Home / CEO / Suami Sang Pendonor / Indah dan Berwarna-warni

Share

Indah dan Berwarna-warni

Setahun kemudian.

Diberi kesempatan untuk melihat seperti manusia normal lainnya, Anggun benar-benar merasa seperti terlahir kembali. Banyak hal yang berubah di hidupnya sejak saat itu.

Hari-harinya nyaris tidak pernah lagi diliputi kesedihan. Ini sangat berbanding terbalik di mana dulu dia sering merasa berkecil hati hingga bahkan terpuruk. Puncaknya saat dia mengalami duka terbesar di hidupnya. Anggun ingat bagaimana dia hampir mengakhiri hidupnya sendiri selama beberapa kali.

Dan bicara soal kehidupan, sejak sekitar enam bulan yang lalu Anggun mulai mengelola kembali toko bunga yang dulu dimiliki oleh mendiang orang tuanya. Toko itu telah mereka miliki sejak dirinya kecil, namun sempat jadi tidak terurus saat keduanya meninggal karena sebuah kecelakaan. Semenjak hidupnya lebih terbenahi maka dia pun bertekad untuk menghidupkan kembali usaha kecil-kecilan tersebut.

Balik mengingat ke belakang membuat Anggun kembali mengenang masa-masa terkelam di hidupnya ini. Baginya lahir buta sejak lahir bukanlah sebuah masalah terberat, sampai ketika dia kehilangan figur kedua orang tuanya di saat bersamaan. Itu sempat membuatnya begitu depresi sampai nyaris bunuh diri. Namun untungnya, keajaiban malah terjadi padanya setelah itu. Mendadak ada seseorang yang ingin memberikan donor mata padanya.

Tapi siapa pendonor itu?

Sayangnya sampai sekarang Anggun tidak diberi tahu sama sekali. Dia sempat bertanya ke sana sini di rumah sakit termasuk pada Dokter William, namun mereka semua memberikan jawaban yang sama padanya. Bahwa pendonor itu tidak ingin Anggun tahu identitas dirinya. Adapun satu-satunya informasi yang dia punya adalah si pendonor katanya juga meninggal di hari dia pencangkokan karena masalah kesehatan.

Pada akhirnya Anggun pun berhenti mencari tahu lagi soal identitas sang malaikat di hidupnya itu. Namun dia terus memastikan untuk selalu bersyukur dan berterima kasih di setiap harinya, serta mengirimkan doa keselamatan kepada mendiang.

“Lalu sekarang… tepat setahun aku melakukan operasi mata. Berarti… setahun juga berlalu sejak kepergian beliau.”

Anggun bergumam begitu sambil merangkai beberapa kuntum bunga mawar putih dan lili putih. Walaupun dia pun tak tahu di mana makam dari orang baik itu, namun dia tetap ingin melakukan sesuatu untuk mengenangnya setidaknya sekali setahun. Maka hanya inilah yang bisa dia lakukan.

Setelah beberapa menit berlalu, bunga rangkaiannya itu pun jadi. Anggun lalu membawa bunga itu ke bagian depan toko, lalu menggantungnya di depan pintu masuk. Lantas selanjutnya yang dia lakukan adalah berdoa.

‘Kuharap Anda tenang di atas sana. Anda mungkin sudah bosan mendengarnya, namun rasa syukur dan terima kasih saya kepada Anda tidak akan pernah berhenti mengalir. Anda benar-benar telah memberikan dunia dan kehidupan baru bagi saya. Sekali lagi saya ucapkan beribu terima kasih atas ketulusan hati Anda.’

Anggun bahkan sempat berkaca-kaca karenanya. Sekali lagi dia tersenyum tipis memandang rangkaian bunga tadi, sebelum kemudian meninggalkannya di sana dan melanjutkan rutinitas hariannya di toko itu.

Bicara soal toko, walaupun dia buta dan hanya mengenali bunga dari bentuk serta wanginya saja sejak kecil, namun siapa menyangka kalau dia tidak terlalu mengalami kesulitan mengenali semua saat awal-awal dapat melihat. Bermodalkan ajaran kedua orang tua yang tertanam di benaknya serta kecanggihan teknologi di zaman sekarang, bisa dikatakan dia telah hapal semua jenis bunga dengan warna yang dijual di tokonya. Hal itu membuatnya semakin mantap dengan pekerjaannya ini.

Sempat Anggun bekerja merapikan tokonya selama sekitar dua jam. Dia bahkan juga meladeni dua orang pembeli yang datang ke tempat itu. Di saat itulah tampak sebuah mobil mewah yang berhenti di depan toko. Dari dalamnya tampak langsung keluar seorang pria dengan setelan jas mahal serba hitam di seluruh tubuhnya. Tampak berjalan mendekati toko bunga yang diberi nama ‘Taman Anggun’ itu.

“Selamat datang di ‘Taman Anggun’, Tuan. Ada yang bisa saya bantu? Apa Anda ingin membelikan bunga untuk seseorang yang spesial?”

Sosok itu tak menyahuti sapaan ramah dan cerianya itu. Dalam sejenak pria itu hanya memandanginya saja. Walaupun ia tengah memakai sebuah kacamata hitam, namun Anggun merasa kalau sang pria tengah menatap telak kedua matanya. Hal yang tentu saja membuat perempuan itu jadi gugup.

