Setahun kemudian.
Diberi kesempatan untuk melihat seperti manusia normal lainnya, Anggun benar-benar merasa seperti terlahir kembali. Banyak hal yang berubah di hidupnya sejak saat itu.
Hari-harinya nyaris tidak pernah lagi diliputi kesedihan. Ini sangat berbanding terbalik di mana dulu dia sering merasa berkecil hati hingga bahkan terpuruk. Puncaknya saat dia mengalami duka terbesar di hidupnya. Anggun ingat bagaimana dia hampir mengakhiri hidupnya sendiri selama beberapa kali.
Dan bicara soal kehidupan, sejak sekitar enam bulan yang lalu Anggun mulai mengelola kembali toko bunga yang dulu dimiliki oleh mendiang orang tuanya. Toko itu telah mereka miliki sejak dirinya kecil, namun sempat jadi tidak terurus saat keduanya meninggal karena sebuah kecelakaan. Semenjak hidupnya lebih terbenahi maka dia pun bertekad untuk menghidupkan kembali usaha kecil-kecilan tersebut.
Balik mengingat ke belakang membuat Anggun kembali mengenang masa-masa terkelam di hidupnya ini. Baginya lahir buta sejak lahir bukanlah sebuah masalah terberat, sampai ketika dia kehilangan figur kedua orang tuanya di saat bersamaan. Itu sempat membuatnya begitu depresi sampai nyaris bunuh diri. Namun untungnya, keajaiban malah terjadi padanya setelah itu. Mendadak ada seseorang yang ingin memberikan donor mata padanya.
Tapi siapa pendonor itu?
Sayangnya sampai sekarang Anggun tidak diberi tahu sama sekali. Dia sempat bertanya ke sana sini di rumah sakit termasuk pada Dokter William, namun mereka semua memberikan jawaban yang sama padanya. Bahwa pendonor itu tidak ingin Anggun tahu identitas dirinya. Adapun satu-satunya informasi yang dia punya adalah si pendonor katanya juga meninggal di hari dia pencangkokan karena masalah kesehatan.
Pada akhirnya Anggun pun berhenti mencari tahu lagi soal identitas sang malaikat di hidupnya itu. Namun dia terus memastikan untuk selalu bersyukur dan berterima kasih di setiap harinya, serta mengirimkan doa keselamatan kepada mendiang.
“Lalu sekarang… tepat setahun aku melakukan operasi mata. Berarti… setahun juga berlalu sejak kepergian beliau.”
Anggun bergumam begitu sambil merangkai beberapa kuntum bunga mawar putih dan lili putih. Walaupun dia pun tak tahu di mana makam dari orang baik itu, namun dia tetap ingin melakukan sesuatu untuk mengenangnya setidaknya sekali setahun. Maka hanya inilah yang bisa dia lakukan.
Setelah beberapa menit berlalu, bunga rangkaiannya itu pun jadi. Anggun lalu membawa bunga itu ke bagian depan toko, lalu menggantungnya di depan pintu masuk. Lantas selanjutnya yang dia lakukan adalah berdoa.
‘Kuharap Anda tenang di atas sana. Anda mungkin sudah bosan mendengarnya, namun rasa syukur dan terima kasih saya kepada Anda tidak akan pernah berhenti mengalir. Anda benar-benar telah memberikan dunia dan kehidupan baru bagi saya. Sekali lagi saya ucapkan beribu terima kasih atas ketulusan hati Anda.’
Anggun bahkan sempat berkaca-kaca karenanya. Sekali lagi dia tersenyum tipis memandang rangkaian bunga tadi, sebelum kemudian meninggalkannya di sana dan melanjutkan rutinitas hariannya di toko itu.
Bicara soal toko, walaupun dia buta dan hanya mengenali bunga dari bentuk serta wanginya saja sejak kecil, namun siapa menyangka kalau dia tidak terlalu mengalami kesulitan mengenali semua saat awal-awal dapat melihat. Bermodalkan ajaran kedua orang tua yang tertanam di benaknya serta kecanggihan teknologi di zaman sekarang, bisa dikatakan dia telah hapal semua jenis bunga dengan warna yang dijual di tokonya. Hal itu membuatnya semakin mantap dengan pekerjaannya ini.
