Rainer berdecak kesal.“Kenapa gosip seperti itu masih beredar?”“Itu yang masih aku selidiki.”Rainer menghela napas beratnya. Ia mempercayai Dion. Namun saat ini sedang menimbang-nimbang apakah ia akan menceritakan masalah pribadinya pada sang sahabat yang sedang bergunjing ini?“Ada yang mau kamu ceritakan padaku selain gosip-gosip yang beredar?” Dion bertanya dengan memasang wajah serius.“Aku tidak memiliki teman untuk curhat. Tetapi, aku kurang mempercayaimu?”Dion menyeringai. “Ayolah, aku sahabatmu. Kamu tau aku tidak pernah bergosip tentangmu ‘kan?”“Orang bisa berubah. Banyak kasus di mana teman akhirnya menjadi lawan,” sesal Rainer.“Dan kamu pikir aku akan merusak pertemanan kita? Memiliki sahabat seorang pewaris daerah harus dilestarikan.”Rianer berpikir sejenak. Ia butuh mendengar pendapat seseorang tentang apa yang ia alami saat ini. Lelaki tampan itu mencondongkan tubuh ke depan Dion.“Kamu akan terkejut mendengar ini.”“Aku siap mendapat kejutan darimu.”Pewaris daer
Claire memandang wajah Rainer dengan raut serius. Sementara lelaki itu tampak terpaku di tempat. Terkejut dengan permintaan sang istri.“Kamu mau naik helicopter?” Rainer mengulangi permintaan istrinya.“Iya.”“Kamu tau kita pernah naik helicopter?”Wanita itu akhirnya tersadar sendiri. Matanya berbinar menatap wajah Rainer. Ia tersenyum lebar dan mengangguk.“Aku ingat, Rainer. Aku ingat pernah naik helicopter denganku,” pekik Claire senang.Rainer tersenyum haru. Paling tidak, Claire mengingat bagian itu yang artinya ia menyukainya.“Bagian apa yang kamu ingat, My Lady?”“Hmmm … sebenarnya hanya saat kita berada di atas saja. Aku tidak ingat baagaimana awal dan akhirnya.”Dengan terkekeh, Rainer bercerita. Bagaimana Claire kesulitan berjalan menghampiri helicopter karena memakai sepatu berhak lancip. Juga saat mengetahui Rainer yang membawa helicopter tersebut, Claire terlihat takut.Kepala Claire menggeleng dengan senyum. Ia mengatakan tidak ingat bagian tersebut. Rainer merengkuh
Claire tertegun mendengar pertanyaan Rainer. Apalagi lelaki itu mengucapkannya dengan nada sedih. Ia jadi merasa bersalah.Kepalanya menggeleng. "Asal kamu tau. Aku menikmati bercinta denganmu. Maaf, aku belum mengingat tentang kita."Rainer tidak menjawab. Bibirnya menyapu pada bibir sang istri. Saling melumat dan kemudian menatap dalam mata masing-masing.Hingga akhirnya acara mandi itu selesai. Kali ini Claire yang mengingatkan bahwa mereka ditunggu keluarga.Keduanya berpakaian dengan cepat. Lalu, keluar dari kamar dengan bergandengan tangan."Akh, itu mereka datang," seru Maya."Maaf. Apa kalian menunggu lama?" Rainer bertanya pada keluarganya."Tidak, belum lama. Granny juga sedang di kamar mandi saat ini."Tak lama, Granny datang dengan seorang pelayan. Mereka kini duduk di kursi makan masing-masing.Claire melirik Stella. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa wanita ini selalu ada di mana pun."King, ini makanan kesukaanmu. Aku memasaknya untukmu barusan." Stella meletakkan piring
Tidak sampai satu jam mereka berjalan-jalan di Pulau Ares. Rainer hanya ingin menunjukkan beberapa kenangan masa kecilnya bermain di pulau ini. Tujuannya agar Claire merangsang ingatan pada masa lalunya juga.“Kita kembali ke manor, ya. Kamu ada jadwal terapi dua jam lagi.” Rainer meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat.Sepanjang jalan kembali, Claire tampak termenung. Saat melihat berjalan-jalan di pulau, ia juga memiliki kenangan berlibur di sebuah pulau bersama keluarga. Hanya saja kenangan itu belum tersambung sepenuhnya.Helicopter mendarat di halaman manor. Rainer mengucapkan terima kasih pada pilot sebelum mereka turun. Claire memegangi tangan sang suami agar tidak limbung saat turun dari helicopter.“Kamu jadi ke kantor?” Claire bertanya pada Rianer.“Kenapa? Kamu terapi ‘kan?” Rainer balas bertanya.“Iya. Kamu pulang jam berapa?”Rainer tersenyum. Lelaki itu menghentikan lanngkah. Claire akhirnya berhenti berjalan dan menatap suaminya.“Kenapa? Kamu mau aku tetap di
Raut wajah Rainer mengeras. Edelweis memberikan kode agar tenang. Claire masih berusaha fokus pada arahan terapis.“Apa kamu tau bahwa akan ada hujan lebat yang berpotensi badai sore itu?” tanya Edel.Claire terdiam. Dahinya berkerut sedikit. Lalu, kepalanya menggeleng. “Tidak. Aku tidak tau.”“Baik. Di mana Rainer saat itu?”“Belum pulang dari kantor.”“Kenapa kamu mau disuruh Stella mengambil lemon di gudang?”“Karena Stella bilang itu untuk Granny.”Edel menatap ekspresi Claire. Tampak murung dan sering menghela napas panjang. Claire sedang berusaha mengatur emosinya.Terapis itu lalu menanyakan keadaan Claire saat ini setelah ia ingat tentang musibah yang ia alami. Wanita cantik itu berkata ia sudah membaik karena itu sudah berlalu. Hanya saja ia seringkali kesal karena ingatannya belum pulih seratus persen.“Sabar. Perlahan, ingatanmu akan kembali. Sekarang, coba fokuskan pada keadaanmu saat terkepung hujan lebat.”Kepala Claire mengangguk pelan.“Keadaan gelap. Terdengar petir.
