukan apapun yang kumau padamu.” Tak bisa dijelaskan betapa terkejutnya Anggun saat mendengar ucapan selanjutnya dari pria asing itu. Apalagi dengan nada sinis serta ekspresi yang kelewat dingin itu di wajahnya. Seperti ekspresi kebencian saja, padahal rasa-rasanya Anggun tak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. “A-Apa… maksudmu berkata begitu?” Dikuatkannya bertanya lagi, walau seluruh tubuh Anggun terasa lebih bergetar saat ini. Tatapan pria itu semakin tajam, lalu dia melangkah mendekati Anggun. Lagi-lagi berhasil membuat wanita itu gentar dan malah mundur ketakutan tanpa sadar. “Matamu ini, kamu—“ Bip! Baru saja ia membuka mulutnya lagi, namun tiba-tiba malah terdengar suara deringan bel. Pandangan kedua orang itu beralih menuju sebuah interkom yang terpasang di samping pintu. Menampakkan keadaan di luar sana di mana ada beberapa orang pria ya
Anggun tak beranjak dari belakang pintu sama sekali. Walaupun tubuh nyaris telanjangnya terasa menggigil di lantai keramik itu, walaupun dia menangis dengan cukup lama di awal-awal. Namun dia merasa harus tetap waspada kalau saja pintu ini ada yang akan membuka atau bahkan mendobraknya.Hingga setelah sekitar dua jam, hiruk pikuk mulai mereda. Anggun menempelkan telinganya pada daun pintu untuk menguping ke luar sana, kalau saja suara tawa dan canda pria-pria tadi masih terdengar. Namun kini sudah terkesan sepi. Dia sudah tak bisa mendengar mereka lagi, sehingga mungkin bisa dipastikan kalau orang-orang itu mungkin telah pergi.Anggun mendesah berat lagi di saat itu. Sekilas dia jadi teringat akan pembicaraannya dengan si pria asing yang terakhir kali. Anggun tak yakin apa maksud pria itu menantangnya seperti itu, seakan memang ingin mengolok-olok keinginan Anggun yang minta dibebaskan dari tempat ini. Namun yang jelas Anggun merasa sangat kalah dan dicurangi.‘Tadi pagi dia juga begi
Anggun tak melupakan perintah dari Sean tadi. Dia sangat mengingatnya, walaupun dia mencoba untuk tidak peduli. Apalagi ketika mendengar suara dentingan dari jam berbentuk menara yang berada di ruang tengah.Namun dia tak mau menurutinya.Setelah semua yang terjadi seharian ini, setelah merasa begitu dipermainkan dan dikontrol oleh orang asing ini, Anggun merasa harus kembali berpegangan pada komitmen dan keberanian di dalam dirinya. Di mana walaupun semua itu sulit dengan keadaannya sekarang, dia harus memastikan untuk tidak semudah itu tunduk terhadap perintahnya.Itu sebabnya dia tak melakukan apa-apa.Sedangkan untuk berjalan menemui pria itu di meja makan, dia bahkan enggan untuk mengikuti perintahnya untuk mandi. Walaupun sebenarnya tubuhnya merasa gerah dan bahkan masih gatal karena sentuhan pria itu tadi, namun dia memilih untuk menahannya. Anggun percaya ini adalah cara untuk membangkang. Untuk menunjukkan pada orang itu kalau dia tak menakuti Anggun, sehingga dia tak bisa me
Sean memandang datar sosok Anggun yang kini tengah terbaring di depannya. Di mana tubuh perempuan itu masih sedikit basah, dengan adanya sisa-sisa air mandi yang tadi mengguyurnya.Perempuan itu pingsan di tengah kegiatan mereka tadi. Hal itu tidak mengejutkan sebenarnya, mengingat dia adalah seorang perawan yang tak pernah mengalaminya sebelumnya. Belum lagi karena dia juga berbeda dengan perempuan seumur dirinya yang seharusnya sudah cukup ‘melek’ dengan hal-hal seperti ini, namun nyatanya dia mengalami 23 tahun hidupnya sebagai perempuan buta. Sehingga tidak mengherankan kalau dia sama sekali tidak tahu.Apalagi Sean mengakui kalau tadi ia lakukan dengan begitu kasar dan bahkan tak manusiawi sama sekali Tanpa peringatan dan persiapan, pria itu memaksakan dirinya kepada wanita itu. ‘Miliknya’ menembus sebuah liang yang sebelumnya tak pernah tersentuh, di kala Anggun tengah panik dan ketakutan karena perlakuannya. Sehingga itu sebabnya serangan itu terkesan terlalu besar dan dahsyat