Sempat Anggun bekerja merapikan tokonya selama sekitar dua jam. Dia bahkan juga meladeni dua orang pembeli yang datang ke tempat itu. Di saat itulah tampak sebuah mobil mewah yang berhenti di depan toko. Dari dalamnya tampak langsung keluar seorang pria dengan setelan jas mahal serba hitam di seluruh tubuhnya. Tampak berjalan mendekati toko bunga yang diberi nama ‘Taman Anggun’ itu.
“Selamat datang di ‘Taman Anggun’, Tuan. Ada yang bisa saya bantu? Apa Anda ingin membelikan bunga untuk seseorang yang spesial?”
Sosok itu tak menyahuti sapaan ramah dan cerianya itu. Dalam sejenak pria itu hanya memandanginya saja. Walaupun ia tengah memakai sebuah kacamata hitam, namun Anggun merasa kalau sang pria tengah menatap telak kedua matanya. Hal yang tentu saja membuat perempuan itu jadi gugup.
‘Mungkin dia tengah berduka karena memakai hitam-hitam. Tak seharusnya aku menyapanya ceria begitu. Tch, bodoh sekali diriku ini.’
Anggun tersenyum lebih tenang kepadanya. “Tuan?”
Barulah kemudian pria itu mengalihkan pandangannya. Sejujurnya sikapnya terkesan kurang sopan, namun ia tampak tak ambil pusing. Anggun sendiri yang masih perlu mempelajari emosi manusia dari ekspresi wajahnya merasa tak tersinggung dan mencoba paham. Mungkin ia memang sedang dalam masa sangat berduka sekarang, itulah yang gadis itu pikirkan.
“Apa di sini ada white orchid?”
Pria itu akhirnya bersuara. Sekilas sempat membuat Anggun kaget, sebab ia memiliki jenis suara yang paling rendah dan dalam di sepanjang hidupnya. Namun dia tetap berfokus pada pertanyan pria itu.
“Wha… whait?”
“White Orchid? Tolong rangkaikan untukku.”
Namun Anggun malah membeku kebingungan di tempatnya.
‘Apa itu White Orchid? Kedengarannya seperti bahasa inggris. Tapi aku kan masih belum belajar ke sana. Aku hanya hapal nama-nama bunga dan warna dalam bahasa Indonesia yang sering kudengar saja. Itu saja butuh waktu bagiku karena ada banyak jenis bunga dan warna di dunia ini yang baru saja kulihat selama beberapa bulan ini.’
“Kenapa kamu malah melamun?”
Anggun tersentak ketika pria itu menegurnya. Gadis itu dengan cepat mengangkat wajahnya, lalu memandang pria itu lagi dengan gugup.
“M-Maaf, Tuan. Apa… apa Anda bisa menyebutkan nama Indonesia saja? Karena saya nggak bisa berbahasa inggris.”
“Itu kan bukan bahasa inggris yang sulit, apalagi untuk kamu yang bekerja di bidang ini. Bukankah memang sudah seharusnya kamu tahu basic soal nama lain dari bunga-bunga itu? Kamu menjual bunga di dekat pusat keramaian lho, bule mancanegara mungkin sesekali akan berkunjung untuk membeli. Nggak becus sekali kalau sampai nggak tahu hal sederhana seperti itu.”
Anggun kian gugup mendengar hal itu. Bukankah secara tak langsung pria ini menyebutnya tak kompeten? Itu memalukan.
Tapi selama ini Anggun juga telah bertekad kalau dia tak akan menjual cerita sedih hidupnya kepada orang lain. Apalagi kepada para pelanggan.
“Saya mohon maaf, Tuan. Tapi… saya benar-benar tak tahu,” sahutnya sambil menundukkan kepalanya.
