Claire tertegun mendengar pertanyaan Rainer. Apalagi lelaki itu mengucapkannya dengan nada sedih. Ia jadi merasa bersalah.Kepalanya menggeleng. "Asal kamu tau. Aku menikmati bercinta denganmu. Maaf, aku belum mengingat tentang kita."Rainer tidak menjawab. Bibirnya menyapu pada bibir sang istri. Saling melumat dan kemudian menatap dalam mata masing-masing.Hingga akhirnya acara mandi itu selesai. Kali ini Claire yang mengingatkan bahwa mereka ditunggu keluarga.Keduanya berpakaian dengan cepat. Lalu, keluar dari kamar dengan bergandengan tangan."Akh, itu mereka datang," seru Maya."Maaf. Apa kalian menunggu lama?" Rainer bertanya pada keluarganya."Tidak, belum lama. Granny juga sedang di kamar mandi saat ini."Tak lama, Granny datang dengan seorang pelayan. Mereka kini duduk di kursi makan masing-masing.Claire melirik Stella. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa wanita ini selalu ada di mana pun."King, ini makanan kesukaanmu. Aku memasaknya untukmu barusan." Stella meletakkan piring
Tidak sampai satu jam mereka berjalan-jalan di Pulau Ares. Rainer hanya ingin menunjukkan beberapa kenangan masa kecilnya bermain di pulau ini. Tujuannya agar Claire merangsang ingatan pada masa lalunya juga.“Kita kembali ke manor, ya. Kamu ada jadwal terapi dua jam lagi.” Rainer meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat.Sepanjang jalan kembali, Claire tampak termenung. Saat melihat berjalan-jalan di pulau, ia juga memiliki kenangan berlibur di sebuah pulau bersama keluarga. Hanya saja kenangan itu belum tersambung sepenuhnya.Helicopter mendarat di halaman manor. Rainer mengucapkan terima kasih pada pilot sebelum mereka turun. Claire memegangi tangan sang suami agar tidak limbung saat turun dari helicopter.“Kamu jadi ke kantor?” Claire bertanya pada Rianer.“Kenapa? Kamu terapi ‘kan?” Rainer balas bertanya.“Iya. Kamu pulang jam berapa?”Rainer tersenyum. Lelaki itu menghentikan lanngkah. Claire akhirnya berhenti berjalan dan menatap suaminya.“Kenapa? Kamu mau aku tetap di
Raut wajah Rainer mengeras. Edelweis memberikan kode agar tenang. Claire masih berusaha fokus pada arahan terapis.“Apa kamu tau bahwa akan ada hujan lebat yang berpotensi badai sore itu?” tanya Edel.Claire terdiam. Dahinya berkerut sedikit. Lalu, kepalanya menggeleng. “Tidak. Aku tidak tau.”“Baik. Di mana Rainer saat itu?”“Belum pulang dari kantor.”“Kenapa kamu mau disuruh Stella mengambil lemon di gudang?”“Karena Stella bilang itu untuk Granny.”Edel menatap ekspresi Claire. Tampak murung dan sering menghela napas panjang. Claire sedang berusaha mengatur emosinya.Terapis itu lalu menanyakan keadaan Claire saat ini setelah ia ingat tentang musibah yang ia alami. Wanita cantik itu berkata ia sudah membaik karena itu sudah berlalu. Hanya saja ia seringkali kesal karena ingatannya belum pulih seratus persen.“Sabar. Perlahan, ingatanmu akan kembali. Sekarang, coba fokuskan pada keadaanmu saat terkepung hujan lebat.”Kepala Claire mengangguk pelan.“Keadaan gelap. Terdengar petir.