‘Mungkin dia tengah berduka karena memakai hitam-hitam. Tak seharusnya aku menyapanya ceria begitu. Tch, bodoh sekali diriku ini.’

Anggun tersenyum lebih tenang kepadanya. “Tuan?”

Barulah kemudian pria itu mengalihkan pandangannya. Sejujurnya sikapnya terkesan kurang sopan, namun ia tampak tak ambil pusing. Anggun sendiri yang masih perlu mempelajari emosi manusia dari ekspresi wajahnya merasa tak tersinggung dan mencoba paham. Mungkin ia memang sedang dalam masa sangat berduka sekarang, itulah yang gadis itu pikirkan.

“Apa di sini ada white orchid?”

Pria itu akhirnya bersuara. Sekilas sempat membuat Anggun kaget, sebab ia memiliki jenis suara yang paling rendah dan dalam di sepanjang hidupnya. Namun dia tetap berfokus pada pertanyan pria itu.

“Wha… whait?”

White Orchid? Tolong rangkaikan untukku.”

Namun Anggun malah membeku kebingungan di tempatnya.

‘Apa itu White Orchid? Kedengarannya seperti bahasa inggris. Tapi aku kan masih belum belajar ke sana. Aku hanya hapal nama-nama bunga dan warna dalam bahasa Indonesia yang sering kudengar saja. Itu saja butuh waktu bagiku karena ada banyak jenis bunga dan warna di dunia ini yang baru saja kulihat selama beberapa bulan ini.’

“Kenapa kamu malah melamun?”

Anggun tersentak ketika pria itu menegurnya. Gadis itu dengan cepat mengangkat wajahnya, lalu memandang pria itu lagi dengan gugup.

“M-Maaf, Tuan. Apa… apa Anda bisa menyebutkan nama Indonesia saja? Karena saya nggak bisa berbahasa inggris.”

“Itu kan bukan bahasa inggris yang sulit, apalagi untuk kamu yang bekerja di bidang ini. Bukankah memang sudah seharusnya kamu tahu basic soal nama lain dari bunga-bunga itu? Kamu menjual bunga di dekat pusat keramaian lho, bule mancanegara mungkin sesekali akan berkunjung untuk membeli. Nggak becus sekali kalau sampai nggak tahu hal sederhana seperti itu.”

Anggun kian gugup mendengar hal itu. Bukankah secara tak langsung pria ini menyebutnya tak kompeten? Itu memalukan.

Tapi selama ini Anggun juga telah bertekad kalau dia tak akan menjual cerita sedih hidupnya kepada orang lain. Apalagi kepada para pelanggan.

“Saya mohon maaf, Tuan. Tapi… saya benar-benar tak tahu,” sahutnya sambil menundukkan kepalanya.

Sempat terdengar helaan napas berat dan muak sebelum dia bersuara lagi, “Orchid adalah anggrek. Sementara white… seharusnya kamu tahu apa artinya, bukan? Masa nggak tahu? Masa kalah dari anak-anak TK yang pastinya sudah mempelajari hal itu?”

Semakin kasar saja kedengarannya. Tapi dia harus menahannya. “Sekali lagi maaf, Tuan.”

Ia menghela napas dengan berat lagi.

 “White Orchid artinya anggrek putih. Bagaimana mungkin kamu nggak tahu hal sesederhana itu padahal kamu menekuni bidang ini? Kamu tidak professional sama sekali.”

Kenapa sih pria ini harus segitu kasarnya? Bahkan kalau memang dia bertemu seseorang yang tak bisa mengartikan apa yang dia ucapkan, bukankah dia juga tak seharusnya menghakimi sampai segitunya? Karena dia tak tahu sama sekali latar belakang orang yang diberikan kritikan tersebut.

Tapi sudahlah, Anggun terima saja. Toh, bukan sekali dua kali dia menerima hinaan seperti itu di hidupnya ini. Dulu bahkan dia sering diejek karena tak bisa melihat. Lagipula mengabaikan ucapan itu menurutnya lebih baik daripada berakhir berdebat.

“M-Mohon maaf karena tak bisa langsung memahami ucapan Anda, Tuan. Ya, kami menjual bunga anggrek putih di sini. Apakah Anda ingin saya merangkaikannya untuk Anda?”

Pria itu hanya menganggukkan kepalanya dengan singkat.

“Baik, Tuan. Mohon tunggu sebentar, akan saya kerjakan dulu. Silakan duduk dulu, Tuan.”

Dengan bergegas Anggun memasuki kembali toko bunganya, lalu memilih delapan kuntum bunga anggrek putih yang menurutnya tampak paling segar. Dia pun sibuk merangkai bunga-bunga itu dengan beberapa hiasan lain yang dari dia butaa sudah cukup handal dia lakukan karena diajari oleh mendiang ibunya.

Namun sebenarnya untuk beberapa alasan Anggun tak bisa bekerja dengan cepat dan telaten seperti biasanya. Karena di saat itu dia menyadari ada sepasang mata yang terus memperhatikan setiap pergerakannya, bahkan terasa terus memandanginya secara intens. Hal itu sering membuatnya jadi sedikit mati gaya.

‘Dia memang terus mengawasiku atau… apa ini hanya perasaanku saja?’

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status