Sempat terdengar helaan napas berat dan muak sebelum dia bersuara lagi, “Orchid adalah anggrek. Sementara white… seharusnya kamu tahu apa artinya, bukan? Masa nggak tahu? Masa kalah dari anak-anak TK yang pastinya sudah mempelajari hal itu?”
Semakin kasar saja kedengarannya. Tapi dia harus menahannya. “Sekali lagi maaf, Tuan.”
Ia menghela napas dengan berat lagi.
“White Orchid artinya anggrek putih. Bagaimana mungkin kamu nggak tahu hal sesederhana itu padahal kamu menekuni bidang ini? Kamu tidak professional sama sekali.”
Kenapa sih pria ini harus segitu kasarnya? Bahkan kalau memang dia bertemu seseorang yang tak bisa mengartikan apa yang dia ucapkan, bukankah dia juga tak seharusnya menghakimi sampai segitunya? Karena dia tak tahu sama sekali latar belakang orang yang diberikan kritikan tersebut.
Tapi sudahlah, Anggun terima saja. Toh, bukan sekali dua kali dia menerima hinaan seperti itu di hidupnya ini. Dulu bahkan dia sering diejek karena tak bisa melihat. Lagipula mengabaikan ucapan itu menurutnya lebih baik daripada berakhir berdebat.
“M-Mohon maaf karena tak bisa langsung memahami ucapan Anda, Tuan. Ya, kami menjual bunga anggrek putih di sini. Apakah Anda ingin saya merangkaikannya untuk Anda?”
Pria itu hanya menganggukkan kepalanya dengan singkat.
“Baik, Tuan. Mohon tunggu sebentar, akan saya kerjakan dulu. Silakan duduk dulu, Tuan.”
Dengan bergegas Anggun memasuki kembali toko bunganya, lalu memilih delapan kuntum bunga anggrek putih yang menurutnya tampak paling segar. Dia pun sibuk merangkai bunga-bunga itu dengan beberapa hiasan lain yang dari dia butaa sudah cukup handal dia lakukan karena diajari oleh mendiang ibunya.
Namun sebenarnya untuk beberapa alasan Anggun tak bisa bekerja dengan cepat dan telaten seperti biasanya. Karena di saat itu dia menyadari ada sepasang mata yang terus memperhatikan setiap pergerakannya, bahkan terasa terus memandanginya secara intens. Hal itu sering membuatnya jadi sedikit mati gaya.
‘Dia memang terus mengawasiku atau… apa ini hanya perasaanku saja?’
***
Malam itu seharusnya menjadi hari yang normal bagi Anggun. Sepertinya biasanya dia menutup toko bunganya tepat di jam delapan malam. Lalu setelah memastikan semua dalam kondisi aman dan terkunci, dia pun berniat untuk segera pulang ke kontrakannya yang berjarak tak terlalu jauh dari sana. Saat utu Anggun baru hendak mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Namun tiba-tiba dia merasakan seseorang menghampirinya dari belakang. Lalu setelah itu… setelah itu…. Gelap. “Astaga.” Anggun bergumam seraya tersentak membuka mata. Dengan cepat dialihkannya pandangan ke sekitar, yang langsung menimbulkan kepanikan di dalam dirinya. Sebab ini bukan tempat yang dikenalnya sama sekali. Ini bukan rumahnya. Perempuan itu langsung mendesis sambil memegangi kepala bagian kirinya yang terasa sedikit ngilu. Sejenak diingatnya lagi hal yang terjadi sebelumnya, di mana dia merasa dihampiri oleh seseorang saat baru saja mengunci toko bunganya. Anggun bahkan tak sempat melihat wajah mereka, karen