Rainer keluar dengan wajah geram. Langkah panjangnya berderap ke ruang kerja Dion.Para pegawai terlihat takut melihat ekspresi pimpinan mereka. Rainer terkenal sebagai lelaki ramah dan santun. Namun saat ini wajahnya sangat tidak bersahabat."Keluar!" Rainer mengusir sekertaris Dion yang sedang berada di dalam ruang kerja sang sahabat.Wanita yang tidak muda lagi itu tertegun sesaat. Ia lalu mengambil catatannya dan menunduk saat melewati Rainer."Apa lagi yang membuatmu marah kali ini, King?" desah Dion. "Sudah kubilang kau jadi mudah marah setelah menikah."Singkat, padat dan jelas, Rainer menceritakan apa yang baru saja ia bicarakan dengan Stella. Lelaki itu bercerita dengan tangan tak bisa diam dan kaki yang mondar-mandir di depan meja sang sahabat."Aku punya alasan untuk marah, bukan?"Dion tidak menjawab. Ia segera mengecek CCTV. Benar, pada tayangan perekam itu mereka melihat Stella berdiri di depan pintu yang terbuka sedikit. Lelaki itu menggeleng tak percaya."Selain kamu,
Rainer terharu. Meskipun ia tau, wanita di hadapannya adalah Claire yang berbeda. Tetapi, tetap saja ia membuncah bahagia.Wajah Claire yang bersih, tersenyum tulus. Lelaki itu menangkup dua tangannya di wajah sang istri. Dahi mereka kini saling menempel.“Aku juga mencintaimu, Claire, My Lady.”Rainer mendesah. Masa bodoh dengan nanti. Buatnya yang penting hari ini ia dan Claire mengukir sejarah dalan hidup bahwa akhirnya mereka mengaku saling mencintai.Mereka berpelukan erat. Hingga Rainer melonggarkan pelukannya agar ia bisa menatap wajah cantik itu. Mata mereka saling menatap.“Tetaplah seperti ini, My Lady. Karena aku juga tidak akan berubah. Akan selalu ada rasa cinta untukmu di hatiku.”Untuk beberapa saat, mereka terlena oleh kata-kata manis. Pujian yang tidak pernah mereka ucapkan selama pernikahan. Rasa yang baru mereka dapati ketika salah satu dari mereka berubah sifatnya.Claire merasakan kedekatan baru. Kenyamanan yang ia dapatkan dari pelukan Rainer. Kasih sayang dan ci
Claire semakin mesra dengan Rainer. Mereka terlihat begitu romantis saat berdua. Saling memberikan perhatian tanpa malu di depan banyak orang.Semakin hari, ingatan Claire semakin membaik. Trauma yang ia alami pun mulai memudar. Bahkan, ketika hujan turun, Claire sudah tidak terlihat panik.Itu semua dirasakan Claire karena kehadiran Rainer. Lelaki itu selalu siap mendampingi dan membantu kapan dan di mana saja.Kehangatan pasangan tersebut tentu saja membuat Stella semakin meradang. Apalagi Rainer terang-terangan menabuh genderang perang dengannya. Stella semakin membenci Claire.Seperti saat ini. Di ruang pertemuan. Mereka sedang membahas pengeluaran untuk menanam benih tanaman di musim dingin. Claire dengan santai hanya menatap laptopnya.Namun begitu, sesekali, Rainer memberikan perhatian dengan mengusap punggung, pipi bahkan mengelus rambut sang istri. Stella benar-benar muak.“Stella, tolong kamu buat perkiraan biaya yang Papa butuhkan. Segera.” Adam memerintah pada Stella.“Ya
Claire mengangguk. Bersama Stella ia memang merasakan aura negatif. Berbeda jika ia berada di dekat Rainer.Nyaman dan aman. Entah benar atau membual yang dikatakan Stella, Claire tak perduli. Apalagi, statusnya sekarang memang istri Rainer.Mereka bergandengan tangan melewati para pegawai, termasuk Stella. Seperti biasa Claire diperlakukan penuh perhatian dan romantis saat akan naik ke mobil."Kenapa kita tidak naik motor lagi?" tanya Claire saat Rainer membantunya memasang tali pengaman."Cup." Rainer mencium pipi istrinya."Menurut prakiraan cuaca, siang ini akan turun hujan, My Lady. Jadi, lebih aman kita naik mobil," jelas Rainer."Oh. Oke."Claire menikmati pemandangan di jalanan. Tiba-tiba telapak tangannya diraih Rainer. Lelaki itu menciuminya lalu meletakkan tangan Claire di pahanya."Tanah ini akan dibiarkan kosong selama musim dingin." Rainer berkata seraya mengelus tangan di pahanya."Sayang sekali. Selama musim dingin lahan terbuka begini sulit ditanami, ya?""Iya.""Ken
Akh. Di mana-mana ada Stella.Senyum Claire langsung memudar. Rainer menyadari ketegangan sang istri. Tangannya langsung mengusap lembut punggung Claire.“Stella di sini, Bibi?” Rainer bertanya pada Bibi-nya.Agnes menggeleng. “Oh, tidak. Tetapi ia akan datang berkala untuk mengantar sayuran. Terkadang kalau kemalaman, ia menginap. Itu sebabnya Stella memiliki stok pakaian di sini.”Setelah mendengar penjelasan Agnes, Claire menghela napas lega. Ia merasa lebih baik menghindari Stella.“Begitu. Aku pikir salah satu pekerja yang mengantar sayuran ke sini.” Rainer bertanya penasaran.“Awalnya begitu. Tetapi, sejak kamu ke luar negeri, ia mengantar sendiri. Untuk mengurangi kebosanan katanya.” Agnes tersenyum sedikit sambil melirik Claire.“Aku tidak tau.” Rainer membalas sambil menggandeng tangan istrinya masuk ke restoran.“Anak itu rajin sekali. Setelah mengantar, ia juga yang akan mengurus pembayaran. Semua dilakukan sendiri.”Pujian Agnes untuk Stella justru membuat Rainer curiga. T