Walaupun bertentangan dengan hatinya, Anggun terpaksa harus mengikuti kata-kata Sean. Dia segera memilih beberapa pakaian yang disediakan di sana dan dengan cepat mengenakannya. Bahkan sebelum jam dinding menyentuh pukul setengah delapan, dia dengan cepat berjalan ke luar. Tak mau sampai terlambat dan kembali memancing kemarahan Sean.Sesampainya di ruang makan, lagi-lagi aneka makanan yang menggugah selera menyambutnya. Namun nyatanya Anggun tak merasa bersemangat sama sekali. Karena dia tak lapar, karena makan bukan hal yang dia inginkan sama sekali saat ini.Tubuh Anggun sedikit menegang saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Suara langkah yang mendekat pun terdengar, yang entah kenapa terkesan seperti sura horor baginya. Membuat Anggun secara tanpa sadar mengeratkan cardigan di tubuhnya seperti dia sempat terus menarik-narik selimut tadi.“Bagus kamu akhirnya mendengarnya. Seharusnya sejak tadi kamu begini, sehingga hal tadi tak perlu terjadi.” Sean berkomentar datar sambi
Sambil mengepalkan tangannya erat-erat dan suara yang bergetar, Anggun memandang tajam pria asing di depannya itu. Karena lagi-lagi dia mendapat keterkejutan dari pernyataan yang keluar dari mulut pria itu.Karena bagaimana mungkin dia tak kaget? Pria yang bahkan masih belum dia ketahui namanya itu sendirilah yang bilang kalau tadi mereka telah berhubungan badan. Hal yang menurut orang tuanya tak boleh sembarangan dilakukan kalau bukan dengan orang yang Anggun cintai. Hal yang kata orang-orang seharusnya hanya dapat dilakukan saat telah menikah nanti. Namun pria ini bilang kalau tadi dia telah melakukan ‘hal itu’ terhadap Anggun? Parahnya… tanpa kemauan ataupun persetujuan darinya sama sekali.“Itu… nggak benar, bukan?” tanyanya tak lama. Masih berusaha untuk menyangkal hal itu walau firasatnya kian terasa memburuk.Namun lagi-lagi pria itu menunjukkan reaksi yang tak menyenangkan. Ia mendesah berat bercampur muak, tanpa ada penyesalan sama sekali. Bahkan setelah ia terbukti melakukan
Anggun sebenarnya masih curiga pada pil itu. Dia takut kalau benda itu diberikan padanya dengan maksud lain yang kurang baik dari Sean, serta dia khawatir kalau itu akan menimbulkan bahaya terhadap tubuhnya.Namun beberapa jam sejak berada di rumah ini dan mengenal tabiat pria asing itu membuatnya sadar kalau mengikuti ucapannya adalah hal yang paling tepat untuk Anggun lakukan. Selain itu karena dia telah dijanjikan bahwa semua pertanyaannya akan diberikan jawaban olehnya, sehingga Anggun berpikir untuk tidak merusak suasana hati pria itu agar janji tersebut dapat terpenuhi.‘Walaupun aku tak bisa sepenuhnya percaya dengan ucapannya. Tapi yang jelas, aku harus sesegera mungkin mendapatkan jawaban kenapa dia melakukan semua ini padaku. Aku juga ingin tahu dari mana dia tahu nama serta sejarah tentang diriku.’Setelah menghabiskan sebatang rokok tadi tadi, Sean tampak bangkit dari tempat duduknya. Hal itu membuat Anggun ikut bergegas berdiri, lalu dengan cepat mengikuti langkah kakinya
Setahun yang lalu….“Kami telah berusaha semaksimal mungkin. Tapi mohon maaf … kami tak bisa menyelamatkan nyawa kedua orang tua Anda.”Jantung Anggun seperti copot dan terbelah menjadi dua saat mendengar ucapan dari pria yang mengaku sebagai dokter yang memberi tindakan terhadap kedua orang tuanya. Orang yang tadi juga langsung menerima kedatangan mereka sejak turun dari ambulans.Padahal seharusnya ini menjadi hari yang wajar.Tidak ada yang aneh atau janggal sejak pagi, ketika dia kembali menemani Bapak dan Ibunya menjaga toko bunga mereka. Namun di sore hari, tatkala kedua orang itu pamit padanya untuk mengantarkan karangan bunga untuk pelanggan, tak sampai lima menit setelahnya terdengar suara benturan yang keras dan teriakan panik di mana-mana. Semua orang bilang padanya kalau mobil pick-up yang ditumpangi oleh Bapak dan Ibunya ditabrak oleh sebuah mini bus yang mengebut saat menyerobot lampu merah.Tapi ini apa? Bagaimana mungkin dia malah mendengar kabar ini?Bagaimana bisa o