“Kita bahas nanti. Sekarang aku harus pergi kerja dulu.”Dengan suaranya yang berat dan angkuh itu, sang pria akhirnya lebih dewasa. Hal itu saja entah kenapa langsung cukup mampu untuk mengintimidasi Anggun. Sehingga membuatnya langsung tergagap dan tak tahu harus bilang apa.Apalagi ketika pria itu lantas berjalan ke arahnya. Anggun langsung merasa terancam, sehingga membuatnya mundur secara naluriah. Tentu saja masih sambil memegangi selimut di tubuhnya erat-erat agar tidak merosot dan mempertontonkan tubuh polosnya.Namun….Pria itu ternyata tidak menghampirinya, melainkan melewatinya begitu saja. Anggun malah panik lagi karena menyadari ia mungkin akan pergi begitu saja dan meninggalkannya. Sehingga dengan cepat diraihnya lengan pria itu.“B-Biarkan saya pergi.” Anggun berkata dengan menggigil. “S-Saya nggak tahu apa yang telah terjadi semalam, serta… saya tidak akan mencari tahu soal Anda atau melaporkan polisi. Tapi… tapi… biarkan saya perg—““Semalam? Memangnya apa yang terjad
Setelah ditinggal oleh pria misterius itu, Anggun langsung terduduk lemas di belakang pintu. Dia sempat menangis tersedu-sedu di sana selama beberapa menit karena kebingungan dengan semua ini.Anggun tak mengerti kenapa dia diperlakukan begini ketika rasanya dia tak pernah menyakiti orang lain. Dia juga sangat bingung memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk membebaskan dirinya dari tempat yang asing ini.Namun setelah beberapa saat, dia lebih paham kalau menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Dia tak boleh menyerah begitu saja. Jadi lebih baik dia menggunakan energinya untuk menemukan jalan keluar dari semua ini.Mencari pakaian adalah hal yang pertama dia lakukan. Walau tadi pria aneh itu bilang kalau dia tak akan bisa menemukannya dulu di rumah ini, namun Anggun tetap berharap akan mendapat sesuatu yang lebih nyaman untuk menutupi tubuh polosnya ini.Tapi tidak ada sama sekali. Anggun tidak menemukan apapun yang bisa dipakai di sana.Dengan lesu, sambil masih memegangi selimut
“Tentu saja karena hidupmu sekarang adalah hakku. Kamu mendapatkan kehidupan yang direnggut dariku, sehingga tentu aku bisa melakukan apapun yang kumau padamu.” Tak bisa dijelaskan betapa terkejutnya Anggun saat mendengar ucapan selanjutnya dari pria asing itu. Apalagi dengan nada sinis serta ekspresi yang kelewat dingin itu di wajahnya. Seperti ekspresi kebencian saja, padahal rasa-rasanya Anggun tak pernah melakukan kesalahan apapun padanya. “A-Apa… maksudmu berkata begitu?” Dikuatkannya bertanya lagi, walau seluruh tubuh Anggun terasa lebih bergetar saat ini. Tatapan pria itu semakin tajam, lalu dia melangkah mendekati Anggun. Lagi-lagi berhasil membuat wanita itu gentar dan malah mundur ketakutan tanpa sadar. “Matamu ini, kamu—“ Bip! Baru saja ia membuka mulutnya lagi, namun tiba-tiba malah terdengar suara deringan bel. Pandangan kedua orang itu beralih menuju sebuah interkom yang terpasang di samping pintu. Menampakkan keadaan di luar sana di mana ada beberapa orang pria ya
Anggun tak beranjak dari belakang pintu sama sekali. Walaupun tubuh nyaris telanjangnya terasa menggigil di lantai keramik itu, walaupun dia menangis dengan cukup lama di awal-awal. Namun dia merasa harus tetap waspada kalau saja pintu ini ada yang akan membuka atau bahkan mendobraknya.Hingga setelah sekitar dua jam, hiruk pikuk mulai mereda. Anggun menempelkan telinganya pada daun pintu untuk menguping ke luar sana, kalau saja suara tawa dan canda pria-pria tadi masih terdengar. Namun kini sudah terkesan sepi. Dia sudah tak bisa mendengar mereka lagi, sehingga mungkin bisa dipastikan kalau orang-orang itu mungkin telah pergi.Anggun mendesah berat lagi di saat itu. Sekilas dia jadi teringat akan pembicaraannya dengan si pria asing yang terakhir kali. Anggun tak yakin apa maksud pria itu menantangnya seperti itu, seakan memang ingin mengolok-olok keinginan Anggun yang minta dibebaskan dari tempat ini. Namun yang jelas Anggun merasa sangat kalah dan dicurangi.‘Tadi pagi dia juga begi
Anggun tak melupakan perintah dari Sean tadi. Dia sangat mengingatnya, walaupun dia mencoba untuk tidak peduli. Apalagi ketika mendengar suara dentingan dari jam berbentuk menara yang berada di ruang tengah.Namun dia tak mau menurutinya.Setelah semua yang terjadi seharian ini, setelah merasa begitu dipermainkan dan dikontrol oleh orang asing ini, Anggun merasa harus kembali berpegangan pada komitmen dan keberanian di dalam dirinya. Di mana walaupun semua itu sulit dengan keadaannya sekarang, dia harus memastikan untuk tidak semudah itu tunduk terhadap perintahnya.Itu sebabnya dia tak melakukan apa-apa.Sedangkan untuk berjalan menemui pria itu di meja makan, dia bahkan enggan untuk mengikuti perintahnya untuk mandi. Walaupun sebenarnya tubuhnya merasa gerah dan bahkan masih gatal karena sentuhan pria itu tadi, namun dia memilih untuk menahannya. Anggun percaya ini adalah cara untuk membangkang. Untuk menunjukkan pada orang itu kalau dia tak menakuti Anggun, sehingga dia tak bisa me
Sean memandang datar sosok Anggun yang kini tengah terbaring di depannya. Di mana tubuh perempuan itu masih sedikit basah, dengan adanya sisa-sisa air mandi yang tadi mengguyurnya.Perempuan itu pingsan di tengah kegiatan mereka tadi. Hal itu tidak mengejutkan sebenarnya, mengingat dia adalah seorang perawan yang tak pernah mengalaminya sebelumnya. Belum lagi karena dia juga berbeda dengan perempuan seumur dirinya yang seharusnya sudah cukup ‘melek’ dengan hal-hal seperti ini, namun nyatanya dia mengalami 23 tahun hidupnya sebagai perempuan buta. Sehingga tidak mengherankan kalau dia sama sekali tidak tahu.Apalagi Sean mengakui kalau tadi ia lakukan dengan begitu kasar dan bahkan tak manusiawi sama sekali Tanpa peringatan dan persiapan, pria itu memaksakan dirinya kepada wanita itu. ‘Miliknya’ menembus sebuah liang yang sebelumnya tak pernah tersentuh, di kala Anggun tengah panik dan ketakutan karena perlakuannya. Sehingga itu sebabnya serangan itu terkesan terlalu besar dan dahsyat
Walaupun bertentangan dengan hatinya, Anggun terpaksa harus mengikuti kata-kata Sean. Dia segera memilih beberapa pakaian yang disediakan di sana dan dengan cepat mengenakannya. Bahkan sebelum jam dinding menyentuh pukul setengah delapan, dia dengan cepat berjalan ke luar. Tak mau sampai terlambat dan kembali memancing kemarahan Sean.Sesampainya di ruang makan, lagi-lagi aneka makanan yang menggugah selera menyambutnya. Namun nyatanya Anggun tak merasa bersemangat sama sekali. Karena dia tak lapar, karena makan bukan hal yang dia inginkan sama sekali saat ini.Tubuh Anggun sedikit menegang saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Suara langkah yang mendekat pun terdengar, yang entah kenapa terkesan seperti sura horor baginya. Membuat Anggun secara tanpa sadar mengeratkan cardigan di tubuhnya seperti dia sempat terus menarik-narik selimut tadi.“Bagus kamu akhirnya mendengarnya. Seharusnya sejak tadi kamu begini, sehingga hal tadi tak perlu terjadi.” Sean berkomentar datar sambi