Rainer keluar dengan wajah geram. Langkah panjangnya berderap ke ruang kerja Dion.Para pegawai terlihat takut melihat ekspresi pimpinan mereka. Rainer terkenal sebagai lelaki ramah dan santun. Namun saat ini wajahnya sangat tidak bersahabat."Keluar!" Rainer mengusir sekertaris Dion yang sedang berada di dalam ruang kerja sang sahabat.Wanita yang tidak muda lagi itu tertegun sesaat. Ia lalu mengambil catatannya dan menunduk saat melewati Rainer."Apa lagi yang membuatmu marah kali ini, King?" desah Dion. "Sudah kubilang kau jadi mudah marah setelah menikah."Singkat, padat dan jelas, Rainer menceritakan apa yang baru saja ia bicarakan dengan Stella. Lelaki itu bercerita dengan tangan tak bisa diam dan kaki yang mondar-mandir di depan meja sang sahabat."Aku punya alasan untuk marah, bukan?"Dion tidak menjawab. Ia segera mengecek CCTV. Benar, pada tayangan perekam itu mereka melihat Stella berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit. Lelaki itu menggeleng tak percaya."Selain kamu,
Rainer terharu. Meskipun ia tau, wanita di hadapannya adalah Claire yang berbeda. Tetapi, tetap saja ia membuncah bahagia.Wajah Claire yang bersih, tersenyum tulus. Lelaki itu menangkup dua tangannya di wajah sang istri. Dahi mereka kini saling menempel.“Aku juga mencintaimu, Claire, My Lady.”Rainer mendesah. Masa bodoh dengan nanti. Buatnya yang penting hari ini ia dan Claire mengukir sejarah dalan hidup bahwa akhirnya mereka mengaku saling mencintai.Mereka berpelukan erat. Hingga Rainer melonggarkan pelukannya agar ia bisa menatap wajah cantik itu. Mata mereka saling menatap.“Tetaplah seperti ini, My Lady. Karena aku juga tidak akan berubah. Akan selalu ada rasa cinta untukmu di hatiku.”Untuk beberapa saat, mereka terlena oleh kata-kata manis. Pujian yang tidak pernah mereka ucapkan selama pernikahan. Rasa yang baru mereka dapati ketika salah satu dari mereka berubah sifatnya.Claire merasakan kedekatan baru. Kenyamanan yang ia dapatkan dari pelukan Rainer. Kasih sayang dan ci
Claire semakin mesra dengan Rainer. Mereka terlihat begitu romantis saat berdua. Saling memberikan perhatian tanpa malu di depan banyak orang.Semakin hari, ingatan Claire semakin membaik. Trauma yang ia alami pun mulai memudar. Bahkan, ketika hujan turun, Claire sudah tidak terlihat panik.Itu semua dirasakan Claire karena kehadiran Rainer. Lelaki itu selalu siap mendampingi dan membantu kapan dan di mana saja.Kehangatan pasangan tersebut tentu saja membuat Stella semakin meradang. Apalagi Rainer terang-terangan menabuh genderang perang dengannya. Stella semakin membenci Claire.Seperti saat ini. Di ruang pertemuan. Mereka sedang membahas pengeluaran untuk menanam benih tanaman di musim dingin. Claire dengan santai hanya menatap laptopnya.Namun begitu, sesekali, Rainer memberikan perhatian dengan mengusap punggung, pipi bahkan mengelus rambut sang istri. Stella benar-benar muak.“Stella, tolong kamu buat perkiraan biaya yang Papa butuhkan. Segera.” Adam memerintah pada Stella.